Sabtu, 21 April 2012

PENGINGKARAN PANJANG PERJUANGAN KARTINI


Ki Sulisno

Setiap tanggal 21April, masih saja ada perayaan Hari Kartini dalam bentuk yang justru pada hakekatnya kontraproduktif dengan apa yang diperjuangan Kartini. Di sejumlah daerah, anak-anak sekolah diwajibkan memakai pakaian adat daerahnya masing-masing. Kartini menggugat peran perempuan saat itu yang hanya berkutat di wilayah domestik, yaitu: masak (memasak), macak (merias diri untuk memenuhi hasrat laki-laki), dan manak (reproduksi, melahirkan dan merawat anak). Jika perjuangan itu kemudian diperingati dengan busana adat, fashion show, cooking competition, dan sejenisnya, yang pada hakekatnya sama dengan hal yang ditolak Kartini, bukankah dapat ditafsirkan sebagai pelecehan terhadap perjuangan Kartini itu sendiri?

Perjuangan Kartini adalah perjuangan pemberdayaan perempuan untuk bisa menentukan hidupnya sendiri. Melalui surat yang dikirimkan kepada teman-temannya di Belanda, Kartini menyampaikan pengalamannya sebagai wanita pribumi yang terbelakang jika dibandingkan perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar dan majalah Belanda. Dalam salah satu suratnya kepada Estelle Zeehandelaar, Kartini secara jelas mengungkapkan keinginannya agar perempuan pribumi bisa seperti perempuan muda di Eropa yang dianggapnya lebih mandiri.

Sudahkah perempuan Indonesia secara keseluruhan memiliki kemandirian?

Para wanita sekarang tampaknya sudah hidup dalam situasi yang jauh berbeda dari masa Kartini: sudah bebas menentukan pilihan hidupnya, bisa menempuh pendidikan formal hingga jenjang tertinggi, bebas memilih pekerjaan dan meniti karir, serta bisa menggunakan haknya menentukan pendamping hidup. Namun kebebasan itu seringkali belum disertai kemandirian dan pemberdayaan kemampuan individual. Perempuan bahkan masih cenderung menjadi objek yang ditentukan daripada sebagai subjek yang menentukan.

Seluruh hak-hak wanita sebagai manusia masih sering menempel pada pihak lain. Perempuan yang tidak bersuami akan dipandang jauh lebih rendah dibanding laki-laki yang tidak beristri. Setelah menikah, citra perempuan seolah tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang suami. Sementara saat belum menikah, hak-hak itu diambil alih oleh mereka yang dalam keluarga hirarkinya lebih tinggi.

Tak jarang perempuan dituduh sebagai sumber kerusakan moral (misalnya, dalam soal pornografi yang selalu menyudutkan perempuan) atau, dalam tingkatan yang lebih rendah, mendorong suami melakukan tindakan yang tidak terpuji (misalnya korupsi).

Di sejumlah daerah, di antaranya Kalimantan Selatan, angka poligami masih cukup tinggi. Ini menunjukkan masih lemahnya posisi perempuan dilihat dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya.

Meskipun telah menempuh pendidikan formal tinggi, perempuan belum bisa melepaskan diri dari kungkungan budaya tradisional yang memposisikan kaum hawa sebagai "warga kelas dua" yang statusnya berada di bawah pria dan dianggap tak berhak menjadi pemimpin.

Pendidikan tentu saja bukan sekadar selembar kertas ijazah dan melek huruf. Pendidikan formal seringkali tidak sebanding keluasan dan kedalaman pandangan serta kemampuan mengatasi berbagai persoalan nyata di tengah kehidupan bermasyarakat. Di lingkungan profesional, para pengambil keputusan dan orang-orang yang bekerja di wilayah “strategis” yang menuntut skill dan intelektualitas tinggi masih didominasi kaum pria. Perempuan yang masuk ke gedung pemerintahan hingga parlemen pun tampaknya masih sekadar memenuhi kuota yang ditetapkan undang-undang. Mereka belum mampu “berbunyi”, apalagi “bernyanyi dengan baik”.

Perempuan memang lebih mudah mendapatkan pekerjaan sebagai office girl, pelayan toko, penjaga warnet, pemegang selang SPBU dan bahkan satpam. Dalam pekerjaan itu posisi perempuan sebatas pekerja yang dikendalikan oleh pemilik usaha. Perempuan hanya sebagai alat untuk menjual komoditas dengan memanfaatkan kelembutan dan daya tarik seksualitasnya, bukan pemikiran dan kecekatan kerjanya.

Celakanya, wanita juga menjadi sasaran produk-produk konsumsi itu sendiri. Sebagian besar komoditas melibatkan perempuan sebagai bintang iklan, pelayan toko, sales sekaligus konsumen terbesarnya. Perempuan identik sebagai makhluk konsumtif yang suka berbelanja. Yang konsumtifnya gila-gilaan bukan wanita-wanita udik dari desa, tetapi “wanita-wanita masa kini” yang berpendidikan formal tinggi dan hidup di pusat-pusat kota.

Di belakang itu semua adalah kapitalis. Para pemilik modal mengeksploitasi wanita dengan berbagai cara, salah satunya melalui pemilihan perempuan-perempuan cantik untuk mempromosikan produk-produk kapital. Ajang Miss Universe misalnya, didesain seolah-olah menjadi forum kompetisi perempuan paling hebat tingkat dunia. Ajang itu sering diprotes para aktivis perempuan karena disinyalir dirancang oleh produsen celana dalam wanita untuk mempromosikan produknya.

Produsen alat-alat kecantikan terus mendefinisikan kriteria kecantikan yang selalu berubah dalam kurun waktu tertentu supaya terkesan dinamis dan sekaligus untuk memastikan bahwa produknya akan laris manis. Perempuan didefinisikan sebagai makhluk cantik yang harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet, aksesori dan pakaian.

Definisi disosialisasikan dan disebarluaskan dengan vulgar maupun terselubung melalui media massa disertai seperangkat citra, gagasan dan evaluasi yang menjadi sumber bagi audiens untuk dijadikan acuan. Akibatnya, seorang wanita akan dipandang ketinggalan jaman jika tidak tampil modis mengikuti trend mutakhir seperti yang ada di televisi.

Dampaknya luar biasa. Kita bisa menyaksikan para perempuan muda di mana pun yang nyaris seragam dalam berpakaian, cara bicara, dan gaya hidupnya. Diseragamkan oleh produk massal pabrikan melalui layar televisi.

Ajang-ajang pemilihan wanita cantik pun semakin menjalar ke mana-mana hingga kota-kota kecil. Saya pernah mengisi acara pemilihan duta wisata di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, sekitar delapan jam perjalanan naik bis dari Kota Palembang. Saya justru merasakan getir ketika melihat remaja-remaja di bawah Gunung Semenu tersebut memoles diri seperti pemilihan ratu sejagad di televisi. Saya merasa kecewa. Saya justru ingin menyaksikan mereka dengan wajah local yang berbeda dari remaja di tempat lain. Pemilihan puteri daerah dan duta wisata seolah menjadi acara wajib diselenggarakan semua dinas pariwisata di Indonesia. Orientasinya sama. Formatnya juga sama. Anak-anak sekolah pun sudah sedemikian akrab dengan fashion show.

Sangat memprihatinkan bila di Hari Kartini yang begitu penting maknanya bagi perempuan diisi dengan lomba modelling  dan fashion show. Terlebih bila diselenggarakan di lingkungan pendidikan. Tujuan penyelenggaraan dan dampak yang ditimbulkan akan jauh panggang dari api. Lomba peragaan busana yang melibatkan anak-anak sekolah tanpa disadari akan membentuk imajinasi mereka tentang perempuan ideal yang standar utamanya ditentukan oleh faktor ketubuhan.

Perempuan pribumi seperti wanita Eropa, yang diimpikan Kartini, tampaknya baru sebatas pakaian dan gaya hidup. Banyak perempuan menghidupi apa yang disebut kesadaran palsu melalui benda-benda konsumsi. Para gadis di pelosok-pelosok desa kini sudah akrab dengan barang-barang modern semacam hape dan internet. Benda-benda itu bukannya meningkatkan produktivitas hidup, melainkan hanya memberikan hiburan palsu dan meningkatkan konsumerisme gaya hidup yang rapuh. Melalui tulisan-tulisan di jejaring sosial facebook dan twitter, kita dapat menebak seberapa dalam isi otak para perempuan pada umumnya dan sikap konservatif yang diekspresikan melalui teknologi yang sedemikian canggih. Sebuah paradoks yang sedemikian lebar kesenjangannya.

Peringatan Hari Kartini akan kehilangan arti jika tidak disertai pemberdayaan terhadap perempuan hingga bisa mandiri. Kartini sendiri ingin memberdayakan dirinya dengan cara belajar ke Eropa, yang akhirnya gagal karena menikah. Artinya, Kartini tetap menjadi sosok lemah yang tak mampu melepaskan diri dari kungkungan budaya pada jamannya. Bagaimana anak muda sekarang mampu melanjutkan perjuangan Kartini yang belum selesai?