Ki Sulisno
Setiap
tanggal 21April, masih saja ada perayaan Hari Kartini dalam bentuk yang justru
pada hakekatnya kontraproduktif dengan apa yang diperjuangan Kartini. Di
sejumlah daerah, anak-anak sekolah diwajibkan memakai pakaian adat daerahnya
masing-masing. Kartini menggugat peran perempuan saat itu yang hanya berkutat
di wilayah domestik, yaitu: masak (memasak), macak (merias diri
untuk memenuhi hasrat laki-laki), dan manak (reproduksi,
melahirkan dan merawat anak). Jika perjuangan itu kemudian diperingati dengan
busana adat, fashion show, cooking competition, dan sejenisnya, yang
pada hakekatnya sama dengan hal yang ditolak Kartini, bukankah dapat
ditafsirkan sebagai pelecehan terhadap perjuangan Kartini itu sendiri?
Perjuangan
Kartini adalah perjuangan pemberdayaan perempuan untuk bisa menentukan hidupnya
sendiri. Melalui surat yang dikirimkan kepada teman-temannya di Belanda,
Kartini menyampaikan pengalamannya sebagai wanita pribumi yang terbelakang jika
dibandingkan perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar dan majalah Belanda.
Dalam salah satu suratnya kepada Estelle Zeehandelaar, Kartini secara jelas
mengungkapkan keinginannya agar perempuan pribumi bisa seperti perempuan muda
di Eropa yang dianggapnya lebih mandiri.
Sudahkah
perempuan Indonesia secara keseluruhan memiliki kemandirian?
Para
wanita sekarang tampaknya sudah hidup dalam situasi yang jauh berbeda dari masa
Kartini: sudah bebas menentukan pilihan hidupnya, bisa menempuh pendidikan
formal hingga jenjang tertinggi, bebas memilih pekerjaan dan meniti karir,
serta bisa menggunakan haknya menentukan pendamping hidup. Namun kebebasan itu
seringkali belum disertai kemandirian dan pemberdayaan kemampuan individual.
Perempuan bahkan masih cenderung menjadi objek yang ditentukan daripada sebagai
subjek yang menentukan.
Seluruh
hak-hak wanita sebagai manusia masih sering menempel pada pihak lain. Perempuan
yang tidak bersuami akan dipandang jauh lebih rendah dibanding laki-laki yang
tidak beristri. Setelah menikah, citra perempuan seolah tidak bisa dilepaskan
dari bayang-bayang suami. Sementara saat belum menikah, hak-hak itu diambil
alih oleh mereka yang dalam keluarga hirarkinya lebih tinggi.
Tak
jarang perempuan dituduh sebagai sumber kerusakan moral (misalnya, dalam soal pornografi yang selalu menyudutkan
perempuan) atau, dalam tingkatan yang lebih rendah, mendorong suami
melakukan tindakan yang tidak terpuji (misalnya korupsi).
Di
sejumlah daerah, di antaranya Kalimantan Selatan, angka poligami masih cukup
tinggi. Ini menunjukkan masih lemahnya posisi perempuan dilihat dari sisi
ekonomi, sosial, dan budaya.
Meskipun
telah menempuh pendidikan formal tinggi, perempuan belum bisa melepaskan diri
dari kungkungan budaya tradisional yang memposisikan kaum hawa sebagai
"warga kelas dua" yang statusnya berada di bawah pria dan dianggap
tak berhak menjadi pemimpin.
Pendidikan
tentu saja bukan sekadar selembar kertas ijazah dan melek huruf. Pendidikan
formal seringkali tidak sebanding keluasan dan kedalaman pandangan serta
kemampuan mengatasi berbagai persoalan nyata di tengah kehidupan bermasyarakat.
Di lingkungan profesional, para pengambil keputusan dan orang-orang yang
bekerja di wilayah “strategis” yang menuntut skill dan intelektualitas
tinggi masih didominasi kaum pria. Perempuan yang masuk ke gedung pemerintahan
hingga parlemen pun tampaknya masih sekadar memenuhi kuota yang ditetapkan
undang-undang. Mereka belum mampu “berbunyi”, apalagi “bernyanyi dengan baik”.
Perempuan
memang lebih mudah mendapatkan pekerjaan sebagai office girl, pelayan
toko, penjaga warnet, pemegang selang SPBU dan bahkan satpam. Dalam
pekerjaan itu posisi perempuan sebatas pekerja yang dikendalikan oleh pemilik
usaha. Perempuan hanya sebagai alat untuk menjual komoditas dengan memanfaatkan
kelembutan dan daya tarik seksualitasnya, bukan pemikiran dan kecekatan
kerjanya.
Celakanya,
wanita juga menjadi sasaran produk-produk konsumsi itu sendiri. Sebagian besar
komoditas melibatkan perempuan sebagai bintang iklan, pelayan toko, sales
sekaligus konsumen terbesarnya. Perempuan identik sebagai makhluk konsumtif
yang suka berbelanja. Yang konsumtifnya gila-gilaan bukan wanita-wanita udik
dari desa, tetapi “wanita-wanita masa kini” yang berpendidikan formal tinggi
dan hidup di pusat-pusat kota.
Di
belakang itu semua adalah kapitalis. Para pemilik modal mengeksploitasi wanita
dengan berbagai cara, salah satunya melalui pemilihan perempuan-perempuan
cantik untuk mempromosikan produk-produk kapital. Ajang Miss Universe
misalnya, didesain seolah-olah menjadi forum kompetisi perempuan paling hebat
tingkat dunia. Ajang itu sering diprotes para aktivis perempuan karena
disinyalir dirancang oleh produsen celana dalam wanita untuk mempromosikan
produknya.
Produsen
alat-alat kecantikan terus mendefinisikan kriteria kecantikan yang selalu
berubah dalam kurun waktu tertentu supaya terkesan dinamis dan sekaligus untuk
memastikan bahwa produknya akan laris manis. Perempuan didefinisikan sebagai makhluk
cantik yang harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet,
aksesori dan pakaian.
Definisi
disosialisasikan dan disebarluaskan dengan vulgar maupun terselubung melalui
media massa disertai seperangkat citra, gagasan dan evaluasi yang menjadi
sumber bagi audiens untuk dijadikan acuan. Akibatnya, seorang wanita akan
dipandang ketinggalan jaman jika tidak tampil modis mengikuti trend mutakhir
seperti yang ada di televisi.
Dampaknya
luar biasa. Kita bisa menyaksikan para perempuan muda di mana pun yang nyaris
seragam dalam berpakaian, cara bicara, dan gaya hidupnya. Diseragamkan oleh
produk massal pabrikan melalui layar televisi.
Ajang-ajang
pemilihan wanita cantik pun semakin menjalar ke mana-mana hingga kota-kota
kecil. Saya pernah mengisi acara pemilihan duta wisata di Kabupaten Ogan
Komering Ulu Selatan, sekitar delapan jam perjalanan naik bis dari Kota
Palembang. Saya justru merasakan getir ketika melihat remaja-remaja di bawah
Gunung Semenu tersebut memoles diri seperti pemilihan ratu sejagad di televisi.
Saya merasa kecewa. Saya justru ingin menyaksikan mereka dengan wajah local yang
berbeda dari remaja di tempat lain. Pemilihan puteri daerah dan duta wisata
seolah menjadi acara wajib diselenggarakan semua dinas pariwisata di Indonesia.
Orientasinya sama. Formatnya juga sama. Anak-anak sekolah pun sudah sedemikian
akrab dengan fashion show.
Sangat
memprihatinkan bila di Hari Kartini yang begitu penting maknanya bagi perempuan
diisi dengan lomba modelling dan fashion
show. Terlebih bila diselenggarakan di lingkungan pendidikan. Tujuan
penyelenggaraan dan dampak yang ditimbulkan akan jauh panggang dari api. Lomba
peragaan busana yang melibatkan anak-anak sekolah tanpa disadari akan membentuk
imajinasi mereka tentang perempuan ideal yang standar utamanya ditentukan oleh
faktor ketubuhan.
Perempuan
pribumi seperti wanita Eropa, yang diimpikan Kartini, tampaknya baru sebatas
pakaian dan gaya hidup. Banyak perempuan menghidupi apa yang disebut kesadaran
palsu melalui benda-benda konsumsi. Para gadis di pelosok-pelosok desa kini
sudah akrab dengan barang-barang modern semacam hape dan internet.
Benda-benda itu bukannya meningkatkan produktivitas hidup, melainkan hanya
memberikan hiburan palsu dan meningkatkan konsumerisme gaya hidup yang rapuh.
Melalui tulisan-tulisan di jejaring sosial facebook dan twitter,
kita dapat menebak seberapa dalam isi otak para perempuan pada umumnya dan
sikap konservatif yang diekspresikan melalui teknologi yang sedemikian canggih.
Sebuah paradoks yang sedemikian lebar kesenjangannya.
Peringatan
Hari Kartini akan kehilangan arti jika tidak disertai pemberdayaan terhadap
perempuan hingga bisa mandiri. Kartini sendiri ingin memberdayakan dirinya
dengan cara belajar ke Eropa, yang akhirnya gagal karena menikah. Artinya,
Kartini tetap menjadi sosok lemah yang tak mampu melepaskan diri dari
kungkungan budaya pada jamannya. Bagaimana anak muda sekarang mampu melanjutkan
perjuangan Kartini yang belum selesai?