Kamis, 31 Mei 2012

Politik Identitas

Ki Sulisno


Ada ruang yang lebih besar untuk upaya-upaya menggali dan mengangkat akar-akar budaya lokal dalam kerangka otonomi daerah yang digulirkan pemerintah setelah reformasi. Nasionalisasi budaya model Orde Baru, yang mengistimewakan budaya-budaya tertentu, khususnya budaya Jawa-keraton, dan mengabaikan budaya-budaya daerah yang dianggap minor atau terbelakang, sudah lewat. Setiap elemen kebudayaan daerah kini memiliki kesempatan untuk ditampilkan dengan bangga oleh kelompok pendukungnya masing-masing.

Semangat kesukuan tumbuh semakin subur. Istilah wong kito di Palembang, awake dhewe di Jawa, asli urang banua di Kalimantan Selatan, dan sejumlah istilah sejenis di berbagai daerah mengintegrasikan orang-orang satu suku sekaligus meminggirkan orang dari suku lain. Selalu munculnya isyu-isyu terkait dengan kata-kata itu dalam masa-masa menjelang pemilihan kepala daerah dan bahkan secara terang-benderang ditulis dalam baliho-baliho kampanye pilkada jelas-jelas sebagai upaya menolak calon yang bukan “putra daerah”. Putra daerah lebih diutamakan dalam pemilihan kepala daerah. 

Bukan hanya dalam politik pemerintahan daerah. Sejumlah seniman Banjarmasin pernah memprotes pertunjukan wayang kulit Jawa yang dipentaskan dalam ulang tahun Kota Banjarmasin tahun 2012 lalu. Padahal pertunjukan itu merupakan sumbangan dari masyarakat Jawa yang ada di Banjarmasin, terlepas dari anggaran Panitia Hari Jadi Kota Banjarmasin. Salahkah masyarakat keturunan Jawa di Banjarmasin, yang jumlahnya tidak sedikit, mengekspesikan diri? Bukankah Banjar dan Jawa memiliki memiliki keterkaitan sejarah masa lalu dan juga memiliki banyak kemiripan dalam soal bahasa, kesenian dan ekspresi budaya lainnya? Pangeran Antasari dalam foto-foto sejarah mengenakan blangkon dan pakaian seperti raja-raja Jawa, kenapa pakaian adat Banjar sekarang seperti pakaian melayu di Sumatera? 

Berbeda lagi di Palembang, wayang kulit Jawa justru diterima sangat terbuka oleh laskar Wong Kito. RRI Palembang setiap bulan mementaskan wayang kulit Jawa. Saya pernah mendalang dalam pentas bulanan itu. Saya pernah mendalang juga dalam rangka ulang tahun ke-10 Paguyuban Bakso Solo Berseri di Gedung Wanita tanggal 8 Desember 2005. Ulang Tahun Kota Palembang dan ulang tahun club sepakbola Sriwijaya FC juga ditampilkan wayang kulit Jawa tanpa ada protes dari seniman Palembang. Mungkin karena orang Palembang juga merasa keturunan Raden Patah yang berasal dari Jawa sehingga mereka senang menerima kesenian Jawa. Wayang kulit Palembang yang sudah nyaris hilang juga dibantu dihidupkan lagi oleh para dalang wayang Jawa. Perangkat wayang dan gamelannya dibelikan dari Jawa. Dalang dan pengrawitnya semua "asli" Palembang. Para dalang wayang Jawa yang menjadi penyelenggara dan sponsornya.
 
Kesenian yang dianggap “asli” daerah ditampilkan dalam even-even kepariwisataan. Dinas Pariwisata daerah menggali, mengada-adakan, dan mementaskan cenderung yang dianggap "asli daerah".  Apakah di dunia ini ada yang benar-benar “asli”, murni, tidak tercampur atau terpengaruh dengan yang lain? Boneka dan gamelan Palembang hampir sama persis dengan di Jawa. Hanya cara memainkan, bahasa yang digunakan dan reportoar lakonnya berbeda. Hampir semua jenis kesenian Banjar juga memiliki unsur kesenian Jawa, kesenian Sunda, kesenian Bali, Kesenian Lombok; Gamelan Banjar, Kuda Gipang, Wayang Kulit, Wayang Gung, Balamut, Bagandut. Mana yang memengaruhi? Mana yang terpengaruh? Lalu apa apa jeleknya, apa pula baiknya atas hubungan ini? Bagaimana kalau tidak ada kesenian daerah yang sama sekali tidak ada unsur yang juga ada di tempat lain? Untuk apa mempersoalkan masalah keaslian? (bersambung)