Minggu, 22 Juli 2012

Menyerap dan Merefleksikan

Ki Sulisno


Setiap bulan Ramadan umat Islam di seluruh dunia diwajibkan berpuasa. Hakekat puasa adalah pengendalian diri, terutama pengendalian terhadap kebutuhan konsumsi. Makan dan minum hanyalah bagian kecil dari bentuk konsumsi itu.

Di era modern ini informasi menjadi salah satu bentuk konsumsi yang diperlukan banyak orang. Seminggu tidak membaca berita nasional rasanya seperti ketinggalan jaman.

Informasi semakin melimpah ruah. Radio dan televisi tak henti-hentinya menayangkan berita dari berbagai penjuru bumi. Internet dengan teknologinya yang luar biasa menyediakan informasi sekaligus memberi ruang berinteraksi.

Informasi perlu diolah lagi melalui proses kontemplasi. Mirip dengan proses metabolisme makanan yang menghasilkan energi dan kotoran. Kotoran dikeluarkan dari tubuh supaya tidak menjadi penyakit. Sementara energi menjadi sumber kehidupan untuk melakukan aktifitas sehari-hari, baik aktifitas fisik maupun berpikir. Sangat disayangkan jika orang yang makan tidak melakukan aktifitas produktif. Energi akan hilang sia-sia. Bukankan orang tidur pun akan lapar setelah bangun. Mending lapar karena bekerja daripada bermalas-malasan.

Dalam bulan Ramadan orang dianjurkan banyak beramal. Beramal berarti berbuat kebaikan. Menjadikan hidup bernilai dan berguna bagi kehidupan, bagi orang banyak. Beramal termasuk kegiatan produktif. Produktifitas ditingkatkan, sementara konsumsi dikendalikan.

Kegiatan konsumsi sebaiknya selalu disertai dengan kegiatan produksi. Menerima disertai memberi. Mendapatkan disertai melakukan. Menyerap disertai merefleksikan. Kalau tidak, hukum keseimbangan akan goyah. Manusia akan jatuh.

Orang yang tidak bisa mendengar sejak lahir akan disertai ketidakmampuan berbicara. (Orang bisu berawal dari tuli). Orang yang tidak mampu membaca juga tak akan mampu menulis. Membaca berarti menyerap dan memahami. sementara berbicara adalah mengungkapkan kepada orang lain (yang di dalamnya ada unsur berbagi, mengajarkan, mempertanyakan dan mempersoalkan). Berbicara merupakan kegiatan aktif dan sekaligus bisa kreatif. Seperti halnya menulis (yang harus disertai bekal, baik yang sifatnya teknik pengungkapan, tata bahasa, maupun isi pembicaraan), orang yang berbicara banyak tanpa isi serta kemampuan teknik berbicara yang baik tak ubahnya seperti orang mengigau.

Kita tidak akan mampu menjadi pembicara yang baik jika tidak terlebih dahulu menjadi pendengar yang baik. Jangan hanya ngomong saja tanpa disertai kesediaan mendengarkan orang lain bicara. Maka kalau ingin jadi penulis hebat, membacalah sebanyak mungkin sebelum menulis. Banyak-banyaklah membaca karya-karya tulisan yang berbobot, baik dari tata bahasanya maupun isinya.

Seberapa kedalaman 'isi' pembicaraan ditentukan dari seberapa banyak wawasan pengetahuan dan pemahaman terhadap situasi-kondisi yang didapat dari kegiatan membaca dan mendengar. Dapat kita pahami mengapa ayat pertama yang diturunkan untuk mengingatkan para muslim adalah Iqra yang artinya bacalah. Iqra dapat ditafsirkan sebagai kegiatan membaca dalam pengertian yang luas: mengamati gejala-gejala alam-sosial, mendengarkan keluh-kesah orang lain, dan juga membaca buku-buku yang baru bisa dicetak jauh hari setelah ayat itu turun.

Pengetahuan-pengetahuan dari mendengar dan membaca tak cukup dipendam di dalam ingatan. berbicara dan menulis menjadi jalan memperdalam ingatan di relung pengetahuan, dan kemudian pengetahuan akan bernilai guna jika diendapkan, diolah dan direfleksikan melalui pembicaraan dan penulisan yang dibagikan dan dikomunikasikan di tengah khalayak ramai, lalu direalisasikan ke dalam tindakan-tindakan kongkrit untuk merubah keadaan.

Sayangya, banyak orang yang kurang tertarik dengan kegiatan mendengar dan membaca. Orang lebih suka ngomong dan menulis. Industri pun memfasilitasi beragam media untuk menulis dan berbicara. Di facebook dan twitter, setiap hari bermilyar-milyar kata ditaburkan. Tetapi karena kurang disertai kemampuan membaca dan pengetahuan yang cukup, kata-kata hanya seperti bunyi-bunyian yang kurang bermakna bagi kemaslahatan orang banyak, bahkan seringkali hanya omong kosong. Kata-kata itu pun kemudian menguap begitu saja. Tanpa bekas. Tanpa efek. Tanpa guna.

Kebudayaan terbentuk melalui proses menyerap dan merefleksikan. Mengambil, meminjam lalu mengembangkan mengkreasikan terjadi dalam ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, adat-istiadat dan semua aspek kebudayaan. Untuk apa menutup diri dari kebudayaan orang lain? Untuk apa memersoalkan kemurnian toh di dunia ini tidak ada yang benar-benar murni, tidak terpengaruh dari yang lain.


Masalahnya sekarang, dunia sudah benar-benar mengglobal. Batas-batas suku bangsa tak lagi mampu membentengi diri dari arus informasi yang datang melimpah ruah. Batas-batas negara seperti lenyap.

Kebudayaan dari berbagai penjuru bumi berbaur, baik secara langsung maupun melalui media massa. Ada arus budaya yang datang begitu masif dari negara-negara adidaya melalui media massa, perdagangan, politik dan pendidikan. Negara-negara yang tergolong sedang berkembang, meskipun barangkali sesungguhnya memiliki budaya warisan masa lalu yang luar biasa kaya dan mendalam, tidak mampu membendung arus budaya dari negara-negara berkuasa yang didukung oleh teknologi.


Etnisitas semakin menguat. Kita cemas kehilangan jati diri. Kita menutup diri atau justru begitu sangat terbuka sehingga apa pun yang berasal dari luar negeri kita terima dengan bangga. Kemampuan mengadaptasi rendah. Kreatifitas melokalisasi rendah. Tersedia semakin sedikit waktu untuk itu. Manusia hidup dalam waktu dan kebutuhan terbatas, sementara keinginan terus membumbung tanpa batas !!