Jumat, 31 Agustus 2012

Lebaran: Antara Ritual dan Konsumerisme

Ki Sulisno


Pesta keluarga terbesar di Indonesia berlangsung pada Hari Raya Idul Fitri. Seluruh keluarga yang menganut agama Islam (baik yang taat maupun yang hanya ber-KTP Islam) “makan enak” bersama keluarga besarnya. Berbagai hidangan istimewa disajikan. Masyarakat pedesaan di Jawa pada umumnya bisa makan daging ayam berlebihan hanya pada hari lebaran. Dan lebaran terasa belum lengkap tanpa syrup dan kue. Sementara di kota-kota di Sumatera, minuman yang seolah ‘wajib ada’ adalah minuman bersoda merk Fanta, Sprite dan Coca-cola. Masyarakat di kota-kota di Sumatera juga memiliki tradisi mengganti perabot rumah (terutama meja-kursi dan korden) dengan yang baru. Rumah-rumah dicat beberapa hari sebelum lebaran.

Ya. Kehebohan berlangsung sejak beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Fitri hingga beberapa hari sesudahnya. Arus mudik-balik selalu penuh sesak. Harga tiket transportasi melonjak. Kejahatan jalanan meningkat. Desa menjadi ramai. Gang-gang kampung dipenuhi kendaraan berplat kota-kota besar.

Desa adalah tempat asal sekaligus tujuan kembali. Orang tidak ingin melupakan dari mana berasal, yaitu kampung halaman. Meski kampung halaman itu hanyalah desa yang gersang dan miskin, tetapi desa memberikan kedamaian dan ketentraman. Kehidupan perantau di kota-kota besar keras dan kering. Kehidupan sosial diabaikan. Orang hanya memikirkan bagaimana bekerja untuk mendapatkan uang, uang, dan uang.

Oleh karena itulah saat kembali ke desa para perantau ingin menunjukkan keberhasilan-keberhasilan pencapaian ekonomi melalui benda-benda konsumsi: mobil, handphone, barang-barang elektronik, komputer tablet, pakaian. Rumah keluarga di desa pun banyak dibangun menjelang Hari Raya Idul Fitri. Bahan-bahan bangunan otomatis turut naik.

Jika sembako, barang-barang elektronik, dan bahan bangunan melonjak harganya menjelang lebaran, maka barang yang harganya melonjak setelah lebaran adalah mainan anak-anak. Anak-anak berburu mainan dari limpahan sedekah paman, pakdhe, bulik dan paklik mereka sedang bangkrut akibat perayaan lebaran yang berlebihan.

Idul Fitri mengandung pengertian kembali ke kesucian. Selama sebulan penuh umat Islam diwajibkan berpuasa mengendalikan segala nafsu. Godaan nafsu melalui iklan produk-produk konsumsi di media massa juga semakin besar selama bulan Ramadhan. Jika manusia mampu mengendalikan nafsunya, ia layak bersyukur dan mengungkapkan kegembiraan bersama keluarga besarnya.

Manusia adalah makhluk sosial. Keluarga merupakan masyarakat yang paling kecil dan paling dekat. Keluargalah muara kebutuhan sosial dan ungkapan cinta yang paling murni nyaris tanpa pamrih. Perjuangan dan pengorbanan untuk keluarga justru menjadi bagian dari kebahagiaan. Di hari lebaran semua itu terekspresikan secara nyata. Kebersamaan keluarga (meski) dalam kesederhanaan ternyata tetap terasa nikmat.