Pesta
keluarga terbesar di Indonesia berlangsung pada Hari Raya Idul Fitri. Seluruh
keluarga yang menganut agama Islam (baik yang taat maupun yang hanya ber-KTP
Islam) “makan enak” bersama keluarga besarnya. Berbagai hidangan istimewa
disajikan. Masyarakat pedesaan di Jawa pada umumnya bisa makan daging ayam
berlebihan hanya pada hari lebaran. Dan lebaran terasa belum lengkap tanpa
syrup dan kue. Sementara di kota-kota di Sumatera, minuman yang seolah ‘wajib
ada’ adalah minuman bersoda merk Fanta, Sprite dan Coca-cola. Masyarakat di
kota-kota di Sumatera juga memiliki tradisi mengganti perabot rumah (terutama
meja-kursi dan korden) dengan yang baru. Rumah-rumah dicat beberapa hari
sebelum lebaran.
Ya.
Kehebohan berlangsung sejak beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Fitri hingga
beberapa hari sesudahnya. Arus mudik-balik selalu penuh sesak. Harga tiket
transportasi melonjak. Kejahatan jalanan meningkat. Desa menjadi ramai.
Gang-gang kampung dipenuhi kendaraan berplat kota-kota besar.
Desa
adalah tempat asal sekaligus tujuan kembali. Orang tidak ingin melupakan dari
mana berasal, yaitu kampung halaman. Meski kampung halaman itu hanyalah desa
yang gersang dan miskin, tetapi desa memberikan kedamaian dan ketentraman. Kehidupan
perantau di kota-kota besar keras dan kering. Kehidupan sosial diabaikan. Orang
hanya memikirkan bagaimana bekerja untuk mendapatkan uang, uang, dan uang.
Oleh
karena itulah saat kembali ke desa para perantau ingin menunjukkan
keberhasilan-keberhasilan pencapaian ekonomi melalui benda-benda konsumsi:
mobil, handphone, barang-barang elektronik, komputer tablet, pakaian. Rumah
keluarga di desa pun banyak dibangun menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Bahan-bahan bangunan otomatis turut naik.
Jika
sembako, barang-barang elektronik, dan bahan bangunan melonjak harganya
menjelang lebaran, maka barang yang harganya melonjak setelah lebaran adalah
mainan anak-anak. Anak-anak berburu mainan dari limpahan sedekah paman, pakdhe,
bulik dan paklik mereka sedang bangkrut akibat perayaan lebaran yang
berlebihan.
Idul Fitri mengandung pengertian kembali ke kesucian. Selama sebulan penuh umat Islam diwajibkan berpuasa mengendalikan segala nafsu. Godaan nafsu melalui iklan produk-produk konsumsi di media massa juga semakin besar selama bulan Ramadhan. Jika manusia mampu mengendalikan nafsunya, ia layak bersyukur dan mengungkapkan kegembiraan bersama keluarga besarnya.
Manusia adalah makhluk sosial. Keluarga merupakan masyarakat yang paling kecil dan paling dekat. Keluargalah muara kebutuhan sosial dan ungkapan cinta yang paling murni nyaris tanpa pamrih. Perjuangan dan pengorbanan untuk keluarga justru menjadi bagian dari kebahagiaan. Di hari lebaran semua itu terekspresikan secara nyata. Kebersamaan keluarga (meski) dalam kesederhanaan ternyata tetap terasa nikmat.