Umat manusia di mana pun kini telah
menjadi warga global. Teknologi komunikasi, transportasi dan media massa
menghubungkan orang melintasi batas-batas geografi dan administrasi negara. Rumah-rumah
di pelosok-pelosok hutan telah dilengkapi antena penangkap siaran televisi. Anak-anak
muda semakin tidak bisa dilepaskan dari handpone dan internet, membincangkan
pertandingan sepak bola di Eropa hingga perang Israel-Palestina melalui facebook
dan twitter. Semua yang jauh di mata terasa dekat di hati. Masyarakat
pun mudah terpukau dan terpancing opini-opini yang dihembuskan melalui media
massa, lalu terbawa arus besar. Jutaan koin bisa dikumpulkan melalui media
massa. Dukungan atau cercaan-cercaan terhadap tokoh tertentu setiap hari
berhamburan di media massa.
Keterbukaan di satu sisi dan sikap
konservatif di sisi yang lain dalam satu keping mata uang. Liberalisme dan Fundamentalisme
sama-sama menyebarkan jaring kekuasaan melalui media massa. Di tengah banjir
informasi itu diam-diam sebagian dari kita mengambil berbagai hal yang dianggap
menarik, lalu menyembunyikannya dalam semangat primordialisme semu. Makanan
cepat saji kita adopsi, musik Barat kita ambil, boyband-girlband ala
Korea kita boyong, lalu kita beri bumbu sesuai kemampuan dan citarasa kita. Hanya
dengan mengganti lirik berbahasa Indonesia kita dengan bangga menganggap boyband
kita sejajar dengan boyband Korea. Hanya dengan menambahkan nasi
kita merasa sudah ‘mengindonesikan’ makanan ayam cepat saji asal Amerika. Tanpa
malu-malu kita tampilkan para remaja dengan pakaian compang-camping yang dibawa
dari tempat lain.
Tahun 2006 saya datang ke acara pemilihan
duta wisata di salah satu kabupaten pemekaran di kaki Gunung Semenu, Sumatera
Selatan. Dalam perjalanan darat selama sekitar delapan jam dari Kota Palembang
saya membayangkan akan masuk daerah terpencil dan tertinggal. Bayangan saya
buyar begitu menyaksikan acara malam pemilihan duta wisata itu pun dikemas
tidak jauh berbeda dengan yang pernah saya lihat di tanah kelahiran di Sragen
dan juga di daerah-daerah lain. Anak-anak muda berpenampilan masa kini tampil
menyanyikan lagu-lagu pop yang sedang hit di Jakarta. Saya tampil memainkan
bonang Melayu mengiringi tari tradisi penyambutan tamu daerah setempat bersama
rombongan kesenian dari Universitas PGRI Palembang. Aneh memang, tarian
penyambutan tamu justru dimainkan oleh seniman tamu dari daerah lain. Kami datang
dengan semangat maju tak gentar membela yang bayar. Penampilan kami malam itu
sesungguhnya merupakan ‘pemanasan’ sebelum tampil dalam Festival antar
Kabupaten se-Sumatera Selatan di Kota Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Dinas
Pariwisata setempat merasa perlu meminjam seniman dari ‘kota’ supaya bisa
menampilkan kesenian tradisi mereka dengan lebih baik. Ah, barangkali kami justru
dipandang sebagai orang ndeso di mata anak-anak band malam itu
hanya karena memainkan kesenian tradisi.
Ada banyak kontradiksi. Acara
pemilihan duta wisata untuk mempromosikan keunikan budaya di daerah justru
diisi dengan penampilan band yang tidak mencirikan kedaerahan. Nampak
penyelenggara (dalam hal ini pemerintah yang diwakili Dinas Pariwisata) tidak
memiliki orientasi yang jelas. Mungkin juga hanya meniru daerah lain atau sekadar
mengikuti tren.
Meski diakui unggul dalam banyak hal,
Barat memang belum mendapat tempat terhormat dalam peta kebudayaan atau
kesenian “resmi” pemerintah Indonesia. Presiden Soekarno pernah melarang budaya
Barat atau yang ke-Barat-baratan. Pemerintah Orde baru lalu memperhalus kata
menolak menjadi kata menyaring. Kebudayaan yang baik diterima, yang buruk
ditolak. (Bukankah sudah naluri manusia untuk menolak sesuatu yang dianggap
buruk danmengambil yang dianggap baik.) Masalahnya, tidak jelas apa dan siapa
yang dapat menentukan standar baik dan buruk itu. Beberapa kebudayaan dilarang.
Dan kebudayaan-kebudayaan yang dilarang itu diam-diam disebarluaskan hingga
pelosok-pelosok nusantara.
Pemerintah sering kali mencoba
menetapkan standar-standar kebudayaannya dalam sebuah historigrafi resmi yang
akhirnya gagal karena salah urus dan lebih bersifat politis ketimbang
fungsional. Pembentukan historiografi resmi atau nasional ini justru lebih
banyak berakibat negative terhadap kehidupan budaya-budaya tradisi-lokal yang
plural. Krisis identitas yang dialami Malaysia dan Indonesia menunjukkan
gagalnya historiografi resmi produk negara dalam mengakomodasikan budaya-budaya
tradisi-lokal yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas-komunitas kesukuan.
Munculnya kotak Negara bangsa yang menguat setelah perang dunia II yang mewadahi
bermacam-macam suku bangsa atau bahkan
menggantikan suku bangsa ini kemudian membentuk “kebudayaan nasional”. Budaya
nasional ini dikesankan seolah-olah lebih tinggi daripada budaya local-suku
bangsa yang memiliki akar jauh lebih tua.
Ide pembentukan budaya nasional ini
bibitnya sudah muncul sejak sekitar tahun 1908, yaitu melalui pergerakan Budi
Utomo, dan mengkristal pada masa pasca kemerdekaan. Setting waktu imperial,
proses produksi yang relative cepat, serta motif diskontinuitas agaknya mendasari
mengapa karakter kebudayaan yang dihasilkan cenderung kaku, represif,
sentralistik, dan tidak berakar kuat. Ia sekaligus menjadi bagian dari strategi
penguasaan elit untuk meneguhkan dominasi atas nama stabilitas yang menjadi
ideology pembangunan saat itu.
Pembakuan historiografi menjadi
bagian dari cara elit kekuasaan dan ‘nasionalis’ untuk mempertahankan posisi
dan kuasa dominasinya. Pembakuan menjadi semacam alat kontrol, pengawasan dan
pengendalian bagi kepentingan stabilitas “budaya nasional” maupun stabilitas
“keamanan” yang dipandang penting untuk menjaga keutuhan bangsa. Dalam seluruh
wacana kekuasaan yang didominasi oleh elit nasionalis modern, elit agama-agama
besar maupun elit suku-suku besar kemudian meminggirkan budaya-budaya yang
dianggapnya masih terbelakang, ‘kurang berbudaya’ atau yang dianggap dapat
mengganggu stabilitas nasional.
Contoh di negara lain, Malaysia
menjadikan budaya Islam sebagai budaya nasionalnya yang menafikkan
budaya-budaya ‘asli’, yaitu budaya Melayu dan Dayak di daerah Serawak. Ketika ’budaya
nasional’ yang sudah terbentuk ini dianggap tidak memunyai nilai jual dalam
industri pariwisata global barulah pemerintah Malaysia mencari budaya lamanya
yang hilang, yang kemudian balik menafikkan budaya nasionalnya yang Islam.
Persoalan identitas bukan
semata-mata sebagai bentuk pengakuan dari kelompok masyarakat berdasar
kenyataan yang ada. Suku Dayak, Asmat, Papua lebih banyak didefinisikan oleh
orang di luar mereka. Identitas mereka lebih banyak dibentuk dan ditentukan bukan
oleh mereka sendiri. Suku Dayak yang terpecah menjadi bagian Indonesia dan
Malaysia kemudian diperebutkan. Begitu juga bangsa melayu yang tersebar di
berbagai kepulauan Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Identitas adalah perkara
posisionalitas dann senantiasa mengalami kontestasi. Suku Jawa, misalnya, lebih
banyak diwakili keratin ketimbang masyarakat Samin atau masyarakat-masyarakat
pesisir. Orang jawa yang berpakaian adat keratin yang mendapat pengaruh Eropa
lalu disandingkan dengan orang papua yang berkoteka dalam buku historiografi
nasional bertajuk Bhineka Tunggal Ika. Persandingan akrab dalam sebuah wacana
yang belum banyak membuahkan terjadinya pergaulan dan perkawinan budaya. Apakah
orang-orang Asmat, Papua akan terus-menerus mau memakai koteka ketika mereka
bergaul dengan orang dari luar daerah dan mengenal etika dari masyarakat lain?
Dalam proses pembentukan pengetahuan
atau dalam penulisan sejarah sesungguhnya tidak pernah terjadi secara netral
dan objektif. Ia selalu disertai kepentingan dan kekuasaan untuk meneguhkan
eksistensi diri melalui kuasa politik maupun kuasa agama.
Kelompok-kelompok yang dipandang
primitif, tak berbudaya, ketinggalan jaman, minoritas atau yang dianggap kurang
memiliki peran dalam heroisme perjuangan kemerdekaan atau perlawanan terhadap
penjajah cenderung dimarjinalkan dalam historiografi resmi produk pemerintah.
Kebijakan negara seputar pluralisme,
deskriminasi, marginalisasi, baik atas nama agama, budaya, rasionalitas,
modern, dan lain sebagainya yang secara tidak langsung menenggelamkan
bagian-bagian lain dari historiografii Indonesia, yaitu elemen-elemen atau
entitas-entitas yang secara inheren menjadi bagian dari keindonesiaan, lalu
dalam posisinya yang berbeda dianggap ‘menyimpang’ dan berbeda dengan arus utama
historiografi resmi atau negara.
Kelompok terpinggirkan ini disebut
kaum subaltern. Mereka tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan
keputusan atau dalam proses wacana kekuasaan. Mereka berasal dari kelompok
masyarakat non-elit yang dipinggirkan dalam relasi kekuasaan. Mereka bisa
petani, buruh, perempuan, komunitas adat, kelompok suku atau ras, pemeluk agama
atau budaya tertentu, komunitas aliran kebatinan atau masyarakat penghayat
kepercayaan.
Metode atau system berpikir mengenai
hakikat dari praktek penguasaan ini oleh Foucoult disebut governmental rationality atau govermentality,
siapa yang bisa menguasai, apa yang menguasai kita, dan apa atau siapa yang
dikuasai, yang memungkinkan berbagai bentuk aktivitas itu dapat dipikirkan dan
dipraktekkan oleh pelakunya dan kepada siapa saja aktivitas itu diarahkan.
Cara-cara bagaimana kekuasaan itu sebenarnya dipergunakan di bawah suatu
kedaulatan.
Pembentukan historiografi
resmi/nasional harus dipahami dalam kerangka rekonstruksi “teknik-teknik
kekuasaan” yang didesain untuk mengamati, memonitor, membentuk, dan mengontrol
tindakan individu-individu, yang di disituasikan di dalam institusi-institusi
social, ekonomi dan politik.
Teknik penguasaan ini tidak selalu
bersifat koersif. Gramsci memperkenalkan konsep hegemoni sebagai strategi
penguasaan yang persuasive, yakni melalui persetujuan dari pihak terhegemoni
untuk melakukan konsensus. Hegemoni dilakukan salah satunya melalui
ideologisasi, misalnya penggunaan ideologi Pancasila untuk menggiring para
seniman masuk dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kekuasaan diproduksi dan
direproduksi terus-menerus. Sarana reproduksinya adalah institusi-institusi sosial,
ekonomi maupun politik (dalam istilahnya Louis Althusser disebut sebagai ideological state apparatus). Di sanalah kontrol dan pengendalian dilakukan. Politik stigma, misalnya, yang sering
menjadi cara melanggengkan ideologisasi dan praktek deskriminasi juga
direproduksi melalui sarana-sarana tersebut.