Jumat, 30 November 2012

Politik Identitas (3)

Ki Sulisno


Umat manusia di mana pun kini telah menjadi warga global. Teknologi komunikasi, transportasi dan media massa menghubungkan orang melintasi batas-batas geografi dan administrasi negara. Rumah-rumah di pelosok-pelosok hutan telah dilengkapi antena penangkap siaran televisi. Anak-anak muda semakin tidak bisa dilepaskan dari handpone dan internet, membincangkan pertandingan sepak bola di Eropa hingga perang Israel-Palestina melalui facebook dan twitter. Semua yang jauh di mata terasa dekat di hati. Masyarakat pun mudah terpukau dan terpancing opini-opini yang dihembuskan melalui media massa, lalu terbawa arus besar. Jutaan koin bisa dikumpulkan melalui media massa. Dukungan atau cercaan-cercaan terhadap tokoh tertentu setiap hari berhamburan di media massa.

Keterbukaan di satu sisi dan sikap konservatif di sisi yang lain dalam satu keping mata uang. Liberalisme dan Fundamentalisme sama-sama menyebarkan jaring kekuasaan melalui media massa. Di tengah banjir informasi itu diam-diam sebagian dari kita mengambil berbagai hal yang dianggap menarik, lalu menyembunyikannya dalam semangat primordialisme semu. Makanan cepat saji kita adopsi, musik Barat kita ambil, boyband-girlband ala Korea kita boyong, lalu kita beri bumbu sesuai kemampuan dan citarasa kita. Hanya dengan mengganti lirik berbahasa Indonesia kita dengan bangga menganggap boyband kita sejajar dengan boyband Korea. Hanya dengan menambahkan nasi kita merasa sudah ‘mengindonesikan’ makanan ayam cepat saji asal Amerika. Tanpa malu-malu kita tampilkan para remaja dengan pakaian compang-camping yang dibawa dari tempat lain.

Tahun 2006 saya datang ke acara pemilihan duta wisata di salah satu kabupaten pemekaran di kaki Gunung Semenu, Sumatera Selatan. Dalam perjalanan darat selama sekitar delapan jam dari Kota Palembang saya membayangkan akan masuk daerah terpencil dan tertinggal. Bayangan saya buyar begitu menyaksikan acara malam pemilihan duta wisata itu pun dikemas tidak jauh berbeda dengan yang pernah saya lihat di tanah kelahiran di Sragen dan juga di daerah-daerah lain. Anak-anak muda berpenampilan masa kini tampil menyanyikan lagu-lagu pop yang sedang hit di Jakarta. Saya tampil memainkan bonang Melayu mengiringi tari tradisi penyambutan tamu daerah setempat bersama rombongan kesenian dari Universitas PGRI Palembang. Aneh memang, tarian penyambutan tamu justru dimainkan oleh seniman tamu dari daerah lain. Kami datang dengan semangat maju tak gentar membela yang bayar. Penampilan kami malam itu sesungguhnya merupakan ‘pemanasan’ sebelum tampil dalam Festival antar Kabupaten se-Sumatera Selatan di Kota Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Dinas Pariwisata setempat merasa perlu meminjam seniman dari ‘kota’ supaya bisa menampilkan kesenian tradisi mereka dengan lebih baik. Ah, barangkali kami justru dipandang sebagai orang ndeso di mata anak-anak band malam itu hanya karena memainkan kesenian tradisi.

Ada banyak kontradiksi. Acara pemilihan duta wisata untuk mempromosikan keunikan budaya di daerah justru diisi dengan penampilan band yang tidak mencirikan kedaerahan. Nampak penyelenggara (dalam hal ini pemerintah yang diwakili Dinas Pariwisata) tidak memiliki orientasi yang jelas. Mungkin juga hanya meniru daerah lain atau sekadar mengikuti tren. 

Meski diakui unggul dalam banyak hal, Barat memang belum mendapat tempat terhormat dalam peta kebudayaan atau kesenian “resmi” pemerintah Indonesia. Presiden Soekarno pernah melarang budaya Barat atau yang ke-Barat-baratan. Pemerintah Orde baru lalu memperhalus kata menolak menjadi kata menyaring. Kebudayaan yang baik diterima, yang buruk ditolak. (Bukankah sudah naluri manusia untuk menolak sesuatu yang dianggap buruk danmengambil yang dianggap baik.) Masalahnya, tidak jelas apa dan siapa yang dapat menentukan standar baik dan buruk itu. Beberapa kebudayaan dilarang. Dan kebudayaan-kebudayaan yang dilarang itu diam-diam disebarluaskan hingga pelosok-pelosok nusantara.

Pemerintah sering kali mencoba menetapkan standar-standar kebudayaannya dalam sebuah historigrafi resmi yang akhirnya gagal karena salah urus dan lebih bersifat politis ketimbang fungsional. Pembentukan historiografi resmi atau nasional ini justru lebih banyak berakibat negative terhadap kehidupan budaya-budaya tradisi-lokal yang plural. Krisis identitas yang dialami Malaysia dan Indonesia menunjukkan gagalnya historiografi resmi produk negara dalam mengakomodasikan budaya-budaya tradisi-lokal yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas-komunitas kesukuan. Munculnya kotak Negara bangsa yang menguat setelah perang dunia II yang mewadahi bermacam-macam suku bangsa  atau bahkan menggantikan suku bangsa ini kemudian membentuk “kebudayaan nasional”. Budaya nasional ini dikesankan seolah-olah lebih tinggi daripada budaya local-suku bangsa yang memiliki akar jauh lebih tua.

Ide pembentukan budaya nasional ini bibitnya sudah muncul sejak sekitar tahun 1908, yaitu melalui pergerakan Budi Utomo, dan mengkristal pada masa pasca kemerdekaan. Setting waktu imperial, proses produksi yang relative cepat, serta motif diskontinuitas agaknya mendasari mengapa karakter kebudayaan yang dihasilkan cenderung kaku, represif, sentralistik, dan tidak berakar kuat. Ia sekaligus menjadi bagian dari strategi penguasaan elit untuk meneguhkan dominasi atas nama stabilitas yang menjadi ideology pembangunan saat itu.

Pembakuan historiografi menjadi bagian dari cara elit kekuasaan dan ‘nasionalis’ untuk mempertahankan posisi dan kuasa dominasinya. Pembakuan menjadi semacam alat kontrol, pengawasan dan pengendalian bagi kepentingan stabilitas “budaya nasional” maupun stabilitas “keamanan” yang dipandang penting untuk menjaga keutuhan bangsa. Dalam seluruh wacana kekuasaan yang didominasi oleh elit nasionalis modern, elit agama-agama besar maupun elit suku-suku besar kemudian meminggirkan budaya-budaya yang dianggapnya masih terbelakang, ‘kurang berbudaya’ atau yang dianggap dapat mengganggu stabilitas nasional.

Contoh di negara lain, Malaysia menjadikan budaya Islam sebagai budaya nasionalnya yang menafikkan budaya-budaya ‘asli’, yaitu budaya Melayu dan Dayak di daerah Serawak. Ketika ’budaya nasional’ yang sudah terbentuk ini dianggap tidak memunyai nilai jual dalam industri pariwisata global barulah pemerintah Malaysia mencari budaya lamanya yang hilang, yang kemudian balik menafikkan budaya nasionalnya yang Islam.

Persoalan identitas bukan semata-mata sebagai bentuk pengakuan dari kelompok masyarakat berdasar kenyataan yang ada. Suku Dayak, Asmat, Papua lebih banyak didefinisikan oleh orang di luar mereka. Identitas mereka lebih banyak dibentuk dan ditentukan bukan oleh mereka sendiri. Suku Dayak yang terpecah menjadi bagian Indonesia dan Malaysia kemudian diperebutkan. Begitu juga bangsa melayu yang tersebar di berbagai kepulauan Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Identitas adalah perkara posisionalitas dann senantiasa mengalami kontestasi. Suku Jawa, misalnya, lebih banyak diwakili keratin ketimbang masyarakat Samin atau masyarakat-masyarakat pesisir. Orang jawa yang berpakaian adat keratin yang mendapat pengaruh Eropa lalu disandingkan dengan orang papua yang berkoteka dalam buku historiografi nasional bertajuk Bhineka Tunggal Ika. Persandingan akrab dalam sebuah wacana yang belum banyak membuahkan terjadinya pergaulan dan perkawinan budaya. Apakah orang-orang Asmat, Papua akan terus-menerus mau memakai koteka ketika mereka bergaul dengan orang dari luar daerah dan mengenal etika dari masyarakat lain?

Dalam proses pembentukan pengetahuan atau dalam penulisan sejarah sesungguhnya tidak pernah terjadi secara netral dan objektif. Ia selalu disertai kepentingan dan kekuasaan untuk meneguhkan eksistensi diri melalui kuasa politik maupun kuasa agama.

Kelompok-kelompok yang dipandang primitif, tak berbudaya, ketinggalan jaman, minoritas atau yang dianggap kurang memiliki peran dalam heroisme perjuangan kemerdekaan atau perlawanan terhadap penjajah cenderung dimarjinalkan dalam historiografi resmi produk pemerintah.

Kebijakan negara seputar pluralisme, deskriminasi, marginalisasi, baik atas nama agama, budaya, rasionalitas, modern, dan lain sebagainya yang secara tidak langsung menenggelamkan bagian-bagian lain dari historiografii Indonesia, yaitu elemen-elemen atau entitas-entitas yang secara inheren menjadi bagian dari keindonesiaan, lalu dalam posisinya yang berbeda dianggap ‘menyimpang’ dan berbeda dengan arus utama historiografi resmi atau negara.

Kelompok terpinggirkan ini disebut kaum subaltern. Mereka tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau dalam proses wacana kekuasaan. Mereka berasal dari kelompok masyarakat non-elit yang dipinggirkan dalam relasi kekuasaan. Mereka bisa petani, buruh, perempuan, komunitas adat, kelompok suku atau ras, pemeluk agama atau budaya tertentu, komunitas aliran kebatinan atau masyarakat penghayat kepercayaan.

Metode atau system berpikir mengenai hakikat dari praktek penguasaan ini oleh Foucoult disebut governmental rationality atau govermentality, siapa yang bisa menguasai, apa yang menguasai kita, dan apa atau siapa yang dikuasai, yang memungkinkan berbagai bentuk aktivitas itu dapat dipikirkan dan dipraktekkan oleh pelakunya dan kepada siapa saja aktivitas itu diarahkan. Cara-cara bagaimana kekuasaan itu sebenarnya dipergunakan di bawah suatu kedaulatan.

Pembentukan historiografi resmi/nasional harus dipahami dalam kerangka rekonstruksi “teknik-teknik kekuasaan” yang didesain untuk mengamati, memonitor, membentuk, dan mengontrol tindakan individu-individu, yang di disituasikan di dalam institusi-institusi social, ekonomi dan politik.

Teknik penguasaan ini tidak selalu bersifat koersif. Gramsci memperkenalkan konsep hegemoni sebagai strategi penguasaan yang persuasive, yakni melalui persetujuan dari pihak terhegemoni untuk melakukan konsensus. Hegemoni dilakukan salah satunya melalui ideologisasi, misalnya penggunaan ideologi Pancasila untuk menggiring para seniman masuk dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kekuasaan diproduksi dan direproduksi terus-menerus. Sarana reproduksinya adalah institusi-institusi sosial, ekonomi maupun politik (dalam istilahnya Louis Althusser disebut sebagai ideological state apparatus). Di sanalah kontrol dan pengendalian dilakukan. Politik stigma, misalnya, yang sering menjadi cara melanggengkan ideologisasi dan praktek deskriminasi juga direproduksi melalui sarana-sarana tersebut.