Ki Sulisno
Masyarakat Indonesia beberapa kali dihebohkan
berita pengklaiman beberapa kesenian tradisi Indonesia oleh Malaysia. Karena Malaysia
sebelumnya memiliki sejumlah masalah dengan Indonesia terkait para tenaga kerja
asal Indonesia di negara itu, masalah perbatasan dan pencaplokan pulau, maka
masalah pengklaiman karya seni menjadi semakin sensitif hingga menimbulkan
reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Seandainya yang
melakukan pengklaiman bukan Malaysia mungkin kisahnya tidak seheboh itu.
Apakah kesenian daerah yang diklaim Malaysia
merupakan kesenian yang begitu dibanggakan di Indonesia? Ternyata tidak
sepenuhnya. Hampir semua kesenian yang diklaim tidak termasuk ‘seni adiluhung’,
high art,seperti wayang dan tarian bedhaya. Beberapa di antaranya
bahkan sudah tidak dirawat lagi oleh masyarakat Indonesia. Hampir semua seni
kedaerahan di mana pun kini terpinggirkan oleh budaya populer produk media
massa. Reog, kudalumping, lagu Rasa Sayange diremehkan oleh orang Indonesia sendiri.
Orang Jawa memang ada di mana-mana sejak lama,
termasuk di Malaysia. Kerajaan Majapahit pernah berkuasa di nusantara dan mancanegara,
lalu menempatkan orang-orang Jawa sebagai raja-raja di berbagai daerah,
termasuk raja-raja di Malaysia. Artinya, kerajaan-kerajaan di Malaysia pernah
menjadi bagian dari kerajaan Jawa (Majapahit). Kebudayaan Jawa (Majapahit)
menyebar ke Malaysia, Kalimantan, Bali, dan tempat-tempat lain dan berinteraksi
dengan kebudayaan setempat.
Kerajaan Majapahit akhirnya runtuh diserang
Kerajaan Islam Demak. Orang-orang Jawa Majapahit pindah ke Tengger dan Bali,
lalu menghidupkan “kebudayaan Jawa” di tempatnya yang baru. Setelah Demak
digantikan Mataram Islam, kebudayaan Jawa mengalami perombakan besar-besaran.
Sultan Agung dianggap meletakkan dasar-dasar kebudayaan Jawa baru sebagai
bagian dari politik kekuasaannya.
Pecahan-pecahan kebudayaan Jawa masa lalu di
Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan berbagai daerah itu kini dianggap “bukan
Jawa” dan bahkan diakui sebagai “orang asli”. Keturunan raja-raja Palembang
Darussalam, yang tak lain adalah keturunan raja Demak, Raden Patah, di Sumatera
Selatan dianggap sebagai “orang asli Plembang (Palembang)”. Tidak jauh
dari Palembang, keturunan Ki Ageng Mangir, orang Jawa yang melarikan diri ke
Sumatera Selatan setelah dikalahkan kerajaan Mataram, diakui sebagai “orang
Komering”. Dan masih banyak lagi.
Tradisi peninggalan raja-raja pecahan dari Jawa
itu kini menjadi aset daerah setempat. Lembaga kepariwisataan di berbagai
daerah mencoba mengangkat dan menjual tradisi masa lalu yang dipandang memiliki
kekhasan daerah.
Kesenian tradisi dianggap mencerminkan
identitas daerah. Identitas dalam pariwisata nyaris selalu merujuk pada sesuatu
yang sifatnya tradisional, masa lalu dan lokal. Pengertian tradisional lebih
dipahami seolah-olah sebagai sesuatu yang sudah jadi, mapan. Yang lokal juga
seolah-olah tidak tersentuh dunia luar, murni, orisinil, tidak ada di tempat
lain.
Wilayah kebudayaan dipaksakan untuk bisa
sebangun dengan wilayah administrasi pemerintahan formal. Akibatnya, identitas
yang mengacu pada tradisi kemudian diperebutkan ketika masyarakat yang berada
dalam satu rumpun budaya dipisahkan oleh batas-batas administrasi pemerintah.
Ini bisa dilihat misalnya pada budaya Melayu yang diperebutkan oleh beberapa
daerah di Sumatera, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Masing-masing
mengklaim sebagai yang paling Melayu, bahkan ‘pusatnya Melayu’.
Pemekaran daerah yang banyak terjadi di
Indonesia pasca Reformasi merupakan masalah politik-ekonomi yang juga berdampak
pada kebudayaan. Saat ada pemekaran Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dari
Kabupaten Ogan Komering Ulu (keduanya di Sumatera Selatan), lagu Cindai Bulan
yang sebelumnya dikenal sebagai lagu daerah Ogan Komering Ulu kemudian harus dikembalikan ke
daerah asalnya, yaitu Ogan Komering Ulu Selatan.
Lalu bagaimana dengan budaya-budaya diaspora
yang dibawa oleh sekelompok masyarakat yang keluar dari tanah leluhur melintasi
batas-batas administrasi pemerintahan formal?
Masyarakat Ponorogo datang ke Malaysia membawa
serta reog. Orang Jawa di Suriname membawa bahasa Jawa. Orang Banjar di
Tembilahan, Jambi, membawa Mamanda. Orang Cina di berbagai Indonesia membawa
barongsai. Setiap orang memiliki leluhur beserta kebudayaannya yang akan dijaga
bersama kelompoknya. Kesenian tradisi sudah terlanjur dilekatkan dengan daerah
asalnya. Nama reog seolah tidak bisa dilepaskan dari Ponorogo.
Pendatang relative menjadi pihak yang
“ditentukan” ketimbang “menentukan”. Seberapa kadar “ditentukan”
dan”menentukan” tergantung berapa banyak prosentase anggota kelompok beserta
kekuatan yang dimiliki. Orang-orang Inggris di Amerika dan Australia menjadi
pihak yang “menentukan” nasib penduduk setempat, yaitu Suku Indian dan Suku
Aborigin. Suku Aborigin di Australia dan Suku Indian di Amerika tergusur oleh
pendatang. Masyarakat Jawa di Suriname bisa leluasa berbahasa Jawa. Suku Bugis
di Pagatan,Kalimantan Selatan, tetap bisa menampilkan upacara mappanretasi.
Sementara bagi kelompok-kelompok pendatang
“minoritas” tidak bisa menampilkan budaya asalnya begitu saja kalau tidak
‘diijinkan’ penduduk asli. Budaya Cina pernah dilarang ditampilkan di tempat
umum oleh pemerintah Orde Baru.
Cara yang paling aman untuk mengekspresikan
budaya leluhur di tempat yang tidak menghendaki budaya seperti ‘aslinya’ di
tempat leluhur adalah dengan cara mengadaptasikannya dengan budaya yang baru. Pendatang
harus beradaptasi di tempatnya yang baru. Orang-orang Cina di Jawa berusaha
seperti orang Jawa. Orang Jawa di Banjar berusaha seperti orang Banjar:
berbahasa Banjar, memakai pakaian sasirangan, makan soto Banjar.
Aspek politik administrasi pemerintahan masih
turut menentukan kekuasaan terhadap kebudayaan. Meskipun pendatang dari Bugis
mengklaim sebesar lebih dari 70 % total jumlah penduduk di Kotabaru dan Tanah
Bumbu (Kalimantan Selatan), toh mereka tetap harus mengakui Budaya Banjar dalam
kegiatan-kegiatan formal. Zaerullah Ashar, orang keturunan Bugis yang lahir di
Tanah Bumbu dan beristrikan orang Solo, saat mencalonkan diri menjadi gubernur
Kalimantan Selatan “diserang” lawan-lawan politiknya dengan isyu “Bukan putera
daerah”. (Isyu bukan putera daerah tidak berlaku dalam Pilkada DKI Jakarta
karena jumlah kaum urban jauh lebih banyak dibanding orang Betawi).
Malaysia kini menjadi salah satu daerah tujuan hijrahnya orang-orang dari Indonesia seiring dengan perkembangan ekonomi di negara itu. Di sisi yang lain, Malaysia sedang mengalami krisis identitas setelah menerapkan syariat agama Islam sebagai landasan kehidupan bernegara, yang kemudian mengikis akar budaya tradisi "asli" setempat. Saat industri pariwisata hendak dibangkitkan, dengan slogan "Malaysia The Truly Asia" yang dikonstruksikan untuk minat wisatawan asing akan terasa aneh jika citra pariwisata Malaysia ditampilkan dalam wajah Islam yang ke-Arab-araban. Malaysia lalu mengangkat budaya lokal milik para pendatang yang secara kebetulan berasal dari Indonesia. Sebuah ironi: Bangsa Indon diremehkan, produk kesenian milik Bangsa Indon (yang di daerah asalnya sendiri relatif tidak terawat) justru dibanggakan Malaysia, lalu hendak dijual melalui event kepariwisataan. (bersambung).