Sabtu, 30 Juni 2012

Politik Identitas (2)

Ki Sulisno

Masyarakat Indonesia beberapa kali dihebohkan berita pengklaiman beberapa kesenian tradisi Indonesia oleh Malaysia. Karena Malaysia sebelumnya memiliki sejumlah masalah dengan Indonesia terkait para tenaga kerja asal Indonesia di negara itu, masalah perbatasan dan pencaplokan pulau, maka masalah pengklaiman karya seni menjadi semakin sensitif hingga menimbulkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Seandainya yang melakukan pengklaiman bukan Malaysia mungkin kisahnya tidak seheboh itu.

Apakah kesenian daerah yang diklaim Malaysia merupakan kesenian yang begitu dibanggakan di Indonesia? Ternyata tidak sepenuhnya. Hampir semua kesenian yang diklaim tidak termasuk ‘seni adiluhung’, high art,seperti wayang dan tarian bedhaya. Beberapa di antaranya bahkan sudah tidak dirawat lagi oleh masyarakat Indonesia. Hampir semua seni kedaerahan di mana pun kini terpinggirkan oleh budaya populer produk media massa. Reog, kudalumping, lagu Rasa Sayange  diremehkan oleh orang Indonesia sendiri.

Orang Jawa memang ada di mana-mana sejak lama, termasuk di Malaysia. Kerajaan Majapahit pernah berkuasa di nusantara dan mancanegara, lalu menempatkan orang-orang Jawa sebagai raja-raja di berbagai daerah, termasuk raja-raja di Malaysia. Artinya, kerajaan-kerajaan di Malaysia pernah menjadi bagian dari kerajaan Jawa (Majapahit). Kebudayaan Jawa (Majapahit) menyebar ke Malaysia, Kalimantan, Bali, dan tempat-tempat lain dan berinteraksi dengan kebudayaan setempat.

Kerajaan Majapahit akhirnya runtuh diserang Kerajaan Islam Demak. Orang-orang Jawa Majapahit pindah ke Tengger dan Bali, lalu menghidupkan “kebudayaan Jawa” di tempatnya yang baru. Setelah Demak digantikan Mataram Islam, kebudayaan Jawa mengalami perombakan besar-besaran. Sultan Agung dianggap meletakkan dasar-dasar kebudayaan Jawa baru sebagai bagian dari politik kekuasaannya.

Pecahan-pecahan kebudayaan Jawa masa lalu di Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan berbagai daerah itu kini dianggap “bukan Jawa” dan bahkan diakui sebagai “orang asli”. Keturunan raja-raja Palembang Darussalam, yang tak lain adalah keturunan raja Demak, Raden Patah, di Sumatera Selatan dianggap sebagai “orang asli Plembang (Palembang)”. Tidak jauh dari Palembang, keturunan Ki Ageng Mangir, orang Jawa yang melarikan diri ke Sumatera Selatan setelah dikalahkan kerajaan Mataram, diakui sebagai “orang Komering”. Dan masih banyak lagi.

Tradisi peninggalan raja-raja pecahan dari Jawa itu kini menjadi aset daerah setempat. Lembaga kepariwisataan di berbagai daerah mencoba mengangkat dan menjual tradisi masa lalu yang dipandang memiliki kekhasan daerah.

Kesenian tradisi dianggap mencerminkan identitas daerah. Identitas dalam pariwisata nyaris selalu merujuk pada sesuatu yang sifatnya tradisional, masa lalu dan lokal. Pengertian tradisional lebih dipahami seolah-olah sebagai sesuatu yang sudah jadi, mapan. Yang lokal juga seolah-olah tidak tersentuh dunia luar, murni, orisinil, tidak ada di tempat lain.

Wilayah kebudayaan dipaksakan untuk bisa sebangun dengan wilayah administrasi pemerintahan formal. Akibatnya, identitas yang mengacu pada tradisi kemudian diperebutkan ketika masyarakat yang berada dalam satu rumpun budaya dipisahkan oleh batas-batas administrasi pemerintah. Ini bisa dilihat misalnya pada budaya Melayu yang diperebutkan oleh beberapa daerah di Sumatera, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Masing-masing mengklaim sebagai yang paling Melayu, bahkan ‘pusatnya Melayu’.

Pemekaran daerah yang banyak terjadi di Indonesia pasca Reformasi merupakan masalah politik-ekonomi yang juga berdampak pada kebudayaan. Saat ada pemekaran Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (keduanya di Sumatera Selatan), lagu Cindai Bulan yang sebelumnya dikenal sebagai lagu daerah Ogan Komering Ulu kemudian harus dikembalikan ke daerah asalnya, yaitu Ogan Komering Ulu Selatan.

Lalu bagaimana dengan budaya-budaya diaspora yang dibawa oleh sekelompok masyarakat yang keluar dari tanah leluhur melintasi batas-batas administrasi pemerintahan formal?

Masyarakat Ponorogo datang ke Malaysia membawa serta reog. Orang Jawa di Suriname membawa bahasa Jawa. Orang Banjar di Tembilahan, Jambi, membawa Mamanda. Orang Cina di berbagai Indonesia membawa barongsai. Setiap orang memiliki leluhur beserta kebudayaannya yang akan dijaga bersama kelompoknya. Kesenian tradisi sudah terlanjur dilekatkan dengan daerah asalnya. Nama reog seolah tidak bisa dilepaskan dari Ponorogo.

Pendatang relative menjadi pihak yang “ditentukan” ketimbang “menentukan”. Seberapa kadar “ditentukan” dan”menentukan” tergantung berapa banyak prosentase anggota kelompok beserta kekuatan yang dimiliki. Orang-orang Inggris di Amerika dan Australia menjadi pihak yang “menentukan” nasib penduduk setempat, yaitu Suku Indian dan Suku Aborigin. Suku Aborigin di Australia dan Suku Indian di Amerika tergusur oleh pendatang. Masyarakat Jawa di Suriname bisa leluasa berbahasa Jawa. Suku Bugis di Pagatan,Kalimantan Selatan, tetap bisa menampilkan upacara mappanretasi.

Sementara bagi kelompok-kelompok pendatang “minoritas” tidak bisa menampilkan budaya asalnya begitu saja kalau tidak ‘diijinkan’ penduduk asli. Budaya Cina pernah dilarang ditampilkan di tempat umum oleh pemerintah Orde Baru.

Cara yang paling aman untuk mengekspresikan budaya leluhur di tempat yang tidak menghendaki budaya seperti ‘aslinya’ di tempat leluhur adalah dengan cara mengadaptasikannya dengan budaya yang baru. Pendatang harus beradaptasi di tempatnya yang baru. Orang-orang Cina di Jawa berusaha seperti orang Jawa. Orang Jawa di Banjar berusaha seperti orang Banjar: berbahasa Banjar, memakai pakaian sasirangan, makan soto Banjar.

Aspek politik administrasi pemerintahan masih turut menentukan kekuasaan terhadap kebudayaan. Meskipun pendatang dari Bugis mengklaim sebesar lebih dari 70 % total jumlah penduduk di Kotabaru dan Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan), toh mereka tetap harus mengakui Budaya Banjar dalam kegiatan-kegiatan formal. Zaerullah Ashar, orang keturunan Bugis yang lahir di Tanah Bumbu dan beristrikan orang Solo, saat mencalonkan diri menjadi gubernur Kalimantan Selatan “diserang” lawan-lawan politiknya dengan isyu “Bukan putera daerah”. (Isyu bukan putera daerah tidak berlaku dalam Pilkada DKI Jakarta karena jumlah kaum urban jauh lebih banyak dibanding orang Betawi).

Malaysia kini menjadi salah satu daerah tujuan hijrahnya orang-orang dari Indonesia seiring dengan perkembangan ekonomi di negara itu. Di sisi yang lain, Malaysia sedang mengalami krisis identitas setelah menerapkan syariat agama Islam sebagai landasan kehidupan bernegara, yang kemudian mengikis akar budaya tradisi "asli" setempat. Saat industri pariwisata hendak dibangkitkan, dengan slogan "Malaysia The Truly Asia" yang dikonstruksikan untuk minat wisatawan asing akan terasa aneh jika citra pariwisata Malaysia ditampilkan dalam wajah Islam yang ke-Arab-araban. Malaysia lalu mengangkat budaya lokal milik para pendatang yang secara kebetulan berasal dari Indonesia. Sebuah ironi: Bangsa Indon diremehkan, produk kesenian milik Bangsa Indon (yang di daerah asalnya sendiri relatif tidak terawat) justru dibanggakan Malaysia, lalu hendak dijual melalui event kepariwisataan. (bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar