Sabtu, 29 Desember 2012

Hijrah

Ki Sulisno

Setiap hari raya Idul Fitri tiba, mobilitas para perantau menuju tempat kelahirannya terjadi luar biasa besarnya. Para perantau kembali ke tempat asalnya di desa-desa terpencil. Dalam arus searah. Arus mudik dari luar Pulau Jawa menuju Pulau Jawa begitu padatnya, sementara arus sebaliknya begitu lengang. 

Pulau Jawa memang memiliki jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Kepadatan jumlah penduduk dan sumber daya alam yang terbatas mendorong orang-orang yang kalah dalam persaingan untuk hijrah dan melawan semboyan mangan ora mangan kumpul (makan atau tidak makan yang penting berkumpul). Sebagian merantau ke kota-kota besar di Jawa, sebagian ke pulau-pulau lain di Indonesia, dan sebagian lagi keluar negeri menjadi TKI. Pada saat lebaran inilah Pulau Jawa kembali penuh sesak dan jalan-jalan di desa-desa dipenuhi mobil berplat kota-kota besar yang dihadirkan sebagai bagian dari simbol kesuksesan. 

Ini hampir sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat dari negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak: China. Orang-orang China merantau ke seluruh dunia dengan semboyan yang selalu diwariskan ke anak cucu, yakni: lebih baik menjadi kepala ayam daripada ekor gajah. Mereka merintis usaha milik sendiri, bukan sebagai pekerja di perusahaan milik orang lain. Dengan keuletan yang dimiliki akhirnya memang mengantarkan menjadi orang-orang sukses.

Hijrah diperlukan tidak hanya dalam bidang ekonomi. Sejarah orang besar dalam bidang apa pun banyak diwarnai oleh ’pelarian’ dari satu tempat ke tempat lainnya. Para nabi terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya sendiri karena ditolak atau bahkan hendak dibunuh orang-orang yang justru dikenal. Nabi Ibrahim ditolak masyarakat Khaldan. Nabi Isa atau Yesus diusir dari Nasaret. Nabi Muhammad meninggalkan kampung halamannya di Mekah hijrah ke Madinah. Dan masih banyak serentetan kisah nabi, rasul dan para wali yang jalan ceritanya nyaris sama: membawa ajaran baru, pemikiran yang tidak biasa, lalu ditolak sebagian masyarakat karena dianggap dapat menggoncangkan kemapanan, lalu menyemai benih tersebut di tempat lain hingga tumbuh subur
 .
Bukan hanya ’orang suci yang mendapat amanah menyebarkan ajaran Tuhan saja yang diusir dari kampungnya, lalu mendapat ladang subur di tempat lain. Seniman, guru, pedagang, bengkel, dukun pada awalnya diakui hingga terkenal di daerah lain, bukan di kampung halamannya sendiri.

Cobalah datang ke dukun terkenal lalu amati dari mana saja orang yang datang dan bagaimana tanggapan masyarakat setempat terhadap dukun itu? Hampir dapat dipastikan orang yang datang ke dukun itu umumnya adalah orang dari luar desa, bahkan bisa dari tempat yang jauh.

Kenapa banyak orang yang lebih mudah percaya dan terpesona pada orang yang baru dikenal ketimbang orang yang pernah hidup bersama puluhan tahun?

Masyarakat tempat sang dukun terkenal dilahirkan tidak mudah percaya pada sang dukun karena mereka merasa tahu betul kehidupan sang dukun sejak masih muda. Mereka tahu betul kehidupan sang dukun yang tidak serba baik. Masyarakat tidak sekadar mendengar dan meyakini apa yang dikatakan, tetapi juga melihat apa yang dialami dan dilakukan sang dukun.

Abu Lahab tidak mau mengakui Muhammad bukan hanya karena Muhammad membawa perspektif baru yang membongkar nilai-nilai yang dianut masyarakat Mekah bertahun-tahun, tetapi juga karena Muhammad adalah keponakannya yang baru lahir ’kemarin sore’. Ia barangkali memandang Muhammad sebagai anak muda yang makan asam garam kehidupannya belum sebanyak dirinya. Harga diri menutup hati dan pikirannya.

Sudah sejak ratusan tahun silam masyarakat kita mudah terhipnotis pesona orang-orang asing. Orang-orang berkulit bule dari Eropa atau bermata sipit dari daratan China mendapat tempat terhormat. Status social mereka lebih tinggi dari penduduk pribumi. Ajaran yang dibawa ‘orang asing’ ini akhirnya juga diterima sebagai sesuatu yang baru dan dianggap lebih baik. Agama Islam diterima karena disebarkan oleh para wali yang pada umumnya memiliki darah Arab. Agama Nasrani menarik ‘para elit’ di Jawa karena dibawa orang-orang Belanda yang status sosial-ekonominya lebih tinggi. Di tempat-tempat wisata, turis asing jelas mendapat perlakuan istimewa.

Keterpesonaan pada wajah asing itulah yang kemudian dimanfaatkan betul oleh Industri kapitalis dewasa ini. Wajah-wajah Barat, Indo, China, Korea ditaburkan dalam tayangan sinetron dan iklan yang kemudian menjadi kiblat anak-anak muda. Para bintang televisi didesain sedemikian rupa oleh pihak manajemen supaya tetap ada jarak dengan dunia sehari-hari.

Nah, supaya ’orang setempat’ juga bisa mendapat tempat terhormat di tengah masyarakatnya sendiri, maka ada beberapa pendekatan yang biasa dipakai. Pertama, ’orang setempat’ itu harus hijrah dulu ke tempat lain untuk membangun dirinya, setelah sukses di perantauan dia kembali ke tempat asalnya. Lihatlah, para perantau yang sukses di perantauan disanjung-sanjung masyarakat di tanah kelahirannya setiap lebaran tiba. Para ’putera daerah’ yang telah sukses di tempat lain ini juga cenderung memiliki kans lebih kuat dalam kontestasi semacam pilihan kepala daerah atau legislatif di daerah asalnya. Dalam bidang agama, seorang tokoh yang amat penting peranannya dalam perkembangan Islam di Masyarakat Banjar adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M). Kenapa pengaruhnya begitu besar hingga sekarang? Tentu karena ia anak angkat seorang raja dan belajar agama Islam langsung ke ”pusatnya”, yang tentu saja begitu mahal untuk ukuran saat itu. Dalam usia 30 tahun, Arsyad dikirim oleh Sultan Tamjidillah (1734-1759 M) ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama Islam. Kurang lebih 30 tahun ia belajar di Mekkah dengan para ulama terkemuka di zaman itu. Kemudian dia pindah ke Madinah, dan di sana ia belajar selama kurang lebih 5 tahun. Dalam usianya yang cukup tua (sekitar 65 tahun), ia kemudian pulang ke tanah Banjar. Dengan bekal itulah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menjadi ulama yang sangat berpengaruh di Kalimantan Selatan hingga saat ini.Seperti halnya para pemikir pada umumnya, pengaruh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di tanah Banjar justru semakin kuat justru setelah meninggal dunia.

Cara kedua, supaya ’orang setempat’ juga bisa mendapat tempat terhormat di tengah masyarakatnya sendiri, yaitu dengan cara menghadirkan sesuatu yang berasal dari tempat lain atau bahkan dari ’alam gaib’ untuk meyakinkan masyarakat setempat. Para Nabi diterima karena membawa wahyu yang diyakini langsung berasal dari Tuhan. Seorang anak kecil di Jombang, Jawa Timur, yang bernama Ponari, yang prestasi di sekolahnya tidak baik dan bahkan putus Sekolah Dasar, sempat didatangi puluhan ribu orang yang ingin mendapat khasiat dari batu yang dibawanya yang diyakini memiliki daya supranatural. Saya masih teringat, saat undian berhadiah SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) sedang berjaya pada tahun 1980-an, banyak orang pergi ke dukun untuk mendapatkan tebakan nomor hadiah yang akan dikeluarkan oleh penyelenggara SDSB (pemerintah).

***

Hijrah berarti melakukan perjalanan memasuki dunia yang lebih luas. Orang-orang Bugis telah lama dikenal sebagai pelayar ulung. Dengan kapal Phinisi yang tangguh mereka mengarungi samudra menuju tempat-tempat yang jauh. Sebagian dari mereka kemudian menetap di daerah-daerah yang dianggap lebih baik, diantaranya di daerah-daerah pesisir Pulau Kalimantan.

Penjelajah dari Eropa menempuh perjalanan lebih jauh lagi. Orang-orang Eropa berlomba-lomba menjelajah tempat-tempat terjauh di seluruh belahan dunia. Inggris adalah juaranya. Amerigo Vespucci, dkk menempuh perjalanan dari Inggris sampai di benua baru yang kemudian diberi nama Amerika, Di tempat-tempat penjelajahan ini mereka membangun negara. Hongkong dan Singapura adalah dua daerah di Asia yang maju setelah kedatangan orang-orang Inggris. Bahkan para narapidana dari Inggris yang dibuang di Benua Australia pun memiliki andil dalam pembangunan di Negara Australia.

Kota-kota dibangun oleh orang dari berbagai pelosok yang datang dengan membawa impian melambung. Para perantau cenderung memiliki etos kerja yang tinggi karena jika tidak bekerja bahkan tidak akan bisa makan. Etos inilah yang kemudian mengakibatkan para pendatang cenderung lebih makmur dibanding orang setempat. Para perantau menjadi kebanggaan sekaligus dicemburui. Lumbung-lumbung pangan di kota-kota di Sumatera dan Kalimantan umumnya berasal dari daerah-daerah transmigrasi yang berasal dari Jawa. Hijrah menjadi jalan pembuka menuju keberhasilan.

Hijrah berarti bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Hijrah dapat dilakukan bukan hanya sebatas wilayah geografis, tetapi juga wilayah sosial, budaya, dan bahkan wilayah agama/keyakinan.

Hijrah dalam wilayah pikiran tampaknya masih dalam masalah besar. Di jaman modern yang sudah sedemikian terbuka ini justru banyak manusia yang mengurung diri dalam kotak-kotak kesukuan, agama. Sebuah paradoks, semakin modern tetapi juga semakin konservatif. Kita cenderung asyik dan sudah merasa nyaman hidup di lingkungan kita sendiri, bersama golongan sendiri, suku bangsa sendiri, orang sekeyakinan.

Di tempat-tempat perantauan orang membuat paguyuban untuk mengumpulkan orang-orang yang sama asal-usulnya. Sentimen kesukuan semakin menguat. Dinas pariwisata daerah sibuk merekonstruksi karya-karya budaya masa lalu di daerahnya, lalu menyingkirkan unsur dari daerah lain yang berkembang di daerah itu. Kebudayaan di letakkan dalam kotak-kotak masyarakat etnis yang seolah terpisah dan berbeda dengan masyarakat daerah lain secara tegas. Dalam wilayah agama muncul gerakan-gerakan pemurnian oleh kelompok-kelompok fundamentalisme, Adakah di dunia ini yang betul-betul asli, murni, tidak terpengaruh?

Dunia sedemikian luas dan kaya. Hanya orang yang melakukan ’hijrah’ yang mengenal keanekaragaman sebagai sebuah keindahan sekaligus sumber pengetahuan untuk bisa bersikap bijaksana !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar