Kalau kita bertanya kepada orang-orang tua
tentang tempat yang paling ramai dan banyak dikunjungi orang pada jaman dulu, maka
pasar adalah salah satu jawabannya. Ya. Orang-orang dari berbagai penjuru mata
angin berdatangan ke pasar untuk menjual hasil bumi, membeli kebutuhan
sehari-hari, atau sekadar ingin bertemu banyak orang sambil minum teh di
warung. Orang saling berbagi kabar, lalu kabar dari seluruh arah mata angin itu
beredar melalui simbok bakul sinambi wara. Pengemis juga berdatangan
menghiba rezeki. Orang gila datang atau kadang sengaja dibuang di pasar (menurut
kepercayaan sebagian orang Jawa, orang gila yang masuk pasar akan susah sembuhnya).
Kemeriahan pasar semakin lengkap dengan kehadiran penjual jamu dan obat-obatan yang
menarik perhatian orang dengan menyertakan pertunjukan sulap dan akrobat. Ya.
Pasar menjadi tempat berlangsungnya aktifitas ekonomi sekaligus ruang sosial
yang kompleks. Pasar ngumandhang. Riuh suara pasar bisa terdengar sampai
berkilo-kilometer jauhnya. Seperti suara kumbang ambrengengeng yang selalu
berpindah tempat setiap hari mengikuti hari pasaran: legi, pahing, pon,
wage, dan kliwon.
Alam terus berubah. Jumlah penduduk terus
bertambah. Rumah semakin padat. Jarak antar desa semakin sempit. Keberadaan
tanah lapang, ara-ara, yang dulu bisa menggemakan suara kini dipenuhi
beton ruko dan pabrik. Pasar
ilang kumandhange, pasar
kehilangan gema. Desa berubah menjadi
kota batu. Hutan-hutan dibabat. Mata air mati. Tanah terbawa banjir, mengendap
di dasar sungai, menutup kedhung di ruas-ruas arus. Kali ilang
kedhunge, sungai hilang kedalaman lubuknya.
Kedhung adalah ceruk harapan para petani saat
musim kemarau datang karena di situlah limpahan air tersimpan. Kedung adalah ruang
kehidupan tempat berlindung bagi ikan, ular, kura-kura, dan tetumbuhan air. Ruh
orang yang mati tenggelam di kedhung karena tidak dapat berenang juga dipercaya
masih berada di situ menjadi makhluk penunggu. Orang yang masih hidup banyak bertapa
di sekitar kedung untuk mencari spirit ketenangan.
Pengendapan tanah di alur sungai-sungai di Jawa
sudah berlangsung lebih dari seabad lalu. Bengawan Solo yang dahulu merupakan salah
satu jalur lalu lintas utama perdagangan di Pulau Jawa tak lagi dapat dilewati tongkang-tongkang
besar. Kantor pajak di sepanjang sungai itu lalu ditutup semua. Ya. Kali
ilang kedhunge, sungai hilang kedalaman lubuknya. Air sungai yang menyusut
mengurangi kemampuan memantulkan suara kumandhang pasar yang terletak di
tepi-tepi sungai.
Bukan hanya pasar yang kehilangan kumandhang.
Pertunjukan wayang kulit, tayub, dan wireng yang diselenggarakan dalam
perayaan-perayaan ritus hidup orang Jawa juga semakin kehilangan gaung. Saat
masih kecil, saya sering menonton pertunjukan wayang di desa seberang. Suara
gamelan yang mengalun hingga terdengar dari desa-desa sekitarnya menarik orang
berdatangan seperti semut mendatangi gula. Di tempat acara berlangsung para tamu
undangan duduk di kursi sambil menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah. Sementara
orang yang tidak diundang bisa leluasa menikmati pertunjukan wayang dari luar
arena resmi sambil main dadu atau melihat-lihat orang berjualan wayang dari
kertas karton, mainan anak-anak, dan makanan. Bakmi godhok, tepo, acar ada
semua. Tapi awas, copet juga berkeliaran mencari mangsa di keramaian
pertunjukan wayang. Di tempat-tempat gelap pasangan muda-mudi mojok saling
merayu mesra. Ya. Seperti itulah suasana pertunjukan wayang saat masih ngumandhang.
Kini pertunjukan wayang semakin sepi penonton. Tanpa undangan orang tak mau
lagi datang. Selesai adegan gara-gara tamu bergegas pulang karena pagi harinya
harus bekerja. Di mana-mana orang lebih berpikir pragmatis. Dalang tak
henti-hentinya menyenandungkan Suluk Sendhon Tlutur:
“Surem-surem dewangkara kingkin. Manguswa kang
layon, Oo. Denya Ilang memanise. Wadananira layung kumel kucem rahnya maratani,
Oo ”
Jalan darat dibangun menggantikan lalu lintas sungai.
Pasar serentak dipindah di tepi-tepi jalan darat. Rumah-rumah penduduk tak lagi
menghadap sungai. Seperti muka (wajah) manusia yang selalu dirawat sementara
bagian pantat disembunyikan, muka (bagian depan) rumah juga cenderung lebih
diperhatikan, dihias sedemikian mentereng, sementara bagian belakangnya jarang
diperhatikan, bahkan bobrok dimakan rayap bisa tidak ketahuan. Sungai yang kini
berada di belakang rumah berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah dan
limbah. Air sungai tercemar. Ikan mati. Orang tak lagi ke sungai untuk mandi, memandikan
ternak, mengambil air untuk dimasak, mencuci pakaian dan mencari ikan.
Kehidupan yang berorientasi di daratan semakin
bising. Suara mesin ada di mana-mana. Kendaraan bermotor, pengeras suara,
pemotong rumput, mesin-mesin produksi, gergaji penebang pohon meraung-raung seperti
jerit harimau terluka. Telinga manusia semakin berkurang daya kepekaannya. Mata
manusia juga semakin tidak awas.
Saya masih ingat betul sebelum ada listrik masuk
ke desa, di tengah kegelapan malam saya terbiasa berjalan hanya berbekal buah
jarak kering yang dibakar sebagai penerang. Kunang-kunang menjadi penghias
malam yang begitu indah. Begitu juga bintang-bintang di langit. Jika ada
tetangga menyalakan petromaks, berarti ada pesta di situ. Sungguh terang
nyalanya. Kami tak ingin melewatkan moment itu. Kami begadang sampai
pagi. Tahun 1992 listrik masuk desa saya. Orang desa ramai-ramai membeli bola
lampu 5 watt untuk menggantikan lampu petromaks. Ada pula yang
membeli lampu 2,5 watt dengan harapan dapat menghemat biaya tagihan.
Kini lampu dengan daya sekecil itu tak lagi dipakai karena mata tak lagi peka
terhadap cahaya.
Mesin-mesin modern memanjakan sekaligus
menumpulkan kepekaan intuisi manusia. Anak-anak muda duduk bersama tanpa saling
menyapa. Masing-masing asyik dengan handpone; ada yang nelpon pacarnya
yang masih satu desa, ada yang mengirim SMS untuk anggota keluarganya yang
merantau di Arab Saudi. Hanya lewat kata-kata. Bahasa-bahasa isyarat tak
lagi dipakai. Bahasa tubuh tak lagi terbaca. Kemampuan membaca “yang tidak terkatakan”
semakin rendah. Orang tak mengerti bahasa isyarat, tanda-tanda, simbol-simbol.
Benar kata orang, alat komunikasi modern
mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Orang di pelosok-pelosok desa
mengetahui peristiwa-peristiwa politik di luar negeri, membincangkan gosip
selebriti di pusat industri Jakarta, sementara peristiwa matinya ayam kampung
secara serentak disertai menghilangnya jenis-jenis padi lokal di desanya tak
diketahuinya. Anak-anak petani tak tahu bagaimana mengolah tanah dan bercocok
tanam. Orang keasyikan berkelana di dunia maya sampai lupa bumi tempat
berpijak. Celakanya, hanya dengan menggunakan alat-alat berteknologi modern itu
orang sudah merasa menjadi manusia setengah dewa yang seolah serba tahu dan
serba bisa.
Teknologi modern memang berkembang sedemikian
pesatnya. Semuanya diimpor. Kita hanya jadi konsumennya. Kita hanya jadi
penggunanya, yang kadang menggunakan teknologi modern itu dengan cara-cara
primitif. Mindset kita belum mampu menjangkau kehidupan modern itu. Sikap-sikap
primitif masih sering kita tampilkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan, politik, hukum, agama dan
kebudayaan sering hanya menjadi arena bermain kata-kata tanpa kekuatan untuk
mengubah keadaan. Penceramah laku di mana-mana. Pengamat politik, pengamat
sepak bola, motivator, hingga pengamat makanan tampil laris manis di televisi. Yang
tidak laku di media massa menghamburkan komentar-komentarnya di facebook,
twitter dan jejaring sosial lainnya. Semua tampak tampil sebagai orang
baik-baik. Kata-kata melimpah ruah seperti busa.
Budaya visual dirayakan di mana-mana. Televisi
menjadi agama baru tempat rujukan nilai dan penentu arah peradaban yang
mengalirkan arus kebudayaan dari pusat industri Amerika yang membuka “cabang”di
Jakarta dan kota-kota di seluruh dunia. Seperti air bah yang menggenang di
mana-mana tanpa kedalaman: musik menye-menye, sinetron yang melecehkan
akal sehat, ceramah agama yang menjual ketampanan dan humor. Kali ilang
kedunge.
Ada mata air kebudayaan yang berasal dari
rumah-rumah ibadah, kitab-kitab suci, lembaga adat, tokoh masyarakat, sastrawan,
seniman dan masih banyak lagi. Mata air-mata air kebudayaan yang mengalirkan kearifan-kearifan
lokal itu serentak diterjang dan diambil-alih arus kebudayaan melalui media
massa yang tampak menarik tetapi tidak lebih baik.
Kebudayaan yang baru itu tak lebih hanya bagian
dari politik-ekonomi yang ujung-ujungnya kekuasaan dan uang. Politik sekadar
menjadi instrument ekonomi pribadi. Agama dipertaruhkan. Pendidikan semakin
komersial. Kehidupan sosial diatur dengan materi.
Perlahan-lahan pasar-pasar tradisional semakin
sepi. Hanya orang-orang tua yang masih tersisa yang masih merawat pasar
tradisional. Anak-anak muda lebih tertarik datang ke minimarket dan mall yang
dengan bangga disebutnya sebagai pasar modern. Pasar semakin sekadar tempat
transaksi, bukan lagi ruang sosial. Harga sudah ditempel dengan pasti. Tak ada
tawar-menawar. Tak ada negosiasi. Tak ada komunikasi. Pasar ilang kumandhange, pasar kehilangan gema.
Kapitalisme mencengkeram erat di semua sendi
kehidupan. Para pemodal besar terus menumpuk kekayaan pribadinya. Kehidupan sosial-ekonomi
yang ditopang kemasyarakatan hancur. Ekologi hancur. Moral hancur. Peradaban
hancur.
Dalam sebuah pertunjukan wayang yang sepi
penonton, dalang tak henti-hentinya menyenandungkan Suluk Sendhon Tlutur:
“Surem-surem dewangkara kingkin. Manguswa kang
layon, Oo. Denya Ilang memanise. Wadananira layung kumel kucem rahnya maratani, Oo”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar