Rabu, 10 Oktober 2012

Pasar Ilang Kumandhange, Kali Ilang Kedhunge

Ki Sulisno


Kalau kita bertanya kepada orang-orang tua tentang tempat yang paling ramai dan banyak dikunjungi orang pada jaman dulu, maka pasar adalah salah satu jawabannya. Ya. Orang-orang dari berbagai penjuru mata angin berdatangan ke pasar untuk menjual hasil bumi, membeli kebutuhan sehari-hari, atau sekadar ingin bertemu banyak orang sambil minum teh di warung. Orang saling berbagi kabar, lalu kabar dari seluruh arah mata angin itu beredar melalui simbok bakul sinambi wara. Pengemis juga berdatangan menghiba rezeki. Orang gila datang atau kadang sengaja dibuang di pasar (menurut kepercayaan sebagian orang Jawa, orang gila yang masuk pasar akan susah sembuhnya). Kemeriahan pasar semakin lengkap dengan kehadiran penjual jamu dan obat-obatan yang menarik perhatian orang dengan menyertakan pertunjukan sulap dan akrobat. Ya. Pasar menjadi tempat berlangsungnya aktifitas ekonomi sekaligus ruang sosial yang kompleks. Pasar ngumandhang. Riuh suara pasar bisa terdengar sampai berkilo-kilometer jauhnya. Seperti suara kumbang ambrengengeng yang selalu berpindah tempat setiap hari mengikuti hari pasaran: legi, pahing, pon, wage, dan kliwon.

Alam terus berubah. Jumlah penduduk terus bertambah. Rumah semakin padat. Jarak antar desa semakin sempit. Keberadaan tanah lapang, ara-ara, yang dulu bisa menggemakan suara kini dipenuhi beton ruko dan pabrik. Pasar ilang kumandhange, pasar kehilangan gema. Desa berubah menjadi kota batu. Hutan-hutan dibabat. Mata air mati. Tanah terbawa banjir, mengendap di dasar sungai, menutup kedhung di ruas-ruas arus. Kali ilang kedhunge, sungai hilang kedalaman lubuknya.

Kedhung adalah ceruk harapan para petani saat musim kemarau datang karena di situlah limpahan air tersimpan. Kedung adalah ruang kehidupan tempat berlindung bagi ikan, ular, kura-kura, dan tetumbuhan air. Ruh orang yang mati tenggelam di kedhung karena tidak dapat berenang juga dipercaya masih berada di situ menjadi makhluk penunggu. Orang yang masih hidup banyak bertapa di sekitar kedung untuk mencari spirit ketenangan.

Pengendapan tanah di alur sungai-sungai di Jawa sudah berlangsung lebih dari seabad lalu. Bengawan Solo yang dahulu merupakan salah satu jalur lalu lintas utama perdagangan di Pulau Jawa tak lagi dapat dilewati tongkang-tongkang besar. Kantor pajak di sepanjang sungai itu lalu ditutup semua. Ya. Kali ilang kedhunge, sungai hilang kedalaman lubuknya. Air sungai yang menyusut mengurangi kemampuan memantulkan suara kumandhang pasar yang terletak di tepi-tepi sungai.

Bukan hanya pasar yang kehilangan kumandhang. Pertunjukan wayang kulit, tayub, dan wireng yang diselenggarakan dalam perayaan-perayaan ritus hidup orang Jawa juga semakin kehilangan gaung. Saat masih kecil, saya sering menonton pertunjukan wayang di desa seberang. Suara gamelan yang mengalun hingga terdengar dari desa-desa sekitarnya menarik orang berdatangan seperti semut mendatangi gula. Di tempat acara berlangsung para tamu undangan duduk di kursi sambil menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah. Sementara orang yang tidak diundang bisa leluasa menikmati pertunjukan wayang dari luar arena resmi sambil main dadu atau melihat-lihat orang berjualan wayang dari kertas karton, mainan anak-anak, dan makanan. Bakmi godhok, tepo, acar ada semua. Tapi awas, copet juga berkeliaran mencari mangsa di keramaian pertunjukan wayang. Di tempat-tempat gelap pasangan muda-mudi mojok saling merayu mesra. Ya. Seperti itulah suasana pertunjukan wayang saat masih ngumandhang. Kini pertunjukan wayang semakin sepi penonton. Tanpa undangan orang tak mau lagi datang. Selesai adegan gara-gara tamu bergegas pulang karena pagi harinya harus bekerja. Di mana-mana orang lebih berpikir pragmatis. Dalang tak henti-hentinya menyenandungkan Suluk Sendhon Tlutur:

“Surem-surem dewangkara kingkin. Manguswa kang layon, Oo. Denya Ilang memanise. Wadananira layung kumel kucem rahnya maratani, Oo ”

Jalan darat dibangun menggantikan lalu lintas sungai. Pasar serentak dipindah di tepi-tepi jalan darat. Rumah-rumah penduduk tak lagi menghadap sungai. Seperti muka (wajah) manusia yang selalu dirawat sementara bagian pantat disembunyikan, muka (bagian depan) rumah juga cenderung lebih diperhatikan, dihias sedemikian mentereng, sementara bagian belakangnya jarang diperhatikan, bahkan bobrok dimakan rayap bisa tidak ketahuan. Sungai yang kini berada di belakang rumah berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah. Air sungai tercemar. Ikan mati. Orang tak lagi ke sungai untuk mandi, memandikan ternak, mengambil air untuk dimasak, mencuci pakaian dan mencari ikan.

Kehidupan yang berorientasi di daratan semakin bising. Suara mesin ada di mana-mana. Kendaraan bermotor, pengeras suara, pemotong rumput, mesin-mesin produksi, gergaji penebang pohon meraung-raung seperti jerit harimau terluka. Telinga manusia semakin berkurang daya kepekaannya. Mata manusia juga semakin tidak awas.

Saya masih ingat betul sebelum ada listrik masuk ke desa, di tengah kegelapan malam saya terbiasa berjalan hanya berbekal buah jarak kering yang dibakar sebagai penerang. Kunang-kunang menjadi penghias malam yang begitu indah. Begitu juga bintang-bintang di langit. Jika ada tetangga menyalakan petromaks, berarti ada pesta di situ. Sungguh terang nyalanya. Kami tak ingin melewatkan moment itu. Kami begadang sampai pagi. Tahun 1992 listrik masuk desa saya. Orang desa ramai-ramai membeli bola lampu 5 watt untuk menggantikan lampu petromaks. Ada pula yang membeli lampu 2,5 watt dengan harapan dapat menghemat biaya tagihan. Kini lampu dengan daya sekecil itu tak lagi dipakai karena mata tak lagi peka terhadap cahaya.

Mesin-mesin modern memanjakan sekaligus menumpulkan kepekaan intuisi manusia. Anak-anak muda duduk bersama tanpa saling menyapa. Masing-masing asyik dengan handpone; ada yang nelpon pacarnya yang masih satu desa, ada yang mengirim SMS untuk anggota keluarganya yang merantau di Arab Saudi. Hanya lewat kata-kata. Bahasa-bahasa isyarat tak lagi dipakai. Bahasa tubuh tak lagi terbaca. Kemampuan membaca “yang tidak terkatakan” semakin rendah. Orang tak mengerti bahasa isyarat, tanda-tanda, simbol-simbol.

Benar kata orang, alat komunikasi modern mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Orang di pelosok-pelosok desa mengetahui peristiwa-peristiwa politik di luar negeri, membincangkan gosip selebriti di pusat industri Jakarta, sementara peristiwa matinya ayam kampung secara serentak disertai menghilangnya jenis-jenis padi lokal di desanya tak diketahuinya. Anak-anak petani tak tahu bagaimana mengolah tanah dan bercocok tanam. Orang keasyikan berkelana di dunia maya sampai lupa bumi tempat berpijak. Celakanya, hanya dengan menggunakan alat-alat berteknologi modern itu orang sudah merasa menjadi manusia setengah dewa yang seolah serba tahu dan serba bisa.

Teknologi modern memang berkembang sedemikian pesatnya. Semuanya diimpor. Kita hanya jadi konsumennya. Kita hanya jadi penggunanya, yang kadang menggunakan teknologi modern itu dengan cara-cara primitif. Mindset kita belum mampu menjangkau kehidupan modern itu. Sikap-sikap primitif masih sering kita tampilkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan, politik, hukum, agama dan kebudayaan sering hanya menjadi arena bermain kata-kata tanpa kekuatan untuk mengubah keadaan. Penceramah laku di mana-mana. Pengamat politik, pengamat sepak bola, motivator, hingga pengamat makanan tampil laris manis di televisi. Yang tidak laku di media massa menghamburkan komentar-komentarnya di facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya. Semua tampak tampil sebagai orang baik-baik. Kata-kata melimpah ruah seperti busa.

Budaya visual dirayakan di mana-mana. Televisi menjadi agama baru tempat rujukan nilai dan penentu arah peradaban yang mengalirkan arus kebudayaan dari pusat industri Amerika yang membuka “cabang”di Jakarta dan kota-kota di seluruh dunia. Seperti air bah yang menggenang di mana-mana tanpa kedalaman: musik menye-menye, sinetron yang melecehkan akal sehat, ceramah agama yang menjual ketampanan dan humor. Kali ilang kedunge.

Ada mata air kebudayaan yang berasal dari rumah-rumah ibadah, kitab-kitab suci, lembaga adat, tokoh masyarakat, sastrawan, seniman dan masih banyak lagi. Mata air-mata air kebudayaan yang mengalirkan kearifan-kearifan lokal itu serentak diterjang dan diambil-alih arus kebudayaan melalui media massa yang tampak menarik tetapi tidak lebih baik.

Kebudayaan yang baru itu tak lebih hanya bagian dari politik-ekonomi yang ujung-ujungnya kekuasaan dan uang. Politik sekadar menjadi instrument ekonomi pribadi. Agama dipertaruhkan. Pendidikan semakin komersial. Kehidupan sosial diatur dengan materi.

Perlahan-lahan pasar-pasar tradisional semakin sepi. Hanya orang-orang tua yang masih tersisa yang masih merawat pasar tradisional. Anak-anak muda lebih tertarik datang ke minimarket dan mall yang dengan bangga disebutnya sebagai pasar modern. Pasar semakin sekadar tempat transaksi, bukan lagi ruang sosial. Harga sudah ditempel dengan pasti. Tak ada tawar-menawar. Tak ada negosiasi. Tak ada komunikasi. Pasar ilang kumandhange, pasar kehilangan gema.

Kapitalisme mencengkeram erat di semua sendi kehidupan. Para pemodal besar terus menumpuk kekayaan pribadinya. Kehidupan sosial-ekonomi yang ditopang kemasyarakatan hancur. Ekologi hancur. Moral hancur. Peradaban hancur.

Dalam sebuah pertunjukan wayang yang sepi penonton, dalang tak henti-hentinya menyenandungkan Suluk Sendhon Tlutur:

“Surem-surem dewangkara kingkin. Manguswa kang layon, Oo. Denya Ilang memanise. Wadananira layung kumel kucem rahnya maratani, Oo”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar