Senin, 20 Februari 2012

Museum Radya Pustaka, Wayang, Media Massa dan Ingatan Publik

Ki Sulisno

Beberapa waktu lalu sejumlah media massa di Solo dan media nasional ramai memberitakan dugaan adanya pemalsuan serta hilangnya sejumlah wayang peninggalan Paku Buwana X di Museum Radya Pustaka Solo. Berita itu kini sudah tenggelam ditelan berita-berita terbaru, terutama masalah politik nasional yang selalu menjadi perbincangan ramai di tengah khalayak. Kita tidak tahu lagi bagaimana perkembangan kasus wayang itu.

Untuk apa membincangkan hilangnya benda koleksi museum? Siapa yang tertarik dengan masa lalu? Sehari-hari jarang ada orang membincangkan museum, apalagi mengunjungi. Museum Radya Pustaka baru ramai dibincangkan banyak orang setelah diberitakan media massa atas hilangnya sejumlah benda koleksi beberapa kali dalam rentang waktu yang relatif tidak lama. Setelah kasusnya diberitakan media massa barulah masyarakat turut membincangkan. 

Hanya membincangkan kasusnya. Museum yang berada di Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota Solo yang ramai itu, tetap saja tidak mampu menarik banyak pengunjung. Jika dibandingkan dengan pengunjung tempat hiburan dan mall yang lokasinya tidak jauh dari museum itu maka pengunjung Museum Radya Pustaka jumlahnya jauh lebih sedikit. Kalaupun ada rombongan pelajar yang mengunjungi museum ini tidak jarang karena diwajibkan oleh gurunya. Segelintis orang yang merasa berkepentingan terhadap museum pun biasanya memiliki keterkaitan profesi dengan masalah kebudayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Masyarakat disibukkan dengan hiruk-pikuk persoalan yang tidak seluruhnya berkaitan langsung dengan kehidupannya. Berbagai peristiwa dan perkembangan yang bersifat kekinian datang silih berganti menyita perhatian bersama imajinasi-imajinasi yang dilekatkan kepadanya campur aduk dalam benang kusut ingatan bersama. 

Semua tak lepas dari media massa. Semua dimainkan oleh media massa. Berita tentang korupsi, boyband, hingga kasus seputar ranjang selebriti menjadi menu sehari-hari yang dikonsumsi masyarakat dengan begitu mengasyikkan. 

Banyak orang terbawa arus itu. Banyak orang terseret arus itu. Di warung-warung kopi orang ngomongin siaran televisi. Di angkringan, hik, hingga di seminar-seminar resmi orang ngomong seperti yang ada di televisi. Seolah kebenaran hanya bersifat tunggal. 

Tentu saja yang bisa memaksakan sudut pandang kebenaran itu adalah orang yang punya uang dan kekuasaan. Dan televisi menjadi media yang sangat strategis untuk itu. Orang-orang yang tak mengenal berita di tivi akan dianggap sebagai orang yang ketinggalan jaman.

Beragam peristiwa dimunculkan di layar televisi setiap detik setiap waktu. Setelah dimunculkan dengan bumbu-bumbu opini, pencitraan-pencitraan yang sedemikian luar biasa, tidak lama kemudian akan menghilang begitu saja digantikan oleh peristiwa lain yang baru. Masyarakat penonton tidak sempat mengunyah, mendapatkan pelajaran sekaligus memberi makna dari sesuatu yang sudah lewat.

Media massa pun tidak memberi ruang yang cukup bagi tradisi. Segala yang berasal dari masa lalu ditinggalkan begitu saja seolah-olah dianggap tidak lagi dapat berguna, tidak memiliki keterkaitan dengan masa kini, apalagi masa depan. Bukankah menjalani kehidupan tanpa menoleh masa lalu sama artinya menjalani hidup hanya dengan improvisasi?

Orang biasanya baru merasa memiliki sesuatu setelah kehilangan. Masyarakat Indonesia pernah beberapa kali mengungkapkan kekesalan pada Malaysia yang mengklaim beberapa karya seni tradisi Indonesia sebagai miliknya dalam sebuah promosi pariwisata. Padahal sebelum iklan itu ditayangkan sejumlah karya seni tersebut cenderung tidak diperhatikan. Begitu halnya dengan Museum Radya Pustaka juga baru dibicarakan banyak orang setelah sejumlah benda koleksi di dalamnya dicuri, padahal sehari-hari memang selalu sepi pengunjung. 

Benda-benda koleksi peninggalan masa lalu memang tidak selalu membanggakan. Juga seringkali ada aspek politis yang hanya menonjolkan kelompok tertentu dan mengabaikan yang lain. Sejarah resmi adalah milik penguasa yang hanya mencatat sisi-sisi baik para pejabat beserta barang-barang miliknya, atau sisi gelap musuh-musuhnya. Rakyat hanyalah kerumunan tak beridentitas yang dimunculkan untuk meneguhkan kekuasaan itu sendiri. Rakyat tak pernah tercatat secara jelas. Saat kekuasaan beralih tangan, sejarah lama akan dipertanyakan, diragukan dan digantikan oleh sejarah penguasa yang baru. 

Lalu untuk apa mengunjungi museum bila benda-benda di dalamnya hanya menjadi bagian semu dari kehidupannya? Untuk apa mengagumi heroisme para pangeran yang hanya mampu berdiri tegak di atas topangan rakyat yang dianonimkan? Rakyat kecil tidak diakui peran pentingnya atau pun kalau dilibatkan cuma sekadar sebagai pelengkap penderita. 

Museum seolah hanya menjadi tempat bernostalgia bagi kalangan yang kini telah kehilangan kekuasaan dan selalu merindukan masa lalu, sementara rakyat kecil terus sibuk menjalani kehidupan sehari-hari yang keras, dan memandang tak perlu bernostalga tentang kejayaan masa lalu kerajaan.

Atau, kalaupun rakyat merasa menjadi bagian dari sejarah masa lalu itu maka bisa jadi pula peninggalan yang sudah pernah dikenalnya itu kemudian sudah dianggapnya sesuatu yang biasa, tidak lagi istimewa. Menyaksikan sesuatu berkali-kali dapat menimbulkan efek banal. Lalu orang mencari sesuatu yang baru yang berasal dari luar kepemilikannya. ‘Rumput tetangga nampak lebih hijau dari rumput sendiri’. Tentu saja wilayah ‘tetangga’ bukan sekadar geografis. Melalui media-media yang dengan bangga kita bawa ke ruang-ruang pribadi, kita bisa menikmati produk kebudayaan-kebudayaan populer tak jelas akarnya, yang seolah-olah selalu diperbarui, dan bisa dinikmati dengan begitu murah meriah. Orang semakin malas pergi nonton pertunjukan wayang di tempat hajatan tetangga, meski gratis. 

Setelah wayang di Museum Radya Pustaka dicurigai hilang atau dipalsukan, kesadaran memiliki itu barangkali muncul di sejumlah masyarakat. Rasa memiliki dapat mendorong orang ingin datang mengunjungi museum tetapi juga bisa sebaliknya, menimbulkan keengganan karena kecewa. Kewibawaan Keraton Solo sebagai sumber sejarah budaya Jawa masa lampau pun semakin turun. Hilang atau dipalsukannya benda koleksi, yang menurut kabar yang beredar benda-benda yang asli dijual ke luar negeri, dapat menimbulkan anggapan bahwa museum tak ubahnya toko souvenir pariwisata yang menjual benda-benda budaya. Nilai sejarah di dalam benda itu ditukar dengan uang untuk kepentingan pribadi para pelaku pemalsuan.

Hilangnya satu boneka wayang berarti hilangnya banyak data. Setiap wayang bisa dikaji dari banyak aspek: kesenirupaannya, pertunjukannya, hingga sistem religi yang turut membentuk wayang itu. Wayang dan arca-arca yang pernah hilang itu masing-masing terkait dengan konteks sejarah dan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa pada suatu masa. 

Dilihat secara fisik, boneka-boneka wayang yang hilang itu sebetulnya bisa diganti dengan boneka wayang yang baru yang lebih bagus. Para pembuat wayang akan dengan mudah membuat duplikat dengan cara ngeblak. Toh tokoh yang sama antar wayang yang satu dengan lainnya tidak jauh beda. Tetapi persoalannya tentu bukan sekadar itu. Wayang itu peninggalan PB X, raja Surakarta terbesar. Pada jaman PB X inilah kebudayaan Jawa mengalami masa keemasan. Salah satu tonggak penting pada masa pemerintahan PB X adalah didirikannya sekolah dalang Padhasuka (Pasinaon Dhalang Surakarta) tahun 1923 yang terletak di Radya Pustaka. Dari Museum Radya Pustaka inilah jejak-jejak perkembangan pedalangan ditapakkan. Dari sini pula dilahirkan sejumlah karya masterpiece. Wayang yang hilang atau dipalsukan itu menjadi bagian dari masa keemasan itu. 

Bisa dipahami mengapa yang paling merasa kehilangan atas kasus ini terutama adalah sejarawan dan para dalang. Para sejarawan kehilangan data-data penting yang melekat pada wayang yang hilang itu dan mungkin suatu saat akan mendapatkan data itu di tempat yang jauh di luar negeri. Masyarakat Indonesia sudah kehilangan banyak data sejarah. Para peneliti kebudayaan nusantara sering dianggap belum lengkap jika belum melihat koleksi di Museum Universitas Leiden, Belanda. Setelah sejumlah koleksi tersimpan di museum-museum di luar negeri barulah orang sadar bahwa itu miliknya, sementara pada saat benda-benda itu terpajang di museum di Indonesia diabaikan. 

Masyarakat pun semakin hidup di tengah kepungan pandangan orang-orang modern yang begitu suka memberi nilai benda dengan cara mengaitkannya dengan sejarah di sekitar benda itu. 

Sejarah itu kini tidak hanya diciptakan dan dimainkan oleh elit politik, tetapi juga oleh media massa. Media massa menciptakan sejarah seseorang untuk tujuan-tujuan ekonomi dengan mencampuradukkan sesuatu yang sakral, adiluhung, dengan sesuatu yang remeh-temeh. 

Sejarah turut memberikan nilai pada suatu benda jauh melebihi fungsi praktisnya. Barang-barang yang pernah dimiliki atau dipakai tokoh-tokoh penting harganya akan naik berlipat-lipat. Wayang yang hilang di Museum Radya Pustaka adalah peninggalan PB X, raja Surakarta yang memberikan perhatian paling besar terhadap kesenian Jawa sehingga mencapai jaman keemasan.

Hilangnya wayang peninggalan PB X turut disesalkan beberapa dalang. Wayang adalah bagian dari kehidupan seorang dalang yang begitu dijunjung tinggi. Bukan sekadar sebagai alat mencari nafkah. Sebagian dalang menganggap wayang sebagai pusaka, kebanggaan, identitas bahkan simbol harga dirinya. Meskipun ada isyu yang mencurigai keterlibatan dalang dalam kasus hilangnya wayang di Museum Radya Pustaka, namun bagi sejumlah dalang, pemalsuan dan pencurian terhadap wayang-wayang yang disakralkan bisa ditafsirkan sebagai penelikungan terhadap dunia pedalangan dan kebudayaan Jawa.

Minggu, 19 Februari 2012

Seribu Sungai

Ki Sulisno

Kota Seribu Sungai. Ikon itu dilekatkan pada Kota Banjarmasin. Apakah betul-betul ada seribu sungai? Tentu tidak. Kata seribu untuk meyakinkan betapa banyaknya sungai-sungai itu. Ya. Kota Banjarmasin adalah kota yang hampir seluruh wilayahnya terdiri atas rawa-rawa. Rumah-rumah dibangun di atas air. Air pasang pada malam hari dan akan surut di pagi harinya. Naik dan turun. Tenang. Seolah tidak mengalir. Menandakan bahwa ketinggian tempatnya hampir sejajar dengan permukaan laut. Sungai besar dan kecil mudah ditemukan. Perahu kelotok dan jukung hilir mudik melintasi orang-orang yang mandi, mencuci, memancing ikan, dan berak di dalam rumah-rumah lanting yang mengapung di atas air.

Sungai-sungai itu juga menghubungkan sejumlah daerah lain di Kalimantan Selatan. Sejumlah barang dipasok dari hulu sungai di daerah pegunungan Meratus. Kayu galam, ulin dan bambu diangkut dengan perahu atau dihanyutkan melalui sungai. Batu bara juga dikirim ke tempat lain melintasi pulau bahkan melintasi batas negara dengan tongkang yang mampu mengangkut berpuluh-puluh ton batubara yang ditambang siang dan malam tanpa henti. Saya pernah memancing semalam suntuk di Pelabuhan Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, saat malam bulan purnama. Saat itulah saya menyaksikan batubara yang diangkut dengan tongkang menyerupai gundukan bukit yang berjalan. Puluhan kali pemandangan bukit ini melintas hanya berselang dalam hitungan menit, tidak sampai jam.

Sementara kalau kita melewati daerah Negara di Kabupaten Hulu Sungai Utara dari Kota Amuntai menuju Kota Kandangan, Hulu Sungai Selatan, selain sesekali menyaksikan rangkaian bambu yang dihanyutkan melalui sungai yang bersebelahan dengan jalan beraspal juga bisa menikmati pemandanga hamparan perairan puluhan ribu hektar pada saat musim hujan dan beralih menjadi tanah pertanian saat kemarau. Di areal itulah hidup ribuan kerbau rawa milik warga yang seolah dilepas begitu saja.

Ini dapat menjadi potensi wisata yang luar biasa untuk digarap. Sungai-sungai di Pegunungan Meratus yang berarus deras adalah potensi wisata petualangan yang menakjubkan. Di Marabahan terdapat jembatan yang begitu indah dan pelabuhan yang mengesankan saat suasana malam. Menikmati pentas seni berkelas di Panggung Terbuka Siring Kotabaru takkan mudah terlupakan. Begitu pula menyusuri sungai di daerah-daerah lain di Kalimantan Selatan, akan lebih berkesan lagi bila di setiap sungai mendapatkan pemandangan dan pengalaman berbeda.

Sungai telah menjadi bagian dari identitas. Wilayah-wilayah di Kalimantan Selatan, dari tingkat kampung hingga tingkat kabupaten banyak yang diberi nama sesuai nama sungai yang melintas di wilayah tersebut. Sungai Lulut, Sungai Jingah, Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan adalah nama-nama yang merujuk pada sungai. Kota Seribu Sungai diberikan sebagai julukan Kota Banjarmasin.

Sungai melahirkan kebudayaan. Sebelum jalan-jalan beraspal dibangun Belanda dan pemerintah pasca kemerdekaan, sungai adalah jantung peradaban. Sungai merupakan arena sosial tempat berlangsungnya interaksi antar warga, sistem penghidupan dan nilai-nilai sosial dibangun. Pasar Terapung adalah warisan kebudayaan sungai yang tersisa hingga sekarang. Pasar Terapung kini menjadi ikon Kota Banjarmasin yang juga dipakai sebagai station identity sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Sayangnya, nama pasar terapung yang sudah menasional itu tidak cukup mendongkrak gairah kehidupan Pasar Terapung itu sendiri. Para pedagang di Pasar Terapung justru jumlahnya terus menurun. Orang yang masih bertahan sekarang adalah ‘orang-orang lama’ yang sudah berdagang puluhan tahun. Mengapa generasi muda tampaknya enggan meneruskan?

Di jaman yang serba berorientasi materi sekarang ini, ketidakterlibatan generasi muda dalam Pasar Terapung menunjukkan sinyal masih belum baiknya prospek ekonomi di Pasar Terapung. Pasar Terapung kalah dengan pasar yang ada di darat. Mereka yang masih bertahan adalah pedagang yang mewarisi tradisi turun-temurun sekaligus mewarisi sungai sebagai lahan berdagang miliknya yang tidak didapatkan di darat.

Kehidupan sungai semakin lama semakin terpinggirkan. Daerah-daerah di Kalimantan Selatan berkembang menjadi kota-kota daratan seperti daerah lain. Jalan-jalan darat dibangun disertai perubahan moda transportasi dan perubahan orientasi masyarakat. Budaya sungai perlahan-lahan ditinggalkan, beralih ke budaya darat. Rumah-rumah menghadap ke darat. Sungai menjadi ‘wilayah belakang’ yang diasosiasikan sebagai tempat berak, mandi, dan pembuangan sampah. Kebersihan dan keindahan sungai kurang dijaga. Banyak rumah yang dibangun hampir seluruhnya di atas sungai, mengambil badan sungai. Sejumlah usaha penggergajian kayu di tepi sungai juga perlahan-lahan mempersempit sungai.

Dalam rangka menghidupkan sungai itulah sejumlah festival sungai diselenggarakan rutin setiap tahun, di antaranya Festival Budaya Pasar Terapung yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan di setiap bulan November dan Bamboo Rafting yang digelar Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan pada bulan Desember di sepanjang aliran Sungai Amandit dari Loksado sampai Kota Kandangan. Kedua acara itu sama-sama menggali potensi sungai dalam even kepariwisataan.

Sayang sekali, acara-acara itu tanpa didukung infrastruktur yang baik. Menyusuri Sungai Amandit dengan rakit dari rangkaian bambu, peserta seolah disuguhi pemandangan belakang rumah-rumah penduduk yang banyak sampahnya saat memasuki Kota Kandangan.

Begitu halnya dengan Festival Budaya Pasar Terapung yang justru tidak ada aktivitas transaksi di atas sungai. Aktivitas di sungai hanya berupa lomba balap jukung dan perahu hias. Selebihnya adalah pameran pembangunan di stand-stand milik instansi-instansi pemerintah dan juga pasar yang diselenggarakan di halaman kantor gubernur di daratan, bukan di sungai. Saya membayangkan suatu saat nanti dapat mengunjungi festival pasar terapung yang benar-benar sebagai pasar terapung, berbelanja atau makan di warung-warung di atas perahu-perahu hias di tengah sungai.

Panitia dan masyarakat Kalimantan Selatan tentu berharap agar festival-festival semacam itu dapat menjadi momentum menghidupkan lingkungan alam dan budaya Kalimantan Selatan yang berdampak pada kejayaan dan kesejahteraan masyarakat, dan bukan pesta menghabiskan “uang rakyat”, menyedot APBD. Pasar Terapung dan Bamboo Rafting memiliki ciri khas yang tidak ada di tempat lain di seluruh wilayah Indonesia. Tinggal mengemasnya lebih menarik lagi dengan tetap berpijak dari akar budaya sungai. Acara itu juga dapat dijadikan sebagai “ajang perlawanan” terhadap dominasi budaya kota daratan yang telah meminggirkan budaya sungai. Sebagai referensi, festival perlawanan terhadap estetika global berhasil dilakukan Jember Fashion Carnival di Kota Jember Jawa Timur yang memberikan perlawanan terhadap arus utama mode global dan Festival Lima Gunung di Magelang Jawa Tengah yang mematahkan konsep, bentuk, dan jalur pariwisatanya pemerintah. Jember Fashion Carnival dan Festival Lima Gunung terbukti mampu menjadi magnet yang luar biasa bagi para wisatawan dan wartawan nasional maupun mancanegara. Keduanya berangkat dari festival  yang murni dari rakyat, yang kemudian bekerja sama dengan pemerintah.

Festival sungai di Kalimantan Selatan dapat digarap dengan memberikan alternatif bentuk-bentuk karnaval jalanan yang sudah sangat umum dan biasa. Akar budaya setempat dapat dijadikan sebagai ‘landasan filosofis’ festival, sekaligus sumber kreatifitas membuat kemasan-kemasan yang unik, aktual, kontekstual dan mengakar. Perlu kreativitas untuk menampilkan bentuk-bentuk yang tidak konvensional, yang bukan sekadar parade hiasan rumah adat yang diiringi musik-musik populer.

Bamboo Rafting di Kabupaten Hulu Sungai Selatan memiliki konsep yang mengakar dari kehidupan masyarakat setempat. Perahu yang digunakan berbahan dasar bambu-bambu utuh yang diikat berjajar. Kita tahu, di wilayah hulu sungai banyak tanaman bambu. Bamboo Rafting menjadi sarana membawa bambu-bambu itu ke daerah hilir untuk kemudian dijual. Bamboo Rafting sebagai wisata petualangan sangat memungkinkan untuk diselenggarakan seminggu atau sebulan sekali. Parade Bamboo Rafting yang diselenggarakan dalam rangkaian hari jadi kabupaten tersbut menjadi semacam puncak pesta rakyat. Rombongan perahu-perahu bambu yang dihias dan diiringi  aneka tetabuhan mengarak pasangan-pasangan pengantin Banjar, melintasi ribuan penonton yang memadati tepi sungai dan kebun-kebun milik penduduk. Acara spesial di moment spesial. Kenangan yang takkan terlupakan sepanjang hidup bagi pengantin dan orang-orang yang terlibat. Luar Biasa !

Tanglong

Ki Sulisno

Ratusan perahu berhiaskan lentera semacam lampion hilir mudik di Sungai Martapura Banjarmasin di depan Masjid Sabilal Muhtadin hingga depan kantor lama pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Setiap perahu mengeluarkan musik rekaman maupun dimainkan langsung oleh para pemusik di atas perahu. Suaranya campur aduk di ruang Kota Banjarmasin, meneguhkan bahwa malam itu sedang berlangsung pesta rakyat. Sesekali terdengar suara petasan beserta percikan kembang api di udara. Puluhan ribu orang tumpah ruah di tepi sungai menyaksikan perahu-perahu yang hilir mudik.

Itulah tanglong, parade perahu hias di Kota Banjarmasin yang diselenggarakan setidaknya dua kali dalam setahun, yaitu setiap peringatan Nuzulul Qur’an tanggal 17 bulan Ramadhan dan pada malam perayaan hari Jadi Kota Banjarmasin bulan Agustus.

Sekilas nampak bahwa tanglong mengadopsi budaya Cina. Dari “rasa bahasa” maupun bentuk-bentuk lampion dan ornamen naga sangat terasa sekali nuansa cinanya. sementara nuansa Islam lebih banyak muncul melalui replika Al Qur’an, replika binatang unta dan lagu-lagu yang berbahasa Arab disertai musik yang sebagian besar menggunakan perangkat rebana. Masyarakat Banjar hidup dalam budaya yang bernuansa islam yang begitu kental.

Tanglong masih menjadi magnet luar biasa bagi warga Banjarmasin, terutama bagi kaum muda yang menjadi penonton sekaligus peserta terbanyak. Warga banua, sebutan bagi masyarakat Kalimantan Selatan, tergolong jarang menyaksikan hiburan-hiburan alternatif semacam itu. Masyarakat di mana pun saat ini terus-menerus dijejali hiburan-hiburan produk industri media yang cenderung seragam dan tidak mengakar dalam kehidupan masyarakat. Di Banjarmasin, acara-acara kemasyarakatan seperti acara pernikahan pun diisi orgen tunggal yang menampilkan ulang lagu-lagu produk industri dari Jakarta.

Tanglong jelas berbeda dari sisi bentuk maupun akarnya di tengah masyarakat. Selain menampilkan khasanah budaya setempat, di antaranya permainan musik khas Banjar di atas perahu, tanglong mengajak masyarakat luas untuk melihat kembali dan memanfaatkan potensi alam berupa sungai, baik untuk keperluan transportasi, pariwisata, dan sebagainya. Pendek kata, tanglong berusaha merefleksikan lokalitas budaya masyarakat Banjar.

Ratusan perahu hias peserta karnaval yang mewakili berbagai instansi pemerintah dan swasta, serta produk-produk komersial menunjukkan kebersamaan berbagai elemen masyarakat. Meski masing-masing membawa kepentingan institusinya, akan lebih menarik kalau pesan-pesan yang hendak disampaikan dikemas tidak secara vulgar, tetapi melalui tampilan estetika yang cerdas dan semiotis. Begitu pula ornamen-ornamen yang ditampilkan akan lebih bermakna jika menggunakan bentuk dan simbol-simbol khas Banjar.

Sebagian perahu hias menampilkan bentuk rumah tradisional Banjar dan sebagian lainya menampilkan bentuk yang menarik tapi tidak mengakar, misalnya bentuk kereta api yang dalam keseharian tidak menjadi alat transportasi yang digunakan masyarakat Banjar. Begitu pula bentuk-bentuk binatang darat, misalnya kuda yang rasanya kurang menyatu dengan air jika dipakai sebagai bentuk perahu hias. Naga, yang merupakan binatang mitologi dalam kebudayaan China, juga banyak muncul dalam tanglong. Naga memang banyak dipakai sebagai motif perahu di berbagai daerah. Masyarakat Banjar yang mayoritas muslim justru tidak banyak menampilkan binatang-binatang mitologi Islam, misalnya bouroq yang dinaiki Nabi Muhammad saat Isra mi’raj, atau mitologi lokal Banjar.

Supaya kreatifitas terus tumbuh dan masyarakat tidak bosan, maka setiap tahun tanglong bisa dikemas selalu berbeda, baik tema, konsep penampilan, bahan-bahan yang digunakan hingga bentuk-bentuk tampilan luarnya, bukan saja supaya menarik tetapi juga memberikan kesadaran terhadap masyarakat berbagai persoalan yang dihadapi warga. Misalnya, suatu saat tanglong dikemas dengan tema pemanfaatan sampah-sampah plastik untuk mengingatkan bahwa sampah-sampah plastik saat ini menjadi salah satu ancaman serius bagi lingkungan Banjarmasin.

Yang jelas, tanglong adalah ekspresi budaya masyarakat Banjar yang perlu memberi ruang bagi lahirnya karya-karya kreatif khas Banjar yang merefleksikan berbagai persoalan masyarakat, sekaligus sarana kebersamaan untuk membangun Kota Banjarmasin. Penonton perlu dilibatkan untuk berpartisipasi kreatif menjadi bagian dari acara, dari sekadar menyalakan kembang api maupun ekspresi-ekspresi positif lainnya untuk menghidupkan dan memperindah acara, sekaligus memberi kesadaran dan mengajak melakukan tindakan-tindakan untuk kehidupan bersama.

Tanglong hanyalah salah satu bentuk pesta kebudayaan Banjar yang menggunakan media sungai dan perahu. Bentuk-bentuk karnaval kreatif lain yang tetap berbasis pada kebudayaan air dapat diciptakan secara berkala untuk menambah khasanah budaya urang banua. Sebab masyarakat Banjar pada umumnya tidak lepas dari persoalan air. Menempati rumah-rumah yang dibangun di atas tanah rawa, warga Banjarmasin juga masih banyak yang menggunakan perahu sebagai alat transportasi, melewati ratusan sungai yang begitu hidup.

Tanglong menjadi salah satu penegas kebudayaan air tersebut. Banjarmasin yang dijuluki Kota Seribu Sungai belum cukup hanya memiliki satu ikon pasar terapung. Tanglong dan berbagai festival sungai lainnya akan saling memperkuat julukan itu sekaligus menjadi arah perkembangan Kota Banjarmasin di masa yang akan datang. Ratusan sungai yang ada di Banjarmasin dapat direvitalisasi untuk beragam kepentingan.

Tanglong hanyalah parade seremonial dalam rangka peringatan Nuzulul Qur’an maupun perayaan hari jadi Kota Banjarmasin. Bagaimana agar seremonial tidak terhenti sebagai seremonial yang bermakna pesta, formal, dan sekadar basa-basi. Tanglong akan lebih menarik jika menjadi artefak dan aktivitas riil masyarakat. Oleh karena itu akar tanglong itu sendiri harus ditanam kuat di tengah kebudayaan masyarakat Banjarmasin. Ratusan sungai yang melintas Kota Banjarmasin merupakan potensi yang sangat besar bagi perkembangan pariwisata, transportasi, perikanan, dan potensi-potensi lain yang pada akhirnya akan bermuara pada perbaikan ekonomi. Kota Seribu Sungai adalah brand yang hanya terhenti sebagai slogan kosong jika tanpa tindakan riil ke arah optimalisasi fungsi sungai itu sendiri.

Hampir seluruh kota di dunia berkembang ke arah yang sama. Kita menyaksikan wajah kota yang nyaris seragam. Bangunan-bangunan berbentuk kubus yang menghadap jalan beraspal yang kedua sisinya dipenuhi barisan papan reklame. Tipe kota daratan yang diadopsi dari Barat itu rasanya terlalu dipaksakan jika diterapkan di Banjarmasin.

Saya merindukan dapat menikmati secangkir kopi di warung-warung di atas perahu yang dikemas sedemikian rupa menarik sambil berbincang-bincang dengan para budayawan dan menikmati permainan musik panting di seberang siring sungai Martapura. 

Tulisan ini pernah dimuat Media Kalimantan tanggal 29 September 2011 dengan revisi seperlunya.