Minggu, 19 Februari 2012

Seribu Sungai

Ki Sulisno

Kota Seribu Sungai. Ikon itu dilekatkan pada Kota Banjarmasin. Apakah betul-betul ada seribu sungai? Tentu tidak. Kata seribu untuk meyakinkan betapa banyaknya sungai-sungai itu. Ya. Kota Banjarmasin adalah kota yang hampir seluruh wilayahnya terdiri atas rawa-rawa. Rumah-rumah dibangun di atas air. Air pasang pada malam hari dan akan surut di pagi harinya. Naik dan turun. Tenang. Seolah tidak mengalir. Menandakan bahwa ketinggian tempatnya hampir sejajar dengan permukaan laut. Sungai besar dan kecil mudah ditemukan. Perahu kelotok dan jukung hilir mudik melintasi orang-orang yang mandi, mencuci, memancing ikan, dan berak di dalam rumah-rumah lanting yang mengapung di atas air.

Sungai-sungai itu juga menghubungkan sejumlah daerah lain di Kalimantan Selatan. Sejumlah barang dipasok dari hulu sungai di daerah pegunungan Meratus. Kayu galam, ulin dan bambu diangkut dengan perahu atau dihanyutkan melalui sungai. Batu bara juga dikirim ke tempat lain melintasi pulau bahkan melintasi batas negara dengan tongkang yang mampu mengangkut berpuluh-puluh ton batubara yang ditambang siang dan malam tanpa henti. Saya pernah memancing semalam suntuk di Pelabuhan Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, saat malam bulan purnama. Saat itulah saya menyaksikan batubara yang diangkut dengan tongkang menyerupai gundukan bukit yang berjalan. Puluhan kali pemandangan bukit ini melintas hanya berselang dalam hitungan menit, tidak sampai jam.

Sementara kalau kita melewati daerah Negara di Kabupaten Hulu Sungai Utara dari Kota Amuntai menuju Kota Kandangan, Hulu Sungai Selatan, selain sesekali menyaksikan rangkaian bambu yang dihanyutkan melalui sungai yang bersebelahan dengan jalan beraspal juga bisa menikmati pemandanga hamparan perairan puluhan ribu hektar pada saat musim hujan dan beralih menjadi tanah pertanian saat kemarau. Di areal itulah hidup ribuan kerbau rawa milik warga yang seolah dilepas begitu saja.

Ini dapat menjadi potensi wisata yang luar biasa untuk digarap. Sungai-sungai di Pegunungan Meratus yang berarus deras adalah potensi wisata petualangan yang menakjubkan. Di Marabahan terdapat jembatan yang begitu indah dan pelabuhan yang mengesankan saat suasana malam. Menikmati pentas seni berkelas di Panggung Terbuka Siring Kotabaru takkan mudah terlupakan. Begitu pula menyusuri sungai di daerah-daerah lain di Kalimantan Selatan, akan lebih berkesan lagi bila di setiap sungai mendapatkan pemandangan dan pengalaman berbeda.

Sungai telah menjadi bagian dari identitas. Wilayah-wilayah di Kalimantan Selatan, dari tingkat kampung hingga tingkat kabupaten banyak yang diberi nama sesuai nama sungai yang melintas di wilayah tersebut. Sungai Lulut, Sungai Jingah, Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan adalah nama-nama yang merujuk pada sungai. Kota Seribu Sungai diberikan sebagai julukan Kota Banjarmasin.

Sungai melahirkan kebudayaan. Sebelum jalan-jalan beraspal dibangun Belanda dan pemerintah pasca kemerdekaan, sungai adalah jantung peradaban. Sungai merupakan arena sosial tempat berlangsungnya interaksi antar warga, sistem penghidupan dan nilai-nilai sosial dibangun. Pasar Terapung adalah warisan kebudayaan sungai yang tersisa hingga sekarang. Pasar Terapung kini menjadi ikon Kota Banjarmasin yang juga dipakai sebagai station identity sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Sayangnya, nama pasar terapung yang sudah menasional itu tidak cukup mendongkrak gairah kehidupan Pasar Terapung itu sendiri. Para pedagang di Pasar Terapung justru jumlahnya terus menurun. Orang yang masih bertahan sekarang adalah ‘orang-orang lama’ yang sudah berdagang puluhan tahun. Mengapa generasi muda tampaknya enggan meneruskan?

Di jaman yang serba berorientasi materi sekarang ini, ketidakterlibatan generasi muda dalam Pasar Terapung menunjukkan sinyal masih belum baiknya prospek ekonomi di Pasar Terapung. Pasar Terapung kalah dengan pasar yang ada di darat. Mereka yang masih bertahan adalah pedagang yang mewarisi tradisi turun-temurun sekaligus mewarisi sungai sebagai lahan berdagang miliknya yang tidak didapatkan di darat.

Kehidupan sungai semakin lama semakin terpinggirkan. Daerah-daerah di Kalimantan Selatan berkembang menjadi kota-kota daratan seperti daerah lain. Jalan-jalan darat dibangun disertai perubahan moda transportasi dan perubahan orientasi masyarakat. Budaya sungai perlahan-lahan ditinggalkan, beralih ke budaya darat. Rumah-rumah menghadap ke darat. Sungai menjadi ‘wilayah belakang’ yang diasosiasikan sebagai tempat berak, mandi, dan pembuangan sampah. Kebersihan dan keindahan sungai kurang dijaga. Banyak rumah yang dibangun hampir seluruhnya di atas sungai, mengambil badan sungai. Sejumlah usaha penggergajian kayu di tepi sungai juga perlahan-lahan mempersempit sungai.

Dalam rangka menghidupkan sungai itulah sejumlah festival sungai diselenggarakan rutin setiap tahun, di antaranya Festival Budaya Pasar Terapung yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan di setiap bulan November dan Bamboo Rafting yang digelar Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan pada bulan Desember di sepanjang aliran Sungai Amandit dari Loksado sampai Kota Kandangan. Kedua acara itu sama-sama menggali potensi sungai dalam even kepariwisataan.

Sayang sekali, acara-acara itu tanpa didukung infrastruktur yang baik. Menyusuri Sungai Amandit dengan rakit dari rangkaian bambu, peserta seolah disuguhi pemandangan belakang rumah-rumah penduduk yang banyak sampahnya saat memasuki Kota Kandangan.

Begitu halnya dengan Festival Budaya Pasar Terapung yang justru tidak ada aktivitas transaksi di atas sungai. Aktivitas di sungai hanya berupa lomba balap jukung dan perahu hias. Selebihnya adalah pameran pembangunan di stand-stand milik instansi-instansi pemerintah dan juga pasar yang diselenggarakan di halaman kantor gubernur di daratan, bukan di sungai. Saya membayangkan suatu saat nanti dapat mengunjungi festival pasar terapung yang benar-benar sebagai pasar terapung, berbelanja atau makan di warung-warung di atas perahu-perahu hias di tengah sungai.

Panitia dan masyarakat Kalimantan Selatan tentu berharap agar festival-festival semacam itu dapat menjadi momentum menghidupkan lingkungan alam dan budaya Kalimantan Selatan yang berdampak pada kejayaan dan kesejahteraan masyarakat, dan bukan pesta menghabiskan “uang rakyat”, menyedot APBD. Pasar Terapung dan Bamboo Rafting memiliki ciri khas yang tidak ada di tempat lain di seluruh wilayah Indonesia. Tinggal mengemasnya lebih menarik lagi dengan tetap berpijak dari akar budaya sungai. Acara itu juga dapat dijadikan sebagai “ajang perlawanan” terhadap dominasi budaya kota daratan yang telah meminggirkan budaya sungai. Sebagai referensi, festival perlawanan terhadap estetika global berhasil dilakukan Jember Fashion Carnival di Kota Jember Jawa Timur yang memberikan perlawanan terhadap arus utama mode global dan Festival Lima Gunung di Magelang Jawa Tengah yang mematahkan konsep, bentuk, dan jalur pariwisatanya pemerintah. Jember Fashion Carnival dan Festival Lima Gunung terbukti mampu menjadi magnet yang luar biasa bagi para wisatawan dan wartawan nasional maupun mancanegara. Keduanya berangkat dari festival  yang murni dari rakyat, yang kemudian bekerja sama dengan pemerintah.

Festival sungai di Kalimantan Selatan dapat digarap dengan memberikan alternatif bentuk-bentuk karnaval jalanan yang sudah sangat umum dan biasa. Akar budaya setempat dapat dijadikan sebagai ‘landasan filosofis’ festival, sekaligus sumber kreatifitas membuat kemasan-kemasan yang unik, aktual, kontekstual dan mengakar. Perlu kreativitas untuk menampilkan bentuk-bentuk yang tidak konvensional, yang bukan sekadar parade hiasan rumah adat yang diiringi musik-musik populer.

Bamboo Rafting di Kabupaten Hulu Sungai Selatan memiliki konsep yang mengakar dari kehidupan masyarakat setempat. Perahu yang digunakan berbahan dasar bambu-bambu utuh yang diikat berjajar. Kita tahu, di wilayah hulu sungai banyak tanaman bambu. Bamboo Rafting menjadi sarana membawa bambu-bambu itu ke daerah hilir untuk kemudian dijual. Bamboo Rafting sebagai wisata petualangan sangat memungkinkan untuk diselenggarakan seminggu atau sebulan sekali. Parade Bamboo Rafting yang diselenggarakan dalam rangkaian hari jadi kabupaten tersbut menjadi semacam puncak pesta rakyat. Rombongan perahu-perahu bambu yang dihias dan diiringi  aneka tetabuhan mengarak pasangan-pasangan pengantin Banjar, melintasi ribuan penonton yang memadati tepi sungai dan kebun-kebun milik penduduk. Acara spesial di moment spesial. Kenangan yang takkan terlupakan sepanjang hidup bagi pengantin dan orang-orang yang terlibat. Luar Biasa !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar