Senin, 20 Februari 2012

Museum Radya Pustaka, Wayang, Media Massa dan Ingatan Publik

Ki Sulisno

Beberapa waktu lalu sejumlah media massa di Solo dan media nasional ramai memberitakan dugaan adanya pemalsuan serta hilangnya sejumlah wayang peninggalan Paku Buwana X di Museum Radya Pustaka Solo. Berita itu kini sudah tenggelam ditelan berita-berita terbaru, terutama masalah politik nasional yang selalu menjadi perbincangan ramai di tengah khalayak. Kita tidak tahu lagi bagaimana perkembangan kasus wayang itu.

Untuk apa membincangkan hilangnya benda koleksi museum? Siapa yang tertarik dengan masa lalu? Sehari-hari jarang ada orang membincangkan museum, apalagi mengunjungi. Museum Radya Pustaka baru ramai dibincangkan banyak orang setelah diberitakan media massa atas hilangnya sejumlah benda koleksi beberapa kali dalam rentang waktu yang relatif tidak lama. Setelah kasusnya diberitakan media massa barulah masyarakat turut membincangkan. 

Hanya membincangkan kasusnya. Museum yang berada di Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota Solo yang ramai itu, tetap saja tidak mampu menarik banyak pengunjung. Jika dibandingkan dengan pengunjung tempat hiburan dan mall yang lokasinya tidak jauh dari museum itu maka pengunjung Museum Radya Pustaka jumlahnya jauh lebih sedikit. Kalaupun ada rombongan pelajar yang mengunjungi museum ini tidak jarang karena diwajibkan oleh gurunya. Segelintis orang yang merasa berkepentingan terhadap museum pun biasanya memiliki keterkaitan profesi dengan masalah kebudayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Masyarakat disibukkan dengan hiruk-pikuk persoalan yang tidak seluruhnya berkaitan langsung dengan kehidupannya. Berbagai peristiwa dan perkembangan yang bersifat kekinian datang silih berganti menyita perhatian bersama imajinasi-imajinasi yang dilekatkan kepadanya campur aduk dalam benang kusut ingatan bersama. 

Semua tak lepas dari media massa. Semua dimainkan oleh media massa. Berita tentang korupsi, boyband, hingga kasus seputar ranjang selebriti menjadi menu sehari-hari yang dikonsumsi masyarakat dengan begitu mengasyikkan. 

Banyak orang terbawa arus itu. Banyak orang terseret arus itu. Di warung-warung kopi orang ngomongin siaran televisi. Di angkringan, hik, hingga di seminar-seminar resmi orang ngomong seperti yang ada di televisi. Seolah kebenaran hanya bersifat tunggal. 

Tentu saja yang bisa memaksakan sudut pandang kebenaran itu adalah orang yang punya uang dan kekuasaan. Dan televisi menjadi media yang sangat strategis untuk itu. Orang-orang yang tak mengenal berita di tivi akan dianggap sebagai orang yang ketinggalan jaman.

Beragam peristiwa dimunculkan di layar televisi setiap detik setiap waktu. Setelah dimunculkan dengan bumbu-bumbu opini, pencitraan-pencitraan yang sedemikian luar biasa, tidak lama kemudian akan menghilang begitu saja digantikan oleh peristiwa lain yang baru. Masyarakat penonton tidak sempat mengunyah, mendapatkan pelajaran sekaligus memberi makna dari sesuatu yang sudah lewat.

Media massa pun tidak memberi ruang yang cukup bagi tradisi. Segala yang berasal dari masa lalu ditinggalkan begitu saja seolah-olah dianggap tidak lagi dapat berguna, tidak memiliki keterkaitan dengan masa kini, apalagi masa depan. Bukankah menjalani kehidupan tanpa menoleh masa lalu sama artinya menjalani hidup hanya dengan improvisasi?

Orang biasanya baru merasa memiliki sesuatu setelah kehilangan. Masyarakat Indonesia pernah beberapa kali mengungkapkan kekesalan pada Malaysia yang mengklaim beberapa karya seni tradisi Indonesia sebagai miliknya dalam sebuah promosi pariwisata. Padahal sebelum iklan itu ditayangkan sejumlah karya seni tersebut cenderung tidak diperhatikan. Begitu halnya dengan Museum Radya Pustaka juga baru dibicarakan banyak orang setelah sejumlah benda koleksi di dalamnya dicuri, padahal sehari-hari memang selalu sepi pengunjung. 

Benda-benda koleksi peninggalan masa lalu memang tidak selalu membanggakan. Juga seringkali ada aspek politis yang hanya menonjolkan kelompok tertentu dan mengabaikan yang lain. Sejarah resmi adalah milik penguasa yang hanya mencatat sisi-sisi baik para pejabat beserta barang-barang miliknya, atau sisi gelap musuh-musuhnya. Rakyat hanyalah kerumunan tak beridentitas yang dimunculkan untuk meneguhkan kekuasaan itu sendiri. Rakyat tak pernah tercatat secara jelas. Saat kekuasaan beralih tangan, sejarah lama akan dipertanyakan, diragukan dan digantikan oleh sejarah penguasa yang baru. 

Lalu untuk apa mengunjungi museum bila benda-benda di dalamnya hanya menjadi bagian semu dari kehidupannya? Untuk apa mengagumi heroisme para pangeran yang hanya mampu berdiri tegak di atas topangan rakyat yang dianonimkan? Rakyat kecil tidak diakui peran pentingnya atau pun kalau dilibatkan cuma sekadar sebagai pelengkap penderita. 

Museum seolah hanya menjadi tempat bernostalgia bagi kalangan yang kini telah kehilangan kekuasaan dan selalu merindukan masa lalu, sementara rakyat kecil terus sibuk menjalani kehidupan sehari-hari yang keras, dan memandang tak perlu bernostalga tentang kejayaan masa lalu kerajaan.

Atau, kalaupun rakyat merasa menjadi bagian dari sejarah masa lalu itu maka bisa jadi pula peninggalan yang sudah pernah dikenalnya itu kemudian sudah dianggapnya sesuatu yang biasa, tidak lagi istimewa. Menyaksikan sesuatu berkali-kali dapat menimbulkan efek banal. Lalu orang mencari sesuatu yang baru yang berasal dari luar kepemilikannya. ‘Rumput tetangga nampak lebih hijau dari rumput sendiri’. Tentu saja wilayah ‘tetangga’ bukan sekadar geografis. Melalui media-media yang dengan bangga kita bawa ke ruang-ruang pribadi, kita bisa menikmati produk kebudayaan-kebudayaan populer tak jelas akarnya, yang seolah-olah selalu diperbarui, dan bisa dinikmati dengan begitu murah meriah. Orang semakin malas pergi nonton pertunjukan wayang di tempat hajatan tetangga, meski gratis. 

Setelah wayang di Museum Radya Pustaka dicurigai hilang atau dipalsukan, kesadaran memiliki itu barangkali muncul di sejumlah masyarakat. Rasa memiliki dapat mendorong orang ingin datang mengunjungi museum tetapi juga bisa sebaliknya, menimbulkan keengganan karena kecewa. Kewibawaan Keraton Solo sebagai sumber sejarah budaya Jawa masa lampau pun semakin turun. Hilang atau dipalsukannya benda koleksi, yang menurut kabar yang beredar benda-benda yang asli dijual ke luar negeri, dapat menimbulkan anggapan bahwa museum tak ubahnya toko souvenir pariwisata yang menjual benda-benda budaya. Nilai sejarah di dalam benda itu ditukar dengan uang untuk kepentingan pribadi para pelaku pemalsuan.

Hilangnya satu boneka wayang berarti hilangnya banyak data. Setiap wayang bisa dikaji dari banyak aspek: kesenirupaannya, pertunjukannya, hingga sistem religi yang turut membentuk wayang itu. Wayang dan arca-arca yang pernah hilang itu masing-masing terkait dengan konteks sejarah dan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa pada suatu masa. 

Dilihat secara fisik, boneka-boneka wayang yang hilang itu sebetulnya bisa diganti dengan boneka wayang yang baru yang lebih bagus. Para pembuat wayang akan dengan mudah membuat duplikat dengan cara ngeblak. Toh tokoh yang sama antar wayang yang satu dengan lainnya tidak jauh beda. Tetapi persoalannya tentu bukan sekadar itu. Wayang itu peninggalan PB X, raja Surakarta terbesar. Pada jaman PB X inilah kebudayaan Jawa mengalami masa keemasan. Salah satu tonggak penting pada masa pemerintahan PB X adalah didirikannya sekolah dalang Padhasuka (Pasinaon Dhalang Surakarta) tahun 1923 yang terletak di Radya Pustaka. Dari Museum Radya Pustaka inilah jejak-jejak perkembangan pedalangan ditapakkan. Dari sini pula dilahirkan sejumlah karya masterpiece. Wayang yang hilang atau dipalsukan itu menjadi bagian dari masa keemasan itu. 

Bisa dipahami mengapa yang paling merasa kehilangan atas kasus ini terutama adalah sejarawan dan para dalang. Para sejarawan kehilangan data-data penting yang melekat pada wayang yang hilang itu dan mungkin suatu saat akan mendapatkan data itu di tempat yang jauh di luar negeri. Masyarakat Indonesia sudah kehilangan banyak data sejarah. Para peneliti kebudayaan nusantara sering dianggap belum lengkap jika belum melihat koleksi di Museum Universitas Leiden, Belanda. Setelah sejumlah koleksi tersimpan di museum-museum di luar negeri barulah orang sadar bahwa itu miliknya, sementara pada saat benda-benda itu terpajang di museum di Indonesia diabaikan. 

Masyarakat pun semakin hidup di tengah kepungan pandangan orang-orang modern yang begitu suka memberi nilai benda dengan cara mengaitkannya dengan sejarah di sekitar benda itu. 

Sejarah itu kini tidak hanya diciptakan dan dimainkan oleh elit politik, tetapi juga oleh media massa. Media massa menciptakan sejarah seseorang untuk tujuan-tujuan ekonomi dengan mencampuradukkan sesuatu yang sakral, adiluhung, dengan sesuatu yang remeh-temeh. 

Sejarah turut memberikan nilai pada suatu benda jauh melebihi fungsi praktisnya. Barang-barang yang pernah dimiliki atau dipakai tokoh-tokoh penting harganya akan naik berlipat-lipat. Wayang yang hilang di Museum Radya Pustaka adalah peninggalan PB X, raja Surakarta yang memberikan perhatian paling besar terhadap kesenian Jawa sehingga mencapai jaman keemasan.

Hilangnya wayang peninggalan PB X turut disesalkan beberapa dalang. Wayang adalah bagian dari kehidupan seorang dalang yang begitu dijunjung tinggi. Bukan sekadar sebagai alat mencari nafkah. Sebagian dalang menganggap wayang sebagai pusaka, kebanggaan, identitas bahkan simbol harga dirinya. Meskipun ada isyu yang mencurigai keterlibatan dalang dalam kasus hilangnya wayang di Museum Radya Pustaka, namun bagi sejumlah dalang, pemalsuan dan pencurian terhadap wayang-wayang yang disakralkan bisa ditafsirkan sebagai penelikungan terhadap dunia pedalangan dan kebudayaan Jawa.

1 komentar: