Kamis, 01 Maret 2012

Jamrud Khatulistiwa

Ki Sulisno

Istilah itu sering kita temukan dalam buku-buku panduan pariwisata Indonesia, buku pelajaran sekolah dan lagu-lagu era Orde Baru. Terasa indah memang istiah ini. Penyebutan Jamrud Khatulistiwa selalu dikaitkan dengan ragam keindahan yang terbentang di sepanjang kepulauan nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Kita mendapatkan gambaran stereotif tentang keindahan yang memancar dari ribuan pulau yang tersebar di antara Samudera Hindia dan lautan Pasifik; di antara benua terbesar Asia dan Australia; yang membentang seperti untaian mutiara raksasa. Ada pemandangan –pemandangan eksotis berupa hijau hutan, gemericik air terjun dari sungai-sungai di atas pegunungan yang sejuk, danau yang tenang, dan pantai yang terhampar di sepanjang tepian pulau. 

Tidak salah memang penggambaran itu. Siapa pun yang datang ke Kepulauan Raja Ampat akan menyaksikan pesona yang luar biasa. Salah satu alam bawah laut di Indonesia, di Bunaken, Sulawesi Utara, juga diakui sebagai salah satu dari sepuluh alam bawah laut terindah di dunia. Begitu banyak potensi yang tersimpan di seluruh kepulauan nusantara. Masing-masing pulau memiliki kekayaan alam dan budaya yang khas. 

Di hamparan tanah yang luas dengan gunung-gunungnya yang sebagian besar masih aktif, yang tersebar di antara wilayah perairan yang sangat luas, yang didukung iklim tropis, negara Indonesia merupakan sorga bagi tumbuh suburnya berbagai flora dan fauna. Berbagai tanaman pangan, tanaman untuk bahan bangunan, tanaman hias dan juga tanaman untuk obat jumlahnya sangat berlimpah. Para ahli tanaman banyak yang berhasil membiakkan berbagai tanaman tersebut sebagai bagian dari upaya pelestarian dan juga menyilangkan berbagai tanaman untuk menghasilkan varian baru. 

Berbagai jenis satwa langka dan khas Indonesia juga banyak menarik perhatian dunia; badak bercula satu, burung cendrawasih, kasuari, harimau Sumatera. Pulau Komodo berhasil masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia melalui proses panjang yang penuh kontroversi.

Saat masih kecil, saya menyaksikan banyak burung beterbangan di sekitar rumah saya di Sragen. Ada burung podang, prenjak, kuntul, dan masih banyak lagi. Saat siang hari saya sering mendengar suara burung platuk yang mencari serangga di pohon kleco yang tumbuh rindang di dekat rumah saya. Pohon kleco itu kini sudah tidak ada di kampung saya, juga di tempat lain. Saya masih ingat, beberapa orang yang membawa senso datang. Pohon-pohon besar di kampung kami ditebangi semua karena dianggap akan mengganggu instalasi listrik yang akan segera dipasang ke desa kami. Tentu saja kami semua senang karena desa kami akan segera terang benderang oleh cahaya listrik. Lampu teplok berbahan bakar minyak tanah akan segera kami pensiunkan semua. 

Kini, setelah dua puluhan tahun desa kami diterangi listrik, saya merasakan udara yang panas di desa. Tak ada lagi pohon-pohon rindang. Saya tidak tahu di mana ada pohon kleco, mundhu, gulun, dan sejumlah pohon lain yang dulu pernah saya lihat. Juga binatang-binatang liar. Banyak jenis tanaman dan satwa yang semakin langka. Kita hanya bisa menyaksikan kekayaan flora dan fauna itu di hutan-hutan konservasi dan kebun binatang.

Lalu sumber keindahan apalagi yang masih tersisa? Kebudayaan adalah salah satunya. Kita beruntung tinggal di kepulauan nusantara yang juga terdiri atas banyak etnis dan sistem kepercayaan. Masing-masing membentuk kebudayaan yang khas. Kebudayaan Jawa berbeda dengan kebudayaan Bali, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lain. Dalam satu pulau pun terdiri atas banyak ragam kebudayaan. Di Pulau Jawa berkembang kebudayaan Sunda, Betawi, Badui, Banten, Jawa-Surakarta-Yogyakarta, Jawa-Banyumas, masyarakat Samin, Malang, Osing, dan lain-lain.

Dengan potensi keindahan alam dan budaya yang sangat besar, Indonesia dapat menjadi salah satu tujuan wisata dunia. Bali sudah lama terkenal di seluruh dunia sebagai Pulau Dewata yang ada di Indonesia. Jutaan orang setiap tahun berkunjung ke Bali. Para wisatawan turut menghidupkan pulau itu. Masyarakat Bali mendapatkan kesejahteraan dari pariwisata. Mereka mendapatkan dana yang cukup berlimpah untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, menjalankan ibadah dan mengembangkan kesenian mereka. Wisatawan yang ingin mendapatkan suasana yang lebih alami dan sepi banyak mengalihkan tujuannya ke Lombok dan sejumlah pulau di wilayah Indonesia timur. Kalau masyarakat di seluruh kepulauan Indonesia memiliki kesadaran yang kuat untuk mengembangkan potensi yang ada di daerahnya, maka tujuan wisata dunia juga dapat mengalir ke seluruh kepulauan nusantara. Lamongan adalah salah satu contoh kabupaten yang berhasil mengembangkan wisata bahari.

Beberapa karya budaya bangsa Indonesia telah tercatat dalam world heritage: Candi Borobudur, Candi Prambanan, kesenian wayang, bangunan rumah adat Nias, saujana budaya di Tana Toraja, dan masih banyak lagi karya anak bangsa yang telah didaftarkan pemerintah ke lembaga budaya dunia (Unesco) untuk dapat diakui sebagai karya agung warisan dunia. 

Berbagai ragam obyek wisata dapat terus dikembangkan: wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata religi, wisata pendidikan. Tidak hanya mengandalkan obyek wisata yang sudah ada sebelumnya, tetapi juga menciptakan obyek wisata baru. Peluang terciptanya karya-karya baru yang beragam sangat terbuka lebar, mengingat secara alamiah Indonesia memiliki akar sejarah sosial, budaya dan lingkungan geografis yang juga beragam. Agama-agama besar di dunia ada di Indonesia, meninggalkan jejak-jejak peradaban yang masih dijaga oleh para penganutnya: candi Hindu dan Budha, Gereja, Masjid, dengan ritual-ritualnya yang menyatu dengan kebudayaan Indonesia.

Selain wisata religi yang menjadi andalan wisata domestik, sekarang ini telah muncul banyak desa wisata yang sangat diminati wisatawan asing. Dalam desa wisata, wisatawan dapat tinggal di rumah-rumah warga, berinteraksi dengan warga dalam aktivitas sehari-hari. Yogyakarta saat ini sedang menggalakkan program desa wisata ini.

Beberapa daerah terus menyelenggarakan berbagai festival budaya untuk menarik perhatian wisatawan dan menggairahkan masyarakat untuk terus berkreasi. Selain di Bali, Solo, dan Yoyakarta yang sudah memilki banyak festival, berbagai daerah lain juga terus menciptakan festival-festival baru, misalnya Jember Fashion Carnival di Kota Jember yang berhasil menarik perhatian banyak wartawan asing.

Berbagai keragaman keindahan karya budaya anak bangsa, selain dapat menjadi sumber ekonomi bagi pelakunya, juga akan turut menyumbangkan devisa bagi negara, memberikan peluang lapangan pekerjaan baru, serta menjadikan kebanggaan dan kesenangan bagi segenap bangsa Indonesia.

Sayang sekali, potensi yang sedemikian luar biasa dari seluruh kepulauan di nusantara itu belum seluruhnya dikelola secara baik dan adil sehingga juga belum mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Limpahan ekonomi dari kegiatan kepariwisataan sering hanya dinikmati oleh agen-agen perjalanan, pemilik hotel, dan pengelola objek wisata yang umumnya banyak berasal dari luar daerah tempat objek wisata itu berada. Banyak villa di tempat-tempat wisata alam milik para pejabat dan orang-orang kaya dari luar daerah. Sejumlah resort dan hotel ‘mewah’ di Kepulauan Raja Ampat, Lombok dan sejumlah pulau lain di Indonesia dimiliki oleh orang asing.  

Orang-orang asing ‘menemukan’ dan mengelola objek-objek wisata yang bagi orang Indonesia sendiri mungkin dianggap tidak menarik dan berada di wilayah terpencil. Orang-orang asing pula yang mampu mengunjungi objek-objek itu dengan membayar mahal. 

Masyarakat sekitar objek wisata sering hanya jadi penonton atas aktifitas pariwisata ini. Kalaupun mereka dilibatkan, mereka cuma jadi penari-penari yang dieksploitasi, bukannya diberdayakan untuk lebih kreatif, mandiri dan menemukan eksistensinya di tengah kegiatan kepariwisataan. Masyarakat di sekitar tempat pariwisata yang tidak dilibatkan secara langsung dalam kegiatan kepariwisataan biasanya memilih usaha menjadi pedagang asongan, tukang parkir dan preman yang dianggap mengganggu kenyamanan para wisatawan.

Masyarakat “pemilik” objek wisata sering terlambat mengambil inisiatif atau mungkin merasa tidak mampu mengelola potensi yang ada di daerahnya secara profesional. Masyarakat cenderung hanya memanfaatkan apa yang ada, bukan mengembangkan menjadi bagaimana sebaiknya. Sejumlah objek wisata justru terganggu keindahannya akibat banyaknya tenda-tenda warung makan atau penjual souvenir yang terkesan kumuh dan semrawut

Sekitar tiga tahun lalu saya mendapat tawaran dari sebuah LSM yang bekerja sama dengan penerbit untuk menulis buku tentang keindahan-keindahan alam nusantara. Buku itu tidak jelas nasibnya sampai sekarang. Mungkin dianggap tidak memiliki nilai jual yang tinggi sehingga batal diterbitkan. Mungkin keadaan seperti yang saya tulis di buku itu dianggap tidak lagi sesuai akibat terjadinya begitu banyak bencana alam di sejumlah wilayah Indonesia. Entahlah. Saya hanya bisa menduga-duga. Komunikasi dengan penerbit sudah jarang dilakukan. Sejumlah penulis yang bekerja sama untuk sejumlah seri buku itu juga sudah dicerai-beraikan oleh pekerjaan dan kesibukannya masing-masing. Sebagai bagian dari penulis buku itu, saya hanya ingin mengajak siapa pun untuk tidak berhenti berharap terhadap potensi kekayaan dan keindahan alam yang begitu besarnya, yang perlu dikelola dengan baik untuk kemakmuran dan kejayaan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar