Senin, 12 Maret 2012

Sandiwara Radio

Ki Sulisno


Saya masih ingat betul masa-masa kejayaan sandiwara radio era tahun 1980-an. Cerita Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Nini Pelet dan kisah berbahasa Jawa Kamandaka menghipnotis banyak orang setiap hari. Orang dari berbagai usia bergerombol mengerubungi radio dengan sukarela, menyerahkan hati dan pikirannya mengikuti alur cerita yang berkelak-kelok. Setiap satu persoalan selesai selalu muncul masalah baru. Sandiwara baru akan berakhir setelah para penggemar bosan dan meninggalkan siaran radio atau mengganti chanel yang lain.

Saya turut menjadi bagian dari kerumunan penggemar sandiwara radio ini. Setiap menjelang jam siar Saur Sepuh pukul 12.00 WIB, selalu gelisah di sekolah, ingin segera pulang untuk mendengarkan kisah-kisah petualangan Brama Kumbara, tokoh utama dalam sandiwara Saur Sepuh

Penulis naskah Saur Sepuh, Niki Kosasih, menghidupkan kisah-kisah Brama Kumbara dengan mengambil setting waktu jaman Majapahit pemerintahan Hayam Wuruk sehingga seolah-olah kisah Saur Sepuh menjadi bagian dari kisah sejarah. Brama Kumbara yang berteman baik dengan Paman Soma dari Tuban itu pun turut menjadi tamu undangan dalam penobatan Prabu Siliwangi sebagai raja Pajajaran. Salah satu musuh Brama Kumbara, yaitu Lasmini, berasal dari Gunung Lawu, sebuah gunung di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur yang kelihatan menjulang tinggi dari kampung saya.

Brama Kumbara dipuja-puja banyak orang. Imajinasi tentang Brama Kumbara begitu hidup dalam pikiran pendengar radio. Orang terhanyut oleh gambaran Brama yang tampan, pintar, baik hati, dan superhero. Tentu saja gambaran itu tidak sama persis dalam benak setiap orang. Masing-masing membayangkan berdasarkan referensi yang dimiliki. Ketampanan, sekalipun acuannya fisik, dalam sandiwara radio menjadi bersifat abstrak. Keyakinan akan ketampanan Brama Kumbara selain dibentuk melalui narasi-narasi yang ada juga didasarkan pada karakter suara Brama Kumbara. 

Ferry Fadli lah orang yang berada di depan mikropon mengisi suara Brama Kumbara. Ia berhasil memerankan tokoh Brama Kumbara dengan kemampuan suaranya hingga membuat pendengar radio betul-betul hanya bisa membayangkan sosok Brama Kumbara yang seolah terlepas dari Ferry Fadli.

Seorang teman yang bekerja di radio swasta yang menyiarkan sandiwara berbahasa Jawa pernah bercerita kepada saya tentang para gadis yang datang ke studio siaran untuk menemui pemeran tokoh utama dalam sandiwara yang saat itu sedang ngetrend. Begitu ketemu, para gadis itu langsung menunjukkan ekspresi kekecewaannya. Ternyata bayangan imajinasi pemeran tokoh utama yang muncul sebelumnya berbeda dengan kenyataan. Perasaan “Waahh !” yang muncul saat mendengar siaran radio berubah menjadi “woalahhh !” begitu ‘ketemu darat’ dengan  aktornya.

Orang merasa belum cukup hanya membayangkan kisah-kisah yang abstrak. Orang ingin melihat langsung visualisasinya. Sejumlah sandiwara radio lalu difilmkan, termasuk Saur Sepuh. Tokoh Brama Kumbara tidak lagi diperankan oleh Ferry Fadli. Mungkin karena Ferry fadli dianggap kurang memiliki pesona yang cukup. Penonton film tidak hanya mendengar suaranya tetapi juga akan melihat pesonanya. Sutradara Imam Tantowi pun merasa perlu melakukan audisi dan seleksi untuk pemeran utama Brama Kumbara yang akhirnya dipilih Fendi Pradana. 

Saat film Saur Sepuh ditayangkan di gedung-gedung bioskop, saya datang untuk ‘menyempurnakan’ kekaguman saya pada sosok Brama dan adiknya, Manthili. Saya ingin melihat pesona dan aksi-aksinya melalui ‘gambar idoep”. Yang terjadi, saya justru kecewa saat menyaksikan film itu. Bukan karena pemeran Brama kurang tampan atau aksinya kurang meyakinkan. Bukan pula karena sosok Manthili tidak secentil yang di radio. Yang membuat hati saya kurang sreg menyaksikan film itu justru karena film membatasi imajinasi saya. Semua digambarkan begitu vulgar. Sangat jelas. Bahkan terlalu jelas. Visualisasi sosok Brama tidak sehebat dalam bayangan saya ketika hanya mendengarkan suaranya saja.
 
Bagi saya, mendengarkan sandiwara radio sambil berimajinasi sudah terasa nikmat. Sama nikmatnya dengan membaca cerpen atau novel. Film tak bisa menggantikan, apalagi menyempurnakan sandiwara radio atau novel yang tanpa visual. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. 

Yang perlu dipahami pula, sandiwara selalu disertai wewarah atau ajaran yang disampaikan secara terselubung atau di-sandi-kan. Tentu saja ajaran tentang kebaikan, kebersamaan dan keadilan. 

Tak harus ajaran yang berasal dari dogma agama yang sekarang cenderung ditelikung oleh para penganutnya. Tak harus pula ajaran itu disampaikan melalui nasehat atau pidato-pidato formal. Biarlah para pendengar sandiwara radio menangkap dan menafsirkan sendiri nilai dan makna-makna kebaikan itu dari kisah-kisahnya. 

Nilai-nilai itu diwakili tokoh utama. Brama Kumbara mewakili kebaikan yang harus menumpas kejahatan di muka bumi, melawan salah satunya tokoh Lasmini yang jahat. Tokoh Sembara dalam sandiwara Misteri Gunung Merapi mewakili golongan putih yang harus mengalahkan tokoh Mak Lampir yang tak henti-hentinya meneror kebaikan dan terus mencari murid atau tumbal-tumbal baru supaya ia tidak bisa mati.

Kejahatan dan kebaikan digambarkan secara hitam-putih supaya pendengar dapat menangkap dengan jelas. Supaya pendengar tidak bimbang. Supaya pendengar tidak ragu. 

Supaya pendengar berpihak pada kebenaran dan kebaikan maka tokoh yang mewakili kebenaran dan kebaikan itu akhirnya harus dimenangkan, meskipun dalam kenyataan sehari-hari tidak selalu seperti itu. Sandiwara mendorong orang untuk berbuat kebaikan melalui keberpihakan pada yang baik dan benar.

Tokoh yang baik dan benar itu pun nyaris selalu digambarkan sebagai sosok yang tampan dan cantik. Apakah kebaikan dan kejahatan selalu selaras dengan rupa wajah? Tentu tidak. Sekali lagi, ini dalam rangka memberi dukungan kepada kebaikan. 

Tokoh-tokoh utama tetap memiliki keterbatasan. Pada saat-saat tertentu ia tidak berdaya menghadapi kekuatan kejahatan yang begitu besar. Yang membuat ia hebat adalah kebaikannya. Kebaikan itulah yang menolongnya. Pada saat ia terpojok, ia ditolong oleh keberuntungan, ‘kebetulan’ atau makhluk gaib yang ia datangkan melalui mantera-manteranya. Intinya, yang menyelesaikan persoalan sesungguhnya adalah kekuatan supranatural yang tersembunyi, entah darimana datangnya, yang membantu orang-orang yang baik dan benar. 

Mantera penghancur kejahatan itu tidak selalu berupa ayat-ayat dari kitab suci agama tertentu. Brama Kumbara dan tokoh-tokoh utama sandiwara radio pada umumnya tidak digambarkan memakai sorban dan berbagai atribut milik kelompok tertentu. Tentu saja supaya sandiwara bisa dinikmati semua orang. Bagaimana pun juga sandiwara radio menjadi bagian dari kegiatan bisnis yang berorientasi pasar seluas-luasnya, melintasi batas kotak-kotak agama, golongan dan suku bangsa.

Dan kini pasar sandiwara radio itu telah mati. Para penggemar sandiwara radio beralih bergerombol di depan kotak pesawat televisi menyaksikan sinetron yang audio-visual. Penonton bisa menyaksikan wajah para pemain yang serba tampan dan cantik. Para penggemar sinetron pun dapat bertemu para pemain sinetron ini dalam acara-acara jumpa fans yang dikelola manajemen artis. Para pemuja rupa dijamin tidak akan kecewa dengan pesona para pemain sinetron di belakang layar. Yang barangkali dapat membuat penggemar kecewa, para pemain sinetron ternyata tidaklah sebaik dan sehebat perannya di layar kaca.

Sinetron hanya mampu menarik para remaja dan pembantu rumah tangga. Orang-orang yang tidak menyukai sinetron lalu disuguhi sandiwara yang lain dalam bentuk reality show, debat politik, dan berbagai siaran televisi lainnya. Semua mengandung unsur sandiwara. Dalam tayangan-tayangan berita tentang korupsi misalnya, tidak jarang kita saksikan para koruptor bermain “sandiwara” dengan memakai atribut dan simbol-simbol agama. Sementara dalam tayangan infotainment, bintang film porno pun dengan entengnya mengatakan di-dzolimi. Orang yang seharusnya masuk penjara pun bisa berdalih sakit untuk bisa tetap tinggal di rumah. Dan masih banyak lagi sandiwara-sandiwara lainnya. 

Ya. Sandiwara telah menjadi bagian dari kehidupan nyata. Ada di mana-mana. Tokoh Mak lampir dan Lasmini telah menjelma dalam wujud tokoh-tokoh politik, pengusaha, dan siapa pun. Murid-murid kejahatan telah menyebar di mana-mana. 

Kejahatan memang tak pernah bisa mati. Selalu ada. Seolah tak pernah ada habisnya. Bereinkarnasi dalam banyak wujud. Para penjahat bermain “sandiwara” di pengadilan, ruang sidang DPR dan panggung media-media massa. Yang di-sandi-kan atau disembunyikan bukan lagi wewarah atau ajaran tentang kebaikan, melainkan kejahatan itu sendiri. Pakaian atribut keagamaan hanya digunakan untuk menyembunyikan moral yang busuk.

Penonton televisi semakin bingung. Pendengar radio semakin bimbang. Kebaikan dan kejahatan ternyata tidak hitam dan putih. Kebaikan dan kebenaran ternyata tidak selalu menang !

1 komentar:

  1. Pak tolong di upload video kami waktu malam pentas seni PGMI di blog ini agar kami bisa melihatnya

    BalasHapus