Senin, 05 Maret 2012

Para Penjaga Karya Agung

Ki Sulisno


Hampir sepuluh tahun sudah wayang ditetapkan organisasi pendidikan dan kebudayaan internasional UNESCO sebagai karya agung warisan dunia. Para dalang tak henti-hentinya mengungkapkan kebanggaan atas anugerah ini melalui adegan Limbukan dan Gara-gara. Harapannya tentu saja agar masyarakat turut bangga dan berperan aktif menjaga warisan karya adiluhung ini.

Tinggi rendahnya martabat sebuah bangsa dapat dilihat dari kebudayaannya, itulah kalimat yang sering kita dengar. Masuknya wayang dalam daftar world heritage ini dapat ditafsirkan sebagai pengakuan dunia terhadap salah satu karya peradaban bangsa Indonesia peninggalan masa lalu. Selain wayang, sejumlah karya peninggalan masa lalu seperti Candi Borobudur dan Prambanan juga telah mendapat pengakuan sebelumnya. Karya budaya tradisi menjadi aset yang membanggakan Indonesia di tengah dunia internasional saat bidang-bidang lain kita tertinggal dari bangsa-bangsa lain.

Pengakuan lembaga internasional tidak serta merta membuat nasib wayang beserta seluruh pendukungnya turut terangkat. Di negerinya sendiri keemasan wayang sebetulnya justru semakin meredup.

Di Jawa, setelah mengalami masa booming sekitar tahun 80-an sampai pertengahan 90-an, perlahan-lahan wayang terus ditinggalkan masyarakatnya. Jumlah pentas wayang dan banyaknya penonton beserta tingkat apresiasinya terus mengalami angka penurunan yang cukup drastis.

Di Kalimantan Selatan, wayang kalah saingan dengan musik hadrah. Agama Islam masuk begitu kuat di wilayah ini. Wayang kurang diminati karena tidak senafas dengan agama Islam. Berbeda dengan wayang di Jawa yang sangat adaptif terhadap agama Islam dan situasi sosial-politik serta perkembangan teknologi, para dalang wayang kulit Banjar dan pemain wayang Gung begitu kukuh menjaga tradisi. Mereka tidak tergoda untuk merubah, apalagi melanggar pakem-pakem yang diwariskan leluhur mereka turun temurun. Lampu blencong berbahan bakar minyak kelapa masih dipakai. Dupa juga tidak lupa dinyalakan. Boneka-boneka wayang kulit Banjar yang mirip wayang Jawa dalam ukuran yang lebih kecil dimainkan mirip pertunjukan wayang Bali. Diringi gamelan berlaras slendro. Semua pendukung pertunjukan laki-laki. Tidak ada sinden. Tidak ada penggerong.

Di Bali, pertunjukan wayang relatif stabil karena menjadi bagian dari ritual agama Hindu. Orang mengundang dalang bukan semata-mata untuk hiburan tetapi juga untuk kepentingan ibadah.

Di Palembang, masyarakat Kota Pempek ini justru lebih mengenal wayang kulit Jawa daripada wayang daerah setempat. RRI Palembang setiap bulan sekali menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit Jawa, Pabrik pupuk Pusri dan kantor Pertamina Palembang setiap tahun menyelenggarakan  pertunjukan wayang kulit Jawa. Club Sepak Bola Sriwijaya FC juga merayakan ulang tahunnya dengan disertai pertunjukan wayang kulit Jawa. Sejumlah pengusaha keturunan Jawa di Palembang dan memfasilitasi pertunjukan ini. Pertunjukan wayang kulit gaya Palembang sendiri sudah langka dan hampir kehilangan dalang beserta perangkat wayangnya.

Masuknya wayang dalam daftar world heritage membawa berkah bagi wayang kulit Palembang yang mati suri. Unesco memberi bantuan seperangkat gamelan dan wayang kulit melalui Pepadi Kota Palembang. Seperangkat wayang Palembang dan gamelan bantuan Unesco yang dipesan di Jawa mendorong salah seorang keturunan dalang yang masih tersisa meneruskan estafet tradisi, meski tidak juga kunjung mendapat respon dari masyarakat.

Secara umum, pentas wayang di berbagai daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir frekwensinya terus menurun. Salah satu alasan klise yang sering muncul ke permukaan menyebutkan bahwa orang-orang sekarang lebih tertarik dengan jenis hiburan lain semacam dangdut atau campur sari. Para dalang wayang Jawa, khususnya dari golongan muda, lalu mengatasi persoalan ini dengan memboyong campur sari, dangdut hingga pelawak ke dalam panggung wayang. Tentu saja resikonya biaya pertunjukan menjadi lebih mahal. Para dalang pemula bahkan rela nombok untuk membayar penyanyi campur sari yang bayarannya lebih tinggi dari dalangnya. Dan yang terjadi kemudian, campur sari, dangdut atau lawak itu bukan lagi berfungsi sebagai bumbu penyedap pertunjukan wayang, tetapi justru menjadi menu utama yang dinantikan penonton. Selesai babak gara-gara, yang berarti selesai pula sajian dangdut dan lawak, para penonton serentak meningalkan panggung wayang. Mereka tidak peduli lakon wayangnya seperti apa.

Wayang telah berkembang ke arah hiburan komersial yang dilepaskan dari aspek sosialnya. Fungsi hiburan selalu menuntut pertunjukan yang selalu segar dan selalu berubah. Pertunjukan yang diulang-ulang akan membuat penonton bosan lalu meninggalkan pertunjukan. Menghadapi situasi ini bukannya dalang tidak siap untuk selalu merubah pertunjukan wayang, namun dalang pada umumnya dibebani oleh tradisi yang terikat oleh pakem-pakem dan etika..

Dalang menghadapi dilema: menjalankan peran yang selama ini selalu dilekatkan kepadanya sebagai guru masyarakat, penjaga nilai-nilai budaya dan sekaligus penghibur atau hanya sekedar sebagai penghibur yang menghamba pada materi. Dalang tak dapat hidup di jaman yang serba material ini tanpa jaminan ekonomi yang cukup. Terlebih wayang di Jawa sudah terlanjur masuk perangkap materialisme. Untuk dapat mempergelarkan wayang diperlukan biaya yang tidak bisa dibilang sedikit. Dalang pun semakin dituntut bekerja professional. Untuk itu idealnya seorang dalang pekerjaannya hanya mengurusi soal pergelaran wayang, bukan cuma jadi pekerjaan sampingan atau sekadar hobi.

Persoalan mendasar yang dihadapi para dalang itu adalah apa artinya pengakuan keadiluhungan wayang, bahkan oleh lembaga dunia, tanpa pengakuan pada para dalangnya, pelaku utama di belakang kelir? Apa artinya pengakuan tanpa kesediaan untuk menjaga keberlangsungannya? Para dalang jelas perlu jaminan api di dapur tetap menyala, baru setelah itu mereka bisa menghidupkan nyala api blencong wayang. Satu dua dalang memang telah mampu merengkuh pulung keberuntungan, kuncara, dan mendapatkan penghasilan berlimpah, sementara sebagian besar dalang lainnya nasibnya terlantar.

Kesenian dapat hidup bila ditopang masyarakat, bukan cuma topangan nilai-nilai sosial-budaya bagi terangkatnya peradaban masyarakat, juga topangan material ekonomi bagi dalang sebagai pelakupertunjukan wayang. Pemerintah, sebagai institusi negara yang mengelola masyarakat semestinya juga harus terlibat dalam pelestarian dan pengembangan wayang.

Tahun lalu pernah ada rerasanan dalang di beberapa daerah berencana nggrudug ke istana presiden untuk mengadukan nasib, yang akhirnya tidak terwujud. Mereka menilai pemerintah sekarang tidak lagi memerhatikan nasib mereka. Berbeda dengan pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang menganakemaskan para dalang. Presiden Soekarno rutin memiliki dalang kesayangan Pudjo Sumarto. Presiden Soeharto juga sering mengundang dalang-dalang terkenal ke Istana Negara. Setiap acara pengukuhan Soeharto sebagai presiden selalu dipergelarkan wayang lakon Gathutkaca Winisuda.

Lalu mengapa pemerintahan sekarang tampak tidak memedulikan nasib wayang? Apa mungkin karena Lakon Gathutkaca Winisuda yang pernah dipentaskan secara rutin setiap pengukuhan Presiden Soeharto dan Rama Tambak yang dipesan menjelang kejatuhannya itu dipandang tidak mampu meruwat negara ini dari berbagai krisis, sehingga presiden berikutnya menjadi sanksi terhadap keampuhan wayang dan tidak lagi mau mementaskannya di istana? Kalau kemudian para dalang benar-benar akan nglurug ke istana bukankah itu sama artinya kutuk marani sunduk? Bagaimana tidak, lha wong setiap ada demonstrasi, entah masalah politik atau apapun, pihak keamanan selalu mencari ‘dalangnya’, lha ini kok dhalangnya sendiri mau turun ke jalan, menjadi wayang yang tidak jelas nasibnya. Apa tumon?

Menurunnya frekwensi pentas yang disertai menurunnya kualitas pedalangan ini tentu perlu menjadi bahan pemikiran para dalang dan masyarakat pendukung wayang, bahkan juga oleh negara. Sebab wayang yang telah tercatat dalam world heritage akan dievaluasi oleh dunia internasional melalui lembaga UNESCO. Konsekuensinya wayang harus dilestarikan. kualitas pertunjukan harus tetap terjaga. UNESCO sendiri juga semestinya turut bertanggung jawab terhadap masalah itu.melalui bantuan dana dan berbagai perlindungan terhadap wayang.

Pemerintah Kota Solo tampaknya ingin menjadikan wayang sebagai ikon melalui forum festival yang diadakan bertepatan dengan hari ulang tahun kota itu. Saya pernah terlibat dua kali sebagai peserta dalam festival wayang tahun 2005 dan 2006 bersama teman-teman dari Palembang. Festival itu membuka diri bagi kemungkinan-kemungkinan baru. Sejumlah kreasi muncul melalui forum itu yang melibatkan banyak seniman dari berbagai disiplin. Setelah hajatan itu selesai masing-masing kembali ke disiplinnya masing-masing: menjadi penari, sastrawan, teatrawan, dan lain-lain. Kelompok Wayang Wong Palembang juga tenggelam setelah tampil dua kali di Solo dan hanya sekali tampil di Palembang. Para seniman sering berkreasi hanya ‘dalam rangka’ dan kurang memiliki intensitas yang tinggi dalam menghidupkan wayang secara terus-menerus di tengah masyarakat sekaligus menjadikan wayang sebagai bagian dari masyarakat.

Seperti apapun situasinya, seorang dalang adalah penjaga benteng budaya yang terakhir. Tanpa ‘ketabahan’ seorang dalang untuk terus menjaga keadiluhungan nilai-nilai pedalangan dan peran aktifnya untuk terus mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan nilai-nilai pedalangan dalam masyarakat yang terus berkembang ini, tidak mustahil wayang akan hanya akan menjadi artefak budaya yang masuk museum, diakui keadiluhungannya (bahkan oleh lembaga dunia, Unesco) tetapi ditinggalkan masyarakatnya

Lembaga paguyuban para dalang semacam Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) sebenarnya sudah cukup sering membuat seminar membahas masalah ini namun hasilnya justru hanya udur-uduran seputar masalah pengkultusan keadiluhungan wayang masa lalu dan ‘penghakiman’ terhadap pentas wayang masa kini yang dianggap semakin kehilangan nilai-nilai luhur dan sakralitasnya. Ada dua ‘kubu’ dalang yang berseberangan dan tidak pernah ketemu, yang secara kasar saya gambarkan sebagai dalang konservatif dan dalang pembaharu. Para dalang konservatif, yang umumnya terdiri atas golongan tua adalah kelompok yang cenderung meletakkan wayang pada kemapanan. Telinga, mata, pikiran dan perasaan para dalang tua ini umumnya sudah terlanjur menyatu dengan estetika yang sudah ada selama berpuluh-puluh tahun, sehingga setiap ada yang berubah membuat roso ati tidak sreg. Terutama perubahan yang bersifat radikal akan dianggap aneh dan asing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar