Senin, 12 Maret 2012

Sandiwara Radio

Ki Sulisno


Saya masih ingat betul masa-masa kejayaan sandiwara radio era tahun 1980-an. Cerita Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Nini Pelet dan kisah berbahasa Jawa Kamandaka menghipnotis banyak orang setiap hari. Orang dari berbagai usia bergerombol mengerubungi radio dengan sukarela, menyerahkan hati dan pikirannya mengikuti alur cerita yang berkelak-kelok. Setiap satu persoalan selesai selalu muncul masalah baru. Sandiwara baru akan berakhir setelah para penggemar bosan dan meninggalkan siaran radio atau mengganti chanel yang lain.

Saya turut menjadi bagian dari kerumunan penggemar sandiwara radio ini. Setiap menjelang jam siar Saur Sepuh pukul 12.00 WIB, selalu gelisah di sekolah, ingin segera pulang untuk mendengarkan kisah-kisah petualangan Brama Kumbara, tokoh utama dalam sandiwara Saur Sepuh

Penulis naskah Saur Sepuh, Niki Kosasih, menghidupkan kisah-kisah Brama Kumbara dengan mengambil setting waktu jaman Majapahit pemerintahan Hayam Wuruk sehingga seolah-olah kisah Saur Sepuh menjadi bagian dari kisah sejarah. Brama Kumbara yang berteman baik dengan Paman Soma dari Tuban itu pun turut menjadi tamu undangan dalam penobatan Prabu Siliwangi sebagai raja Pajajaran. Salah satu musuh Brama Kumbara, yaitu Lasmini, berasal dari Gunung Lawu, sebuah gunung di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur yang kelihatan menjulang tinggi dari kampung saya.

Brama Kumbara dipuja-puja banyak orang. Imajinasi tentang Brama Kumbara begitu hidup dalam pikiran pendengar radio. Orang terhanyut oleh gambaran Brama yang tampan, pintar, baik hati, dan superhero. Tentu saja gambaran itu tidak sama persis dalam benak setiap orang. Masing-masing membayangkan berdasarkan referensi yang dimiliki. Ketampanan, sekalipun acuannya fisik, dalam sandiwara radio menjadi bersifat abstrak. Keyakinan akan ketampanan Brama Kumbara selain dibentuk melalui narasi-narasi yang ada juga didasarkan pada karakter suara Brama Kumbara. 

Ferry Fadli lah orang yang berada di depan mikropon mengisi suara Brama Kumbara. Ia berhasil memerankan tokoh Brama Kumbara dengan kemampuan suaranya hingga membuat pendengar radio betul-betul hanya bisa membayangkan sosok Brama Kumbara yang seolah terlepas dari Ferry Fadli.

Seorang teman yang bekerja di radio swasta yang menyiarkan sandiwara berbahasa Jawa pernah bercerita kepada saya tentang para gadis yang datang ke studio siaran untuk menemui pemeran tokoh utama dalam sandiwara yang saat itu sedang ngetrend. Begitu ketemu, para gadis itu langsung menunjukkan ekspresi kekecewaannya. Ternyata bayangan imajinasi pemeran tokoh utama yang muncul sebelumnya berbeda dengan kenyataan. Perasaan “Waahh !” yang muncul saat mendengar siaran radio berubah menjadi “woalahhh !” begitu ‘ketemu darat’ dengan  aktornya.

Orang merasa belum cukup hanya membayangkan kisah-kisah yang abstrak. Orang ingin melihat langsung visualisasinya. Sejumlah sandiwara radio lalu difilmkan, termasuk Saur Sepuh. Tokoh Brama Kumbara tidak lagi diperankan oleh Ferry Fadli. Mungkin karena Ferry fadli dianggap kurang memiliki pesona yang cukup. Penonton film tidak hanya mendengar suaranya tetapi juga akan melihat pesonanya. Sutradara Imam Tantowi pun merasa perlu melakukan audisi dan seleksi untuk pemeran utama Brama Kumbara yang akhirnya dipilih Fendi Pradana. 

Saat film Saur Sepuh ditayangkan di gedung-gedung bioskop, saya datang untuk ‘menyempurnakan’ kekaguman saya pada sosok Brama dan adiknya, Manthili. Saya ingin melihat pesona dan aksi-aksinya melalui ‘gambar idoep”. Yang terjadi, saya justru kecewa saat menyaksikan film itu. Bukan karena pemeran Brama kurang tampan atau aksinya kurang meyakinkan. Bukan pula karena sosok Manthili tidak secentil yang di radio. Yang membuat hati saya kurang sreg menyaksikan film itu justru karena film membatasi imajinasi saya. Semua digambarkan begitu vulgar. Sangat jelas. Bahkan terlalu jelas. Visualisasi sosok Brama tidak sehebat dalam bayangan saya ketika hanya mendengarkan suaranya saja.
 
Bagi saya, mendengarkan sandiwara radio sambil berimajinasi sudah terasa nikmat. Sama nikmatnya dengan membaca cerpen atau novel. Film tak bisa menggantikan, apalagi menyempurnakan sandiwara radio atau novel yang tanpa visual. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. 

Yang perlu dipahami pula, sandiwara selalu disertai wewarah atau ajaran yang disampaikan secara terselubung atau di-sandi-kan. Tentu saja ajaran tentang kebaikan, kebersamaan dan keadilan. 

Tak harus ajaran yang berasal dari dogma agama yang sekarang cenderung ditelikung oleh para penganutnya. Tak harus pula ajaran itu disampaikan melalui nasehat atau pidato-pidato formal. Biarlah para pendengar sandiwara radio menangkap dan menafsirkan sendiri nilai dan makna-makna kebaikan itu dari kisah-kisahnya. 

Nilai-nilai itu diwakili tokoh utama. Brama Kumbara mewakili kebaikan yang harus menumpas kejahatan di muka bumi, melawan salah satunya tokoh Lasmini yang jahat. Tokoh Sembara dalam sandiwara Misteri Gunung Merapi mewakili golongan putih yang harus mengalahkan tokoh Mak Lampir yang tak henti-hentinya meneror kebaikan dan terus mencari murid atau tumbal-tumbal baru supaya ia tidak bisa mati.

Kejahatan dan kebaikan digambarkan secara hitam-putih supaya pendengar dapat menangkap dengan jelas. Supaya pendengar tidak bimbang. Supaya pendengar tidak ragu. 

Supaya pendengar berpihak pada kebenaran dan kebaikan maka tokoh yang mewakili kebenaran dan kebaikan itu akhirnya harus dimenangkan, meskipun dalam kenyataan sehari-hari tidak selalu seperti itu. Sandiwara mendorong orang untuk berbuat kebaikan melalui keberpihakan pada yang baik dan benar.

Tokoh yang baik dan benar itu pun nyaris selalu digambarkan sebagai sosok yang tampan dan cantik. Apakah kebaikan dan kejahatan selalu selaras dengan rupa wajah? Tentu tidak. Sekali lagi, ini dalam rangka memberi dukungan kepada kebaikan. 

Tokoh-tokoh utama tetap memiliki keterbatasan. Pada saat-saat tertentu ia tidak berdaya menghadapi kekuatan kejahatan yang begitu besar. Yang membuat ia hebat adalah kebaikannya. Kebaikan itulah yang menolongnya. Pada saat ia terpojok, ia ditolong oleh keberuntungan, ‘kebetulan’ atau makhluk gaib yang ia datangkan melalui mantera-manteranya. Intinya, yang menyelesaikan persoalan sesungguhnya adalah kekuatan supranatural yang tersembunyi, entah darimana datangnya, yang membantu orang-orang yang baik dan benar. 

Mantera penghancur kejahatan itu tidak selalu berupa ayat-ayat dari kitab suci agama tertentu. Brama Kumbara dan tokoh-tokoh utama sandiwara radio pada umumnya tidak digambarkan memakai sorban dan berbagai atribut milik kelompok tertentu. Tentu saja supaya sandiwara bisa dinikmati semua orang. Bagaimana pun juga sandiwara radio menjadi bagian dari kegiatan bisnis yang berorientasi pasar seluas-luasnya, melintasi batas kotak-kotak agama, golongan dan suku bangsa.

Dan kini pasar sandiwara radio itu telah mati. Para penggemar sandiwara radio beralih bergerombol di depan kotak pesawat televisi menyaksikan sinetron yang audio-visual. Penonton bisa menyaksikan wajah para pemain yang serba tampan dan cantik. Para penggemar sinetron pun dapat bertemu para pemain sinetron ini dalam acara-acara jumpa fans yang dikelola manajemen artis. Para pemuja rupa dijamin tidak akan kecewa dengan pesona para pemain sinetron di belakang layar. Yang barangkali dapat membuat penggemar kecewa, para pemain sinetron ternyata tidaklah sebaik dan sehebat perannya di layar kaca.

Sinetron hanya mampu menarik para remaja dan pembantu rumah tangga. Orang-orang yang tidak menyukai sinetron lalu disuguhi sandiwara yang lain dalam bentuk reality show, debat politik, dan berbagai siaran televisi lainnya. Semua mengandung unsur sandiwara. Dalam tayangan-tayangan berita tentang korupsi misalnya, tidak jarang kita saksikan para koruptor bermain “sandiwara” dengan memakai atribut dan simbol-simbol agama. Sementara dalam tayangan infotainment, bintang film porno pun dengan entengnya mengatakan di-dzolimi. Orang yang seharusnya masuk penjara pun bisa berdalih sakit untuk bisa tetap tinggal di rumah. Dan masih banyak lagi sandiwara-sandiwara lainnya. 

Ya. Sandiwara telah menjadi bagian dari kehidupan nyata. Ada di mana-mana. Tokoh Mak lampir dan Lasmini telah menjelma dalam wujud tokoh-tokoh politik, pengusaha, dan siapa pun. Murid-murid kejahatan telah menyebar di mana-mana. 

Kejahatan memang tak pernah bisa mati. Selalu ada. Seolah tak pernah ada habisnya. Bereinkarnasi dalam banyak wujud. Para penjahat bermain “sandiwara” di pengadilan, ruang sidang DPR dan panggung media-media massa. Yang di-sandi-kan atau disembunyikan bukan lagi wewarah atau ajaran tentang kebaikan, melainkan kejahatan itu sendiri. Pakaian atribut keagamaan hanya digunakan untuk menyembunyikan moral yang busuk.

Penonton televisi semakin bingung. Pendengar radio semakin bimbang. Kebaikan dan kejahatan ternyata tidak hitam dan putih. Kebaikan dan kebenaran ternyata tidak selalu menang !

Senin, 05 Maret 2012

Para Penjaga Karya Agung

Ki Sulisno


Hampir sepuluh tahun sudah wayang ditetapkan organisasi pendidikan dan kebudayaan internasional UNESCO sebagai karya agung warisan dunia. Para dalang tak henti-hentinya mengungkapkan kebanggaan atas anugerah ini melalui adegan Limbukan dan Gara-gara. Harapannya tentu saja agar masyarakat turut bangga dan berperan aktif menjaga warisan karya adiluhung ini.

Tinggi rendahnya martabat sebuah bangsa dapat dilihat dari kebudayaannya, itulah kalimat yang sering kita dengar. Masuknya wayang dalam daftar world heritage ini dapat ditafsirkan sebagai pengakuan dunia terhadap salah satu karya peradaban bangsa Indonesia peninggalan masa lalu. Selain wayang, sejumlah karya peninggalan masa lalu seperti Candi Borobudur dan Prambanan juga telah mendapat pengakuan sebelumnya. Karya budaya tradisi menjadi aset yang membanggakan Indonesia di tengah dunia internasional saat bidang-bidang lain kita tertinggal dari bangsa-bangsa lain.

Pengakuan lembaga internasional tidak serta merta membuat nasib wayang beserta seluruh pendukungnya turut terangkat. Di negerinya sendiri keemasan wayang sebetulnya justru semakin meredup.

Di Jawa, setelah mengalami masa booming sekitar tahun 80-an sampai pertengahan 90-an, perlahan-lahan wayang terus ditinggalkan masyarakatnya. Jumlah pentas wayang dan banyaknya penonton beserta tingkat apresiasinya terus mengalami angka penurunan yang cukup drastis.

Di Kalimantan Selatan, wayang kalah saingan dengan musik hadrah. Agama Islam masuk begitu kuat di wilayah ini. Wayang kurang diminati karena tidak senafas dengan agama Islam. Berbeda dengan wayang di Jawa yang sangat adaptif terhadap agama Islam dan situasi sosial-politik serta perkembangan teknologi, para dalang wayang kulit Banjar dan pemain wayang Gung begitu kukuh menjaga tradisi. Mereka tidak tergoda untuk merubah, apalagi melanggar pakem-pakem yang diwariskan leluhur mereka turun temurun. Lampu blencong berbahan bakar minyak kelapa masih dipakai. Dupa juga tidak lupa dinyalakan. Boneka-boneka wayang kulit Banjar yang mirip wayang Jawa dalam ukuran yang lebih kecil dimainkan mirip pertunjukan wayang Bali. Diringi gamelan berlaras slendro. Semua pendukung pertunjukan laki-laki. Tidak ada sinden. Tidak ada penggerong.

Di Bali, pertunjukan wayang relatif stabil karena menjadi bagian dari ritual agama Hindu. Orang mengundang dalang bukan semata-mata untuk hiburan tetapi juga untuk kepentingan ibadah.

Di Palembang, masyarakat Kota Pempek ini justru lebih mengenal wayang kulit Jawa daripada wayang daerah setempat. RRI Palembang setiap bulan sekali menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit Jawa, Pabrik pupuk Pusri dan kantor Pertamina Palembang setiap tahun menyelenggarakan  pertunjukan wayang kulit Jawa. Club Sepak Bola Sriwijaya FC juga merayakan ulang tahunnya dengan disertai pertunjukan wayang kulit Jawa. Sejumlah pengusaha keturunan Jawa di Palembang dan memfasilitasi pertunjukan ini. Pertunjukan wayang kulit gaya Palembang sendiri sudah langka dan hampir kehilangan dalang beserta perangkat wayangnya.

Masuknya wayang dalam daftar world heritage membawa berkah bagi wayang kulit Palembang yang mati suri. Unesco memberi bantuan seperangkat gamelan dan wayang kulit melalui Pepadi Kota Palembang. Seperangkat wayang Palembang dan gamelan bantuan Unesco yang dipesan di Jawa mendorong salah seorang keturunan dalang yang masih tersisa meneruskan estafet tradisi, meski tidak juga kunjung mendapat respon dari masyarakat.

Secara umum, pentas wayang di berbagai daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir frekwensinya terus menurun. Salah satu alasan klise yang sering muncul ke permukaan menyebutkan bahwa orang-orang sekarang lebih tertarik dengan jenis hiburan lain semacam dangdut atau campur sari. Para dalang wayang Jawa, khususnya dari golongan muda, lalu mengatasi persoalan ini dengan memboyong campur sari, dangdut hingga pelawak ke dalam panggung wayang. Tentu saja resikonya biaya pertunjukan menjadi lebih mahal. Para dalang pemula bahkan rela nombok untuk membayar penyanyi campur sari yang bayarannya lebih tinggi dari dalangnya. Dan yang terjadi kemudian, campur sari, dangdut atau lawak itu bukan lagi berfungsi sebagai bumbu penyedap pertunjukan wayang, tetapi justru menjadi menu utama yang dinantikan penonton. Selesai babak gara-gara, yang berarti selesai pula sajian dangdut dan lawak, para penonton serentak meningalkan panggung wayang. Mereka tidak peduli lakon wayangnya seperti apa.

Wayang telah berkembang ke arah hiburan komersial yang dilepaskan dari aspek sosialnya. Fungsi hiburan selalu menuntut pertunjukan yang selalu segar dan selalu berubah. Pertunjukan yang diulang-ulang akan membuat penonton bosan lalu meninggalkan pertunjukan. Menghadapi situasi ini bukannya dalang tidak siap untuk selalu merubah pertunjukan wayang, namun dalang pada umumnya dibebani oleh tradisi yang terikat oleh pakem-pakem dan etika..

Dalang menghadapi dilema: menjalankan peran yang selama ini selalu dilekatkan kepadanya sebagai guru masyarakat, penjaga nilai-nilai budaya dan sekaligus penghibur atau hanya sekedar sebagai penghibur yang menghamba pada materi. Dalang tak dapat hidup di jaman yang serba material ini tanpa jaminan ekonomi yang cukup. Terlebih wayang di Jawa sudah terlanjur masuk perangkap materialisme. Untuk dapat mempergelarkan wayang diperlukan biaya yang tidak bisa dibilang sedikit. Dalang pun semakin dituntut bekerja professional. Untuk itu idealnya seorang dalang pekerjaannya hanya mengurusi soal pergelaran wayang, bukan cuma jadi pekerjaan sampingan atau sekadar hobi.

Persoalan mendasar yang dihadapi para dalang itu adalah apa artinya pengakuan keadiluhungan wayang, bahkan oleh lembaga dunia, tanpa pengakuan pada para dalangnya, pelaku utama di belakang kelir? Apa artinya pengakuan tanpa kesediaan untuk menjaga keberlangsungannya? Para dalang jelas perlu jaminan api di dapur tetap menyala, baru setelah itu mereka bisa menghidupkan nyala api blencong wayang. Satu dua dalang memang telah mampu merengkuh pulung keberuntungan, kuncara, dan mendapatkan penghasilan berlimpah, sementara sebagian besar dalang lainnya nasibnya terlantar.

Kesenian dapat hidup bila ditopang masyarakat, bukan cuma topangan nilai-nilai sosial-budaya bagi terangkatnya peradaban masyarakat, juga topangan material ekonomi bagi dalang sebagai pelakupertunjukan wayang. Pemerintah, sebagai institusi negara yang mengelola masyarakat semestinya juga harus terlibat dalam pelestarian dan pengembangan wayang.

Tahun lalu pernah ada rerasanan dalang di beberapa daerah berencana nggrudug ke istana presiden untuk mengadukan nasib, yang akhirnya tidak terwujud. Mereka menilai pemerintah sekarang tidak lagi memerhatikan nasib mereka. Berbeda dengan pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang menganakemaskan para dalang. Presiden Soekarno rutin memiliki dalang kesayangan Pudjo Sumarto. Presiden Soeharto juga sering mengundang dalang-dalang terkenal ke Istana Negara. Setiap acara pengukuhan Soeharto sebagai presiden selalu dipergelarkan wayang lakon Gathutkaca Winisuda.

Lalu mengapa pemerintahan sekarang tampak tidak memedulikan nasib wayang? Apa mungkin karena Lakon Gathutkaca Winisuda yang pernah dipentaskan secara rutin setiap pengukuhan Presiden Soeharto dan Rama Tambak yang dipesan menjelang kejatuhannya itu dipandang tidak mampu meruwat negara ini dari berbagai krisis, sehingga presiden berikutnya menjadi sanksi terhadap keampuhan wayang dan tidak lagi mau mementaskannya di istana? Kalau kemudian para dalang benar-benar akan nglurug ke istana bukankah itu sama artinya kutuk marani sunduk? Bagaimana tidak, lha wong setiap ada demonstrasi, entah masalah politik atau apapun, pihak keamanan selalu mencari ‘dalangnya’, lha ini kok dhalangnya sendiri mau turun ke jalan, menjadi wayang yang tidak jelas nasibnya. Apa tumon?

Menurunnya frekwensi pentas yang disertai menurunnya kualitas pedalangan ini tentu perlu menjadi bahan pemikiran para dalang dan masyarakat pendukung wayang, bahkan juga oleh negara. Sebab wayang yang telah tercatat dalam world heritage akan dievaluasi oleh dunia internasional melalui lembaga UNESCO. Konsekuensinya wayang harus dilestarikan. kualitas pertunjukan harus tetap terjaga. UNESCO sendiri juga semestinya turut bertanggung jawab terhadap masalah itu.melalui bantuan dana dan berbagai perlindungan terhadap wayang.

Pemerintah Kota Solo tampaknya ingin menjadikan wayang sebagai ikon melalui forum festival yang diadakan bertepatan dengan hari ulang tahun kota itu. Saya pernah terlibat dua kali sebagai peserta dalam festival wayang tahun 2005 dan 2006 bersama teman-teman dari Palembang. Festival itu membuka diri bagi kemungkinan-kemungkinan baru. Sejumlah kreasi muncul melalui forum itu yang melibatkan banyak seniman dari berbagai disiplin. Setelah hajatan itu selesai masing-masing kembali ke disiplinnya masing-masing: menjadi penari, sastrawan, teatrawan, dan lain-lain. Kelompok Wayang Wong Palembang juga tenggelam setelah tampil dua kali di Solo dan hanya sekali tampil di Palembang. Para seniman sering berkreasi hanya ‘dalam rangka’ dan kurang memiliki intensitas yang tinggi dalam menghidupkan wayang secara terus-menerus di tengah masyarakat sekaligus menjadikan wayang sebagai bagian dari masyarakat.

Seperti apapun situasinya, seorang dalang adalah penjaga benteng budaya yang terakhir. Tanpa ‘ketabahan’ seorang dalang untuk terus menjaga keadiluhungan nilai-nilai pedalangan dan peran aktifnya untuk terus mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan nilai-nilai pedalangan dalam masyarakat yang terus berkembang ini, tidak mustahil wayang akan hanya akan menjadi artefak budaya yang masuk museum, diakui keadiluhungannya (bahkan oleh lembaga dunia, Unesco) tetapi ditinggalkan masyarakatnya

Lembaga paguyuban para dalang semacam Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) sebenarnya sudah cukup sering membuat seminar membahas masalah ini namun hasilnya justru hanya udur-uduran seputar masalah pengkultusan keadiluhungan wayang masa lalu dan ‘penghakiman’ terhadap pentas wayang masa kini yang dianggap semakin kehilangan nilai-nilai luhur dan sakralitasnya. Ada dua ‘kubu’ dalang yang berseberangan dan tidak pernah ketemu, yang secara kasar saya gambarkan sebagai dalang konservatif dan dalang pembaharu. Para dalang konservatif, yang umumnya terdiri atas golongan tua adalah kelompok yang cenderung meletakkan wayang pada kemapanan. Telinga, mata, pikiran dan perasaan para dalang tua ini umumnya sudah terlanjur menyatu dengan estetika yang sudah ada selama berpuluh-puluh tahun, sehingga setiap ada yang berubah membuat roso ati tidak sreg. Terutama perubahan yang bersifat radikal akan dianggap aneh dan asing

Kamis, 01 Maret 2012

Jamrud Khatulistiwa

Ki Sulisno

Istilah itu sering kita temukan dalam buku-buku panduan pariwisata Indonesia, buku pelajaran sekolah dan lagu-lagu era Orde Baru. Terasa indah memang istiah ini. Penyebutan Jamrud Khatulistiwa selalu dikaitkan dengan ragam keindahan yang terbentang di sepanjang kepulauan nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Kita mendapatkan gambaran stereotif tentang keindahan yang memancar dari ribuan pulau yang tersebar di antara Samudera Hindia dan lautan Pasifik; di antara benua terbesar Asia dan Australia; yang membentang seperti untaian mutiara raksasa. Ada pemandangan –pemandangan eksotis berupa hijau hutan, gemericik air terjun dari sungai-sungai di atas pegunungan yang sejuk, danau yang tenang, dan pantai yang terhampar di sepanjang tepian pulau. 

Tidak salah memang penggambaran itu. Siapa pun yang datang ke Kepulauan Raja Ampat akan menyaksikan pesona yang luar biasa. Salah satu alam bawah laut di Indonesia, di Bunaken, Sulawesi Utara, juga diakui sebagai salah satu dari sepuluh alam bawah laut terindah di dunia. Begitu banyak potensi yang tersimpan di seluruh kepulauan nusantara. Masing-masing pulau memiliki kekayaan alam dan budaya yang khas. 

Di hamparan tanah yang luas dengan gunung-gunungnya yang sebagian besar masih aktif, yang tersebar di antara wilayah perairan yang sangat luas, yang didukung iklim tropis, negara Indonesia merupakan sorga bagi tumbuh suburnya berbagai flora dan fauna. Berbagai tanaman pangan, tanaman untuk bahan bangunan, tanaman hias dan juga tanaman untuk obat jumlahnya sangat berlimpah. Para ahli tanaman banyak yang berhasil membiakkan berbagai tanaman tersebut sebagai bagian dari upaya pelestarian dan juga menyilangkan berbagai tanaman untuk menghasilkan varian baru. 

Berbagai jenis satwa langka dan khas Indonesia juga banyak menarik perhatian dunia; badak bercula satu, burung cendrawasih, kasuari, harimau Sumatera. Pulau Komodo berhasil masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia melalui proses panjang yang penuh kontroversi.

Saat masih kecil, saya menyaksikan banyak burung beterbangan di sekitar rumah saya di Sragen. Ada burung podang, prenjak, kuntul, dan masih banyak lagi. Saat siang hari saya sering mendengar suara burung platuk yang mencari serangga di pohon kleco yang tumbuh rindang di dekat rumah saya. Pohon kleco itu kini sudah tidak ada di kampung saya, juga di tempat lain. Saya masih ingat, beberapa orang yang membawa senso datang. Pohon-pohon besar di kampung kami ditebangi semua karena dianggap akan mengganggu instalasi listrik yang akan segera dipasang ke desa kami. Tentu saja kami semua senang karena desa kami akan segera terang benderang oleh cahaya listrik. Lampu teplok berbahan bakar minyak tanah akan segera kami pensiunkan semua. 

Kini, setelah dua puluhan tahun desa kami diterangi listrik, saya merasakan udara yang panas di desa. Tak ada lagi pohon-pohon rindang. Saya tidak tahu di mana ada pohon kleco, mundhu, gulun, dan sejumlah pohon lain yang dulu pernah saya lihat. Juga binatang-binatang liar. Banyak jenis tanaman dan satwa yang semakin langka. Kita hanya bisa menyaksikan kekayaan flora dan fauna itu di hutan-hutan konservasi dan kebun binatang.

Lalu sumber keindahan apalagi yang masih tersisa? Kebudayaan adalah salah satunya. Kita beruntung tinggal di kepulauan nusantara yang juga terdiri atas banyak etnis dan sistem kepercayaan. Masing-masing membentuk kebudayaan yang khas. Kebudayaan Jawa berbeda dengan kebudayaan Bali, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lain. Dalam satu pulau pun terdiri atas banyak ragam kebudayaan. Di Pulau Jawa berkembang kebudayaan Sunda, Betawi, Badui, Banten, Jawa-Surakarta-Yogyakarta, Jawa-Banyumas, masyarakat Samin, Malang, Osing, dan lain-lain.

Dengan potensi keindahan alam dan budaya yang sangat besar, Indonesia dapat menjadi salah satu tujuan wisata dunia. Bali sudah lama terkenal di seluruh dunia sebagai Pulau Dewata yang ada di Indonesia. Jutaan orang setiap tahun berkunjung ke Bali. Para wisatawan turut menghidupkan pulau itu. Masyarakat Bali mendapatkan kesejahteraan dari pariwisata. Mereka mendapatkan dana yang cukup berlimpah untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, menjalankan ibadah dan mengembangkan kesenian mereka. Wisatawan yang ingin mendapatkan suasana yang lebih alami dan sepi banyak mengalihkan tujuannya ke Lombok dan sejumlah pulau di wilayah Indonesia timur. Kalau masyarakat di seluruh kepulauan Indonesia memiliki kesadaran yang kuat untuk mengembangkan potensi yang ada di daerahnya, maka tujuan wisata dunia juga dapat mengalir ke seluruh kepulauan nusantara. Lamongan adalah salah satu contoh kabupaten yang berhasil mengembangkan wisata bahari.

Beberapa karya budaya bangsa Indonesia telah tercatat dalam world heritage: Candi Borobudur, Candi Prambanan, kesenian wayang, bangunan rumah adat Nias, saujana budaya di Tana Toraja, dan masih banyak lagi karya anak bangsa yang telah didaftarkan pemerintah ke lembaga budaya dunia (Unesco) untuk dapat diakui sebagai karya agung warisan dunia. 

Berbagai ragam obyek wisata dapat terus dikembangkan: wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata religi, wisata pendidikan. Tidak hanya mengandalkan obyek wisata yang sudah ada sebelumnya, tetapi juga menciptakan obyek wisata baru. Peluang terciptanya karya-karya baru yang beragam sangat terbuka lebar, mengingat secara alamiah Indonesia memiliki akar sejarah sosial, budaya dan lingkungan geografis yang juga beragam. Agama-agama besar di dunia ada di Indonesia, meninggalkan jejak-jejak peradaban yang masih dijaga oleh para penganutnya: candi Hindu dan Budha, Gereja, Masjid, dengan ritual-ritualnya yang menyatu dengan kebudayaan Indonesia.

Selain wisata religi yang menjadi andalan wisata domestik, sekarang ini telah muncul banyak desa wisata yang sangat diminati wisatawan asing. Dalam desa wisata, wisatawan dapat tinggal di rumah-rumah warga, berinteraksi dengan warga dalam aktivitas sehari-hari. Yogyakarta saat ini sedang menggalakkan program desa wisata ini.

Beberapa daerah terus menyelenggarakan berbagai festival budaya untuk menarik perhatian wisatawan dan menggairahkan masyarakat untuk terus berkreasi. Selain di Bali, Solo, dan Yoyakarta yang sudah memilki banyak festival, berbagai daerah lain juga terus menciptakan festival-festival baru, misalnya Jember Fashion Carnival di Kota Jember yang berhasil menarik perhatian banyak wartawan asing.

Berbagai keragaman keindahan karya budaya anak bangsa, selain dapat menjadi sumber ekonomi bagi pelakunya, juga akan turut menyumbangkan devisa bagi negara, memberikan peluang lapangan pekerjaan baru, serta menjadikan kebanggaan dan kesenangan bagi segenap bangsa Indonesia.

Sayang sekali, potensi yang sedemikian luar biasa dari seluruh kepulauan di nusantara itu belum seluruhnya dikelola secara baik dan adil sehingga juga belum mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Limpahan ekonomi dari kegiatan kepariwisataan sering hanya dinikmati oleh agen-agen perjalanan, pemilik hotel, dan pengelola objek wisata yang umumnya banyak berasal dari luar daerah tempat objek wisata itu berada. Banyak villa di tempat-tempat wisata alam milik para pejabat dan orang-orang kaya dari luar daerah. Sejumlah resort dan hotel ‘mewah’ di Kepulauan Raja Ampat, Lombok dan sejumlah pulau lain di Indonesia dimiliki oleh orang asing.  

Orang-orang asing ‘menemukan’ dan mengelola objek-objek wisata yang bagi orang Indonesia sendiri mungkin dianggap tidak menarik dan berada di wilayah terpencil. Orang-orang asing pula yang mampu mengunjungi objek-objek itu dengan membayar mahal. 

Masyarakat sekitar objek wisata sering hanya jadi penonton atas aktifitas pariwisata ini. Kalaupun mereka dilibatkan, mereka cuma jadi penari-penari yang dieksploitasi, bukannya diberdayakan untuk lebih kreatif, mandiri dan menemukan eksistensinya di tengah kegiatan kepariwisataan. Masyarakat di sekitar tempat pariwisata yang tidak dilibatkan secara langsung dalam kegiatan kepariwisataan biasanya memilih usaha menjadi pedagang asongan, tukang parkir dan preman yang dianggap mengganggu kenyamanan para wisatawan.

Masyarakat “pemilik” objek wisata sering terlambat mengambil inisiatif atau mungkin merasa tidak mampu mengelola potensi yang ada di daerahnya secara profesional. Masyarakat cenderung hanya memanfaatkan apa yang ada, bukan mengembangkan menjadi bagaimana sebaiknya. Sejumlah objek wisata justru terganggu keindahannya akibat banyaknya tenda-tenda warung makan atau penjual souvenir yang terkesan kumuh dan semrawut

Sekitar tiga tahun lalu saya mendapat tawaran dari sebuah LSM yang bekerja sama dengan penerbit untuk menulis buku tentang keindahan-keindahan alam nusantara. Buku itu tidak jelas nasibnya sampai sekarang. Mungkin dianggap tidak memiliki nilai jual yang tinggi sehingga batal diterbitkan. Mungkin keadaan seperti yang saya tulis di buku itu dianggap tidak lagi sesuai akibat terjadinya begitu banyak bencana alam di sejumlah wilayah Indonesia. Entahlah. Saya hanya bisa menduga-duga. Komunikasi dengan penerbit sudah jarang dilakukan. Sejumlah penulis yang bekerja sama untuk sejumlah seri buku itu juga sudah dicerai-beraikan oleh pekerjaan dan kesibukannya masing-masing. Sebagai bagian dari penulis buku itu, saya hanya ingin mengajak siapa pun untuk tidak berhenti berharap terhadap potensi kekayaan dan keindahan alam yang begitu besarnya, yang perlu dikelola dengan baik untuk kemakmuran dan kejayaan bersama.