Selasa, 10 Januari 2012

Lokalitas di Tengah Globalisasi

Oleh Ki Sulisno, S.Sn., M.A.

Banyak orang khawatir dengan masuknya produk-produk Cina di pasaran. Petani, pembuat tempe, penanam kedelai, penjahit baju, pengrajin sandal, pembatik, peternak gelisah. Pembeli yang uangnya pas-pasan jelas akan lebih memilih barang yang lebih murah. Bagaimana mungkin barang yang diimpor, dengan beaya perjalanan dari tempat yang jauh di luar negeri dan saat masuk wilayah negara dikenai beaya pajak, bisa dijual lebih murah dari produk lokal?

Cina memang hebat. Mereka bisa membuat hampir semua produk di pasar. Meniru memang lebih mudah daripada menciptakan. Meski barang tiruan umumnya tidak lebih baik dari barang aslinya, tetapi tetap saja mampu menggiurkan sebagian orang melalui kompensasi harga yang lebih murah. Dengan mengandalkan keahlian berdagang orang-orang Cina menjelajah dunia. Mereka ada di mana-mana. Mereka tetap menjadi "Cina" meskipun ada di Amerika, Indonesia, Arab Saudi, dan wilayah manapun yang memungkinkan bisa mendapatkan uang. Mereka berada di pusat-pusat perkotaan. Mereka mengendalikan laju ekonomi.

Muslim dari seluruh dunia yang pulang dari naik haji membawa oleh-oleh: sajadah, kopyah, baju koko, tasbih. Kita memakai benda-benda itu dengan bangga dan berharap mudah-mudahan ada berkah yang menyertai, karena berasal dari tanah suci Mekah. Bukankah masyarakat kita memang mudah sekali mengkultuskan sesuatu? Benda-benda sering dipandang bukan pada materialnya, tempat diyakini bukan sekadar geografi, bahkan tahi kebo pun bisa dianggap memiliki kesaktian hanya karena berasal dari keraton. Tentu saja sajadah yang dibeli di tanah suci dianggap lebih istimewa daripada yang berasal dari Tanah Abang, meski sama-sama ada tulisan: Made in China. 


Pembuat sajadah itu sendiri belum tentu menganut Islam. Bagi pedagang, barang semata-mata sebagai sumber keuntungan. Terlepas bagi orang lain sebuah produk ditentukan nilainya dari fungsi praktis atau kemudian benda-benda ditempeli dengan pencitraan, bahkan ideology, itu bukan persoalan yang merisaukan pedagang. Keuntungan ekonomilah yang lebih penting, karena ekonomi jelas lebih riil. Orang perlu makan. Orang perlu duwit. (Apalagi jika hidup di Indonesia yang segala sesuatunya bisa dibeli: keadilan bisa dibeli, nama baik bisa dibeli, citra sebagai orang yang religius mudah ditempelkan lewat pakaian. Pokoknya apapun bisa ditukar dengan uang.)

Ekonomi melahirkan globalisasi. Dasar manusia serakah. Selalu saja tidak pernah puas. Selalu ingin menumpuk kekayaan. Selalu ingin menambah modal. Hukum alam berlaku: siapa memiliki modal ekonomi besar, maka ia akan mampu menguasai dunia. Sumber-sumber pundi ekonomi dicari, dibuat dan disebarkan ke seluruh tempat yang memungkinkan bisa dijangkau. Perusahaan-perusahaan di Jakarta menyebarkan jaring ke seluruh pelosok negeri. Pebisnis di Amerika menebar jala ke seluruh penjuru dunia.

Kapitalisme ada di mana-mana tetapi pemilik modal besar hanya segelintir orang saja. Segelintir orang inilah yang mendirikan pabrik di mana-mana, supermarket di mana-mana, pasar di mana-mana dan menguasai media massa sebagai pengendali. Dunia dikuasai oleh beberapa orang saja.

Produk-produk pertanian, kesenian, adat-istiadat, agama dan apa pun dikemas lalu dijual. Alat-alat komunikasi, alat untuk memasak, merias wajah, hingga alat untuk “bercinta” diciptakan. Barangnya diciptakan dulu baru kemudian kebutuhan dan keinginan didorong melalui iklan. Barang-barang kemasan produk pabrik dibuat dan disebarluaskan hingga pelosok-pelosok kampung. Maka menyebarlah produk-produk konsumtif yang diseragamkan itu. Jadilah dunia yang seragam. Orang dari latarbelakang sosial-budaya yang berbeda-beda memakai pakaian yang nyaris seragam, menggunakan alat-alat yang seragam,  bertingkah laku nyaris seragam, hingga berpikir dengan mindset yang sama.

Budaya pop pun dilahirkan oleh globalisasi. Makanan cepat saji, music yang easylistening, jalan-jalan ke mall menjadi gaya hidup. Film Hollywood, Jeans, KFC menjadi sesuatu yang begitu akrab.

Saat globalisasi, dengan teknologi pendukungnya, sudah masuk mewabah, banyak orang pesimis terhadap nasib kebudayaan-kebudayaan lokal. Kesenian-kesenian tradisi di negara berkembang dilindas kesenian-kesenian baru produk industri, yang merupakan anak kandung globalisasi. Dan sekarang terbukti, berapa banyak orang mengenal lagu Ketawang Puspawarna dengan diiringi gamelan Jawa dan berapa banyak orang mengenal music pop? Siapa yang tahu bahwa suara gamelan Jawa yang memainkan lagu Ketawang Puspawarna merupakan satu di antara delapan musik “kelas dunia” yang dipilih oleh lembaga luar angkasa Amerika Serikat, NASA, dalam “misi kebudayaan” tahun 1970-an? Delapan lagu dari berbagai negara tersebut dikirim ke beberapa planet luar angkasa untuk memanggil dan menunjukkan karya agung makhluk dunia kepada makhluk luar angkasa (seandainya ada). Lagu-lagu tersebut akan terus menerus berbunyi hingga ratusan tahun. Selain Ketawang Puspawarna, karya sastra La Galigo dari Sulawesi, wayang, randai dan tari kecak adalah sedikit contoh dari karya budaya lokal nusantara yang sudah terkenal di tingkat dunia.


Di tengah arus besar yang cenderung menjadikan segala sesuatunya cenderung seragam itu, saat ini nampaknya sebagian orang sesungguhnya sudah mulai jenuh dengan budaya pop. Banyak orang yang menganggap kebudayaan pop cenderung membawa ke sebuah pembodohan massal. Joost Smiers, dalam buku Arts Under Pressure, menyebutkan bahwa budaya pop tidak mengkayakan tetapi justru memiskinkan. Ia menyarankan perlunya memperjuangkan keanekaragaman budaya di era globalisasi.

Peluang terbuka bagi para seniman-seniman tradisi, terutama yang berada di wilayah-wilayah pusat tradisi seperti Solo, Yogyakarta dan Bali. Di wilayah-wilayah ini terdapat sejumlah seniman yang sudah terbiasa pentas di luar negeri. Tentu hal itu tidak akan terjadi jika mereka memainkan musik pop.

Orang yang sudah jenuh dengan budaya pop semakin besar jumlahnya, termasuk orang-orang di pusat-pusat globalisasi itu sendiri. Dalam kecenderungan keseragaman budaya global, orang terus mencari sesuatu yang berbeda, unik, tidak ada di tempat lain. Kebudayaan-kebudayaan lokal menjadi salah satu harapan. Orang-orang dari negara-negara maju datang ke pulau-pulau yang dianggap memiliki nilai lokalitas yang kuat. Kebetulan bangsa Indonesia memiliki kebudayaan lokal dan tradisi yang kaya. Mereka pergi ke Solo, Yogya, Bali, Lombok, Papua untuk melihat dan belajar pada budaya setempat. Di kampus ISI Solo, ISI Yogyakarta dan ISI Denpasar setiap tahun selalu berdatangan mahasiswa asing yang belajar kesenian-kesenian tradisi di Indonesia, terutama seni tradisi Jawa dan Bali. Setelah lulus, mereka pulang ke negaranya dan membawa gamelan dan wayang ke negaranya. Di Inggris ada 50-an perangkat gamelan jawa lengkap. Di Amerika jumlahnya lebih banyak. Gamelan ada di kampus-kampus. Orang-orang asing memainkan wayang, tari saman, teater randai di gedung pertunjukan yang megah. Mungkin suatu saat kita akan belajar memainkan wayang ke mereka!

Kamis, 05 Januari 2012

Pemerintah dan Seniman

Oleh Ki Sulisno, S.Sn., M.A.

Barikin. Nama itu mudah dikenali. Kalau kita melewati jalan utama dari Banjarmasin menuju Kalimantan Timur, ada satu tempat yang di kanan-kiri jalan terdapat banyak penjual sapu-sapu ijuk. Itulah Barikin. Bagi para peminat seni tradisi Banjar, Barikin adalah gudangnya. Desa itu sering disebut desa budaya karena bermacam-macam kesenian Banjar: Wayang Kulit Banjar, Wayang Gung, dan bermacam-macam tari tradisi hidup di situ. Sayangnya, keadaan itu kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Seorang teman yang bekerja di bidang kepariwisataan bercerita kepada saya, saat lembaga pemerintah terkait hendak menyusun daftar tempat wisata di Kalimantan Selatan beserta agenda-agendanya, teman saya mengusulkan nama Barikin dimasukkan dalam daftar tempat yang layak dikunjungi. Usulan teman saya pun ditolak. Nama Barikin tidak dimasukkan dalam buku resmi kepariwisataan di Kalimantan Selatan.

Setahun lalu Barikin membuat berita hangat selama berminggu-minggu di Koran-koran lokal di Kalimantan Selatan. Berawal dari acara perayaan ulang tahun Kabupaten Hulu Sungai Tengah, di mana Barikin merupakan wilayah di dalamnya, lembaga pemerintah terkait tidak melibatkan seniman Barikin dalam perayaan tersebut. Seniman Barikin lalu memprotes pemerintah. Beberapa seniman Barikin dan seniman dari daerah lain yang bersimpati membuat tulisan di Koran. Berita dan tulisan tentang perseteruan seniman Barikin dengan pemerintah setempat pun berlangsung berminggu-minggu. Gubernur Kalimantan Selatan, Rudy Arifin, ikut turun tangan meminta pihak-pihak yang berseteru menyelesaikannya secara damai.

Keterlibatan gubernur Rudy Arifin menunjukkan meluasnya masalah tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud untuk ikut masuk dalam area perseteruan atau sok menjadi pahlawan yang mendamaikan dan menyelesaikan persoalan atau membangkitkan kembali persoalan yang sudah lama terjadi. Tetapi karena berita dan tulisan tentang masalah seniman Barikin dengan pemerintah setempat telah menyebar luas melalui media massa, maka peristiwa tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi daerah lain, baik seniman maupun pemerintah daerah.

Masalah seperti itu tidak hanya terjadi di Barikin. Entah diakui atau tidak, daerah-daerah lain pun pernah mengalami hal yang kurang lebih sama. Mungkin bedanya, jika di tempat lain umumnya orang hanya garunuman atau memendam perasaan, sementara di Barikin para senimannya melakukan demonstrasi, memboikot, dan para intelektual organiknya menulis di koran sehingga masalah semakin berkembang.

Ini menunjukkan tidak ada atau gagalnya komunikasi antara pemerintah setempat dengan seniman sebelum terjadinya peristiwa itu. Komunikasi diperlukan untuk menghindari kecurigaan, kesalahpahaman, maupun untuk memusyawarahkan berbagai kepentingan dalam acara tahunan yang digelar oleh pihak pemerintah daerah tersebut. Asumsinya, setiap keputusan, kebijakan dan tindakan tentu selalu dilandasi oleh niat yang dianggap baik oleh pelakunya. Pemerintah punya alasan, seniman juga punya alasan. Pemerintah memiliki kepentingan, seniman juga memiliki kepentingan. Diperlukan klarifikasi, sokur akan lebih baik jika ada penyelesaian atau jalan tengah, yang disepakati, atau minimal diketahui semua pihak supaya tidak berkembang menjadi konflik.

Pihak pemerintah perlu menjelaskan mengapa dalam perayaan hari jadi daerah melibatkan pihak tertentu dan tidak melibatkan pihak yang lain? Apa dasar pemilihannya; berdasar standar penampilan atau sekadar untuk pemerataan supaya  seniman yang tampil tidak hanya itu-itu saja? Ataukah ada alasan lain?

Dalam event-event pemerintah, dengan pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan citra pariwisata, pihak penyelenggara biasanya menentukan standar seniman penampil yang cenderung bersifat fisikly, misalnya, kalau melibatkan tarian maka penarinya diusahakan yang posturnya tinggi, berkulit putih, pakaian mewah dan glamor. Pemerintah punya dukungan dana untuk orientasi ini.

Tetapi standar-standar berdasarkan selera pemerintah tersebut juga bisa dipertanyakan oleh pihak seniman: apakah keindahan hanya ada di postur tubuh dan gemerlapnya pakaian atau justru lebih ditentukan oleh inner acting dan inner dancing, keindahan dari dalam jiwa senimannya? Para seniman daerah juga dapat mempersoalkan kehadiran artis musik pop atau dangdut dari Jakarta yang masih sering kita saksikan dalam perayaan hari jadi di berbagai daerah. Yang dipersoalkan tentu bukan asal geografisnya tetapi lebih kepada jenis keseniannya. Dalam event-event kedaerahan tentu kesenian tradisi dari daerah setempat perlu mendapat prioritas untuk ditampilkan. Para seniman daerah merasa memiliki hak untuk mempertanyakan berbagai kebijakan yang menyangkut daerahnya. Mereka menjadi bagian dari sebuah wilayah geografis dan budaya yang secara formal dikelola oleh pemerintah daerah.

Dan wilayah administratif formal satu daerah juga tidak harus berada dalam satu kotak wilayah kebudayaan yang berbeda atau terpisah dengan daerah lain. Salah satu event yang belum lama ini diselenggarakan di Martapura, yaitu pengukuhan raja Banjar, tidak hanya melibatkan seniman dari Kabupaten Banjar, tetapi juga dari Barikin dan Kota Banjarmasin. Batas administratif Kabupaten Banjar dengan wilayah kabupaten atau kota lain seolah lenyap dalam satu wilayah budaya Banjar.

Pertanyaan yang barangkali lebih penting untuk diajukan adalah: apakah sebuah tampilan kesenian dan pameran pembangunan yang menghiasi event-event kedaerahan itu sudah mewakili dan mencerminkan masyarakat yang sesungguhnya atau hanya wajah permukaan penuh rekayasa? Akan menjadi kekawatiran banyak pihak bila sebuah event berbeaya besar atas nama daerah hanya seremonial tanpa efek bagi masyarakat daerah setempat. Supaya tidak terjadi hal seperti itu tentu para tokoh masyarakat, tokoh adat, seniman, dan seluruh stakeholder perlu diajak bicara dalam setiap rencana kebudayaan yang dirancang oleh pemerintah.

Sekadar sebagai salah satu referensi atas masalah seniman Barikin dengan pihak pemerintah Hulu Sungai Tengah, ijinkan saya menunjukkan Festival Lima Gunung di Magelang, Jawa Tengah,. Festival rutin tahunan yang sudah berlangsung melewati satu dasawarsa, yang dimotori seorang seniman bernama Sutanto Mendut, pada awalnya merupakan tandingan dari Borobudur Internasional Festival (BIF) yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Jawa Tengah. Festival internasional yang diselenggarakan pemerintah dengan beaya besar dan didukung para seniman top lintas daerah dan lintas negara itu justru kalah besar (dalam ukuran jumlah peserta, jumlah penonton, gaung media massa dan efek langsungnya bagi masyarakat) dibandingkan dengan “festival swasta” yang diselenggarakan oleh masyarakat itu sendiri. Festival “kelas kampungan” yang melibatkan ribuan seniman masyarakat sekitar Candi Borobudur itu betul-betul menjadi festival rakyat yang membumi. Sumber dana, pelaku seni, sumber estetika seni maupun “penanggapnya” ditopang oleh swadaya masyarakat. Masyarakat seni terbangun tanpa harus meninggalkan profesi sebagai petani maupun profesi lainnya. Hanya dengan “panggung alam” di tanah-tanah lapang, para seniman dan penonton berbaur dengan sangat akrab. Perbedaan status sosial lenyap. Festival ini semakin lama justru semakin hidup. Mereka tidak takut krisis moneter dan ancaman bom yang selama ini menjadi momoknya industri pariwisata. Festival Lima Gunung justru hidup melalui kesederhanaan bentuk dan komunikasinya. Festival milik rakyat yang awalnya menjadi saingan festival milik pemerintah itu kemudian menjadi mitra dan kemudian kembali lagi menjadi festival rakyat yang seluruhnya ditopang oleh masyarakat. Festival Lima Gunung bahkan menolak mendapat bantuan dari pemerintah, sponsor maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Masyarakat sekitar Candi Borobudur pun semakin kaya budaya dan memiliki kemandirian.

Barikin memungkinkan untuk itu. Barikin sudah menjadi kampung seni yang dikenal luas. Partisipasi masyarakat sudah terbangun. Ekspresi keseniannya sudah memiliki karakter tersendiri. Tinggal kita menunggu daerah-daerah lain yang juga membangun komunitas-komunitas seni lalu bersama-sama membangun masyarakat berbudaya. Pemerintah diharapkan turut mendorong, menjadi fasilitator maupun mitra kerja. Jika tidak, masyarakat akan bertindak sendiri !


Tulisan ini pernah dimuat Koran Media Kalimantan awal tahun 2011.

Pendidikan Budaya Banjar di Sekolah

Oleh Ki Sulisno, S.Sn., M.A

Masyarakat dunia terpesona dengan karakter orang Jepang saat negeri sakura itu menghadapi bencana gempa dan tsunami beberapa waktu lalu.Orang Jepang mampu menunjukkan sebagai negara modern yang tetap menjaga nilai-nilai, semangat dan etika tradisi leluhurnya. Karakter itulah yang sesungguhnya membuat mereka bisa cepat mengatasi berbagai bencana alam dan bencana bom atom tahun 1945, sekaligusmengantarkan mereka menjadi bangsa yang diakui keunggulan teknologi dan budayanya.Karakter itu tidak berubah sedikit pun pada saat-saat sulit menghadapi bencana alam yang disertai radiasi nuklir. Sebuah harga diri yang sangat dijunjung tinggi.

Setiap kelompok masyarakat memiliki sistem hidup yang berbeda-beda sesuai dengan konteks lingkungan sosial, alam, cita rasa, pemikiran dan keyakinannya masing-masing. Inilah yang biasa disebut budaya, yang di dalamnya terdapat gagasan, keyakinan, sikap, perilaku, karakter beserta seperangkat nilai yangterbangun melalui endapan-endapan interaksi sosial yang berlangsung dalam jangka waktu panjang.Masyarakat Jepang memiliki semangat kesatria yang disebut boshido, India dengan prinsip kemandiriannya melalui swadesi. Setiap suku di Indonesia pun memiliki kearifan lokal yang dapat mengangkat harga diri suku bangsa itu, tak terkecuali suku Banjar. Meski budaya Banjar termasuk dalam kategori Melayu tetapi tidak bisa disamakan dengan Melayu di Sumatera dan Malaysia.

Budaya bukanlah sesuatu yang taken for granted, muncul dengan sendirinya. Selalu ada upaya untuk menanamkan dari generasi ke generasi berikutnya. Tidak jarang proses pewarisan ditolak oleh generasi muda karena dianggap budaya lama telah usang, ketinggalan jaman dan kehilangan konteksnya.

Kebudayaan juga bukanlah benda mati yang membeku dalam kotak-kotak tradisi. Jika konteks masyarakat terus berubah sementara sistem hidup tidak mengikutinya maka kebudayaan hanya akan menjadi seremonial yang tidak membumi. Ini bisa kita saksikan pada peristiwa-peristiwa adat yang telah kehilangan konteksnya yang sekadar menjadi souvenir pariwisata.

Tetapi perubahan budaya secara ekstrim juga dapat menimbulkan kegoncangan masyarakat.Karya-karya eksperimental, sikap dan tingkah laku yang di luar kebiasaan cenderung tidak dianggap sebagai bagian dari kebudayaan bersama. Ada pula subcultureyang biasanya muncul dalam bentuk gerakan perlawanan terhadap kebudayaan arus utama.

Tidak ada kebudayaan yang sempurna. Juga tidak ada sistem yang bisa berlaku sepanjang jaman. Karena kebudayaan hidup dalam kelompok masyarakat maka diperlukan pemahaman, kesadaran, sikap kritis, penyesuaian, redefinisi, revitalisasi dan kesepakatan secara terus-menerus sesuai dengan konteks masyarakatnya.

Lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, memiliki peran strategis untuk mewariskan sekaligus mengkritisi dan mengembangkan budaya sesuai dengan jaman. Nilai-nilai sosial dapat ditawarkan sejak anak-anak hingga dewasasebagai wawasan moral untuk bekal hidup di tengah masyarakat sekaligus membentuk karakter mereka.Keberhasilan sebuah pendidikan bukan semata-mata ditentukan oleh hapalan teori dan nilai ijasah. Yang lebih penting dari itu tentu saja adalah bagaimana orang yang keluar dari lembaga pendidikan mampu mengenal lingkungannya, memetakan persoalan yang ada di sekitarnya, lalu mengatasi persoalan tersebut sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Dengan kata lain, orang yang terdidik harus bisa hidup di tengah masyarakat dan berguna bagi perkembangan kemanusiaan dan peradaban.

Prosesnya pun bertahap sesuai dengan tingkatanperkembangan anak itu sendiri. Sejak anak usia dini mulai diperkenalkan budaya lokal melalui dongeng dan permainan tradisional yang biasanya selalu mengandung pesan moral sekaligus memupuk kebersamaan anak-anak. Pendidikan dasar dapat menjadi sarana untuk mengenalkanadat-istiadat masyarakat Banjar, artefak-artefak warisan leluhur beserta nilai-nilai di dalamnya. Pendidikan menengah mulai ditanamkan sikap kritis untuk menilai budaya-budaya yang baik dan tidak baik. Lalu pendidikan tinggi mulai bisa diorientasikan bagaimana mengaktualisasikan, mengkontekstualisasikan dan membangun budaya Banjar pada masa sekarang dan yang akan datang.

Gagalnya pendidikan budaya di sekolah selama ini adalah karena sebatas mengenalkan peninggalan-peninggalan masa lalu: adat-istiadat, bahasa daerah, lagu-lagu daerah,dan sejarah para tokoh yang berujung pada pelestarian dan bahkan pemujaanmasa lalu. Bagaimana membangun budaya masa depan dengan bertolak dari yang sudah ada tidak pernah tersentuh dalam kurikulum sekolah. Semakin tinggi pendidikan formal seseorang juga justru cenderung semakin tercerabut dari akar budaya lokal leluhurnya.

Remaja Banjar dengan anak-anak muda di lain tempat nyaris seragam dalam hal cara berpakaian, gaya bahasa, materi pembicaraan, selera musikhingga orientasi hidupnya yang tidak jauh dari siaran televisidari Jakarta yang tak henti-hentinya mengadopsi budaya Amerika. Anak-anak sekolah arogan dengan sesuatu yang bercirilokal, masa lalu dan tradisi. Pelajaran kesenian dan sastra daerah diremehkan. Ini juga akibat dari sistem pendidikan nasional yang masih berorientasi pada nilai ujian akhir nasional yang tidak pernah memberi perhatian cukup pada budaya lokal.

Pengertian budaya pun sering tereduksi sebatas pada seni dan sastra. Bidang pengetahuan lain semacam ilmu pengetahuan alam, ekonomi, teknologiseolah menjadi disiplin yang bisa berdiri sendiri tanpa perlu tambahan wawasan budaya. Dampak dari pendidikan semacam itu adalah lahirnya manusia-manusia yang memandang masyarakat semata-mata sebagai angka-angka yang bahkan bisa dieksploitasi sedemikian rupa untuk menghasilkan lembaran-lembaran rupiah bagi dirinya sendiri. Pengetahuan pun sekadar menjadi semacam dogma yang tidak membumi.

Salah satu yang menonjol dari masyarakat Banjar adalah religiusitasnya. Agama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas pendudukmuncul begitu dominan dalam berbagai simbol kemasyarakatan. Bagaimana agar nilai-nilai Islam yang telah dianggap sebagai bagian dari budaya Banjar bukan sekadar identitas yang sifatnya luar saja, tetapi juga menjadi spirit yang meresap dalam perilaku sehari-hari dalam kegiatan ekonomi, politik, pemerintahan. Menjadi titik tolak ke arah kemajuan sekaligus kebaikan. Spiritual diperlukan di tengah arus jaman yang semakin berorientasi materi dan sesuatu yang sifatnya artifisial. Manusia di desa-desa pun semakin individual. Integrasi sosial terus melemah.

Budaya Banjar masih menjadi sesuatu yang dijalani. Rumah lanting, pasar terapung, baayun dan berbagai budaya Banjar lainnyamasih perlu dikembangkan lagisesuai dengan konteks kekinian. Bukan sekadar untuk pariwisata.Yang lebih pentingadalah bagaimana budaya dapat menjadi wahana masyarakat mengetahui lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, menemukan jati dirinya, dan mengatasi berbagai persoalan hidup dengan cara khas orang Banjar sesuai karakter yang dimilikinya.

Tulisan ini dimuat Koran Banjarmasin Post tanggal 4 April 2011.

Rabu, 04 Januari 2012

Pelestarian Kesenian Tradisi Banjar dan Anugerah Budaya

Oleh Ki Sulisno, S.Sn., M.A

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sejak tahun 2009 memberikan penghargaan terhadap sejumlah seniman tradisi di wilayah itu. Acara yang selalu digelar pada bulan Desember di Taman Budaya Kalimantan Selatan di Banjarmasin itu juga disertai pentas kesenian Banjar yang hampir punah. Sayangnya, acara itu semakin lama semakin kehilangan gaung. Dalam penyelenggaraan tahun 2011 kemarin, entah karena faktor hujan yang mengguyur Kota Seribu Sungai itu atau karena faktor lain, acara sepi pengunjung.

Untuk apa kesenian tradisi yang sudah tidak lagi diminati masyarakat ditampilkan lagi? Apakah sebuah penghargaan akan mampu menghidupkan kesenian tradisi itu sendiri ?

Masalah kesenian tradisi yang terancam punah merupakan masalah klise yang terjadi di hampir semua tempat. Modernitas dengan segala produk dan efek globalitasnya sering dianggap sebagai sumber masalah ini. Tetapi di Bali justru sebaliknya. Globalisasi, dengan efek keseragaman budaya yang sering dikhawatirkan itu, di sisi lain justru menjadikan perbedaan lokalitas semakin berharga. Lihat saja jutaan orang dari berbagai belahan dunia setiap tahun datang ke Bali untuk melihat budaya lokal yang khas di sana. Selain faktor utama dari hidupnya kesenian tradisi di Bali adalah menjadi bagian dari agama, industri pariwisata juga turut menopang kelestarian dan perkembangan kesenian tradisi, baik yang sakral maupun yang profan.

Jika masyarakat meninggalkan kesenian tradisi, dua kemungkinan yang bisa diajukan: pertama, karena tidak mengenal, kedua, karena kesenian yang bersangkutan tidak menarik.

Pengenalan kesenian tradisi memang perlu dilakukan terus-menerus di sekolah-sekolah maupun pentas-pentas di ruang publik dengan dukungan berbagai instansi terkait. Setelah mengenal, barulah pertanyaan berikutnya bisa dilontarkan: orang tertarik atau tidak dengan kesenian yang masih menjadi bagian dari identitas kedaerahannya tersebut?

Sebuah kesenian tradisi dapat dikatakan lestari jika ditopang oleh masyarakat pemiliknya dan menjadi bagian dari kehidupan warga; dipakai dalam kegiatan-kegiatan sunatan, pernikahan, dan kegiatan social lainnya. Bila ternyata acara-acara tersebut tidak melibatkan kesenian tradisi maka itu artinya kesenian tradisi sudah tercerabut dari akarnya di tengah masyarakat.

Kepunahan sebuah kesenian tradisi sering dikhawatirkan banyak pihak. Pertama, karena kesenian tradisi mencerminkan identitas kedaerahan. Identitas dipandang penting terutama dari sudut pandang ‘politis’ maupun ‘pasar’. Dinas Pariwisata tentu tidak akan mampu ‘menjual’ aset-aset kesenian tradisi di Kalimantan Selatan jika tidak ada yang khas. Kedua, kesenian tradisi biasanya bukan semata-mata kesenian untuk hiburan. Ada filosofi dan nilai-nilai di balik keindahan gerak, ekspresi, maupun alunan nada dalam kesenian tradisi. Dengan seni tradisi kita bisa belajar banyak tentang suatu masyarakat pada suatu masa: bahasanya, sejarahnya, cita rasa keindahannya, nilai yang diyakininya, dan sebagainya.

Persoalannya sekarang, bagaimana supaya arti penting seni tradisi itu tidak hilang tetapi pertunjukannya juga menarik? Inilah pe-er seluruh pemangku budaya di Kalimantan Selatan. Perlu dibangun infrastruktur dan berbagai kebijakan untuk itu. Pengenalan kepada generasi muda dapat dilakukan, di antaranya, dengan memberikan apresiasi di sekolah-sekolah. Setelah itu dapat saja diselenggarakan festival kesenian-kesenian Kalimantan Selatan untuk kalangan pelajar dan remaja. Festival yang selama ini pernah diselenggarakan tampaknya belum memiliki keunikan, gaung dan dampak yang cukup signifikan. Berbeda, misalnya, dengan Jember Fashion Carnival di kota Jember, Solo Batik Carnival di Solo, dan Festival Lima Gunung di Magelang, yang juga melibatkan peserta para pelajar tetapi memiliki gaung di tingkat internasional.

Kesenian-kesenian tradisi yang tidak lagi diminati perlu dikembangkan lagi atau diciptakan versi lain dalam wujud karya kreasi, baik kreasi yang dilakukan secara menyeluruh maupun diambil dari salah satu bagian saja. Kita bisa menoleh, misalnya, pada tarian Bambang-Cakil di Jawa yang diambil dari wayang orang, yang telah berevolusi sedemikian rupa sehingga semakin lama semakin menarik dan semakin hidup meskipun wayang orangnya sendiri sudah mati suri. Setiap kali tarian Bambang-Cakil dipentaskan maka pada saat itu pula orang akan teringat kesenian wayang orang. Dalam Mamanda, Japin Carita, Wayang Gung, Balamut, dan topeng Banjar barangkali terdapat bagian-bagian yang bisa digarap secara terpisah untuk menjadi karya-karya masterpiece.

Persoalan pertama yang sering menjadi pertimbangan dalam pengembangan kesenian tradisi adalah masalah pakem. Pakem adalah pola-pola yang menjadi acuan kerangka pertunjukan seni. Dalam pertunjukan teater, pakem di antaranya terwujud dalam garis besar cerita pertunjukan. Karena pakem hanya berupa pola maka semestinya tetap memberikan peluang untuk melakukan kreasi. Alur cerita dalam pertunjukan teater bisa saja dirubah-rubah supaya lebih menarik. Yang penting inti ceritanya tetap sama. Bagaimana bentuk-bentuk kesenian dapat terus dikembangkan dan diperbarui tanpa meninggalkan pakem-pakem yang sifatnya fundamental?

Masalahnya lagi, keengganan merubah pakem sering dikaitkan dengan masalah kesenian yang dianggap sakral. Kesenian menjadi sakral ketika menjadi bagian dari sebuah keyakinan. Sakralitas mestinya lebih menyangkut tujuan penyelenggaraan kesenian dan hal-hal yang sifatnya substansial, bukan teknis pertunjukan.

Keyakinan-keyakinan lama yang menjadi bagian dari kesenian tradisi itu juga terus-menerus berhadapan dengan keyakinan-keyakinan baru, terutama yang bersumber dari agama-agama Timur Tengah dan Barat, yang kadangkala hubungannya harmonis tetapi kadangkala juga timbul saling curiga. Masyarakat Kalimantan Selatan yang mayoritas muslim saat ini tampaknya juga kurang menerima kesenian-kesenian tradisi yang disertai dengan ritual-ritual yang masih memakai sesaji. Diperlukan kelenturan sikap seperti yang pernah dilakukan para wali saat menyebarkan agama Islam dengan memakai kesenian yang berasal dari penganut kesenian sebelumnya.

Perlu perjuangan panjang untuk mengembangkan kesenian tradisi hingga menjadi lebih menarik tetapi juga tidak kehilangan akar, identitas dan nilai-nilai masyarakatnya. Yang bisa melakukan itu tentu saja para seniman Kalimantan Selatan sendiri. Ide-ide perubahan dan pengembangkan biasanya sering muncul dari para seniman-seniman muda. Dan perubahan juga mengandung mengandung berbagai resiko. Oleh karena itu ketokohan orang-orang yang telah mendapat anugerah budaya diperlukan untuk mendampingi semangat anak-anak muda itu. Apakah para tokoh kesenian di Kalimantan Selatan siap mengawal perkembangan yang dilakukan anak-anak muda??

Kebudayaan Lokal di Tengah Kebudayaan Populer-Sekuler

Ki Sulisno 

Sejumlah kelompok dan ormas di Banjarmasin saat ini masih giat memerjuangkan kebudayaan Banjar, baik melalui forum diskusi atau konggres, atau opini di media massa. Saya meyakini forum-forum itu sangat berguna, terutama bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, minimal membuka kesadaran bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, sempurna dan final. 

Mampukah kegiatan semacam itu menyelamatkan dan membawa kebudayaan Banjar secara keseluruhan menjadi lebih baik?

Konstruksi bangunan kebudayaan dibentuk oleh komunitas besar yang setiap orang di dalamnya memiliki andil sekaligus terlibat. Apakah kelompok dan forum yang mengatasnamakan kebudayaan Banjar itu sudah mewakili seluruh elemen masyarakat Banjar? Sebatas pengamatan saya, forum-forum kebudayaan biasanya lebih diminati para seniman dan sastrawan, padahal kebudayaan bukan hanya kesenian dan sastra.  

Kebudayaan melingkupi seluruh aspek kehidupan dan terefleksikan lebih banyak melalui aktivitas sehari-hari masyarakat daripada di atas kertas. Meminjam definisinya para ilmuwan, kebudayaan mencakup tingkah laku, pola-pola keyakinan dan semua produk dari kelompok manusia tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Produk itu merupakan hasil dari interaksi antara kelompok manusia dan lingkungan dalam waktu yang panjang. Budaya terdiri dari gambaran mengenai bagaimana segala sesuatu seharusnya terjadi, nilai-nilai, asumsi-asumsi mengenai hidup yang memberikan tuntunan dalam tingkah laku manusia. 

Ada otoritas-otoritas yang membentuk dan mengendalikan jalannya kebudayaan. Di Banjar, pemegang otoritas itu di antaranya yaitu para ulama, tokoh masyarakat, media massa, teknokrat dan para seniman-sastrawan senior. Mereka adalah para elit yang memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat akar rumput (grass root). Dari merekalah jiwa kebudayaan mengalir sekaligus mendapatkan legitimasi. 

Sayangnya, para pemangku otoritas ini terkesan tercerai-berai, masing-masing asyik pada dunianya sendiri, tidak saling menengok, apalagi bekerja sama membangun kebudayaan Banjar.  Seni, agama, politik, teknologi, lingkungan diletakkan dalam bidang-bidang yang otonom, berdiri sendiri, seolah-olah tidak memiliki hubungan satu sama lain dan bahkan perlahan-lahan akarnya dicerabut dari kehidupan masyarakat yang begitu kompleks dan beraneka warna.

Dewasa ini semua kebudayaan daerah menghadapi persoalan yang hampir sama, yaitu terpinggirkan oleh kebudayaan nasional dan global. Kebudayaan nasional terdiri atas kebudayaan ‘resmi’ yang diciptakan oleh lembaga pemerintah di Jakarta beserta agen-agennya di daerah, dan kebudayaan nasional ‘tidak resmi’ yang dikendalikan industri media massa yang juga berpusat di Jakarta. Di sisi yang lain, kebudayaan global juga memiliki dua arus, yaitu budaya populer-sekuler anak kandung politik-industri Amerika, dan kebudayaan yang menyertai agama-agama global (terutama Islam dan Nasrani).  Masing-masing arus kebudayaan memiliki karakter dan misi berbeda.

Kebudayaan industri-populer, baik nasional maupun global, menjadi arus besar yang mengalir melalui media massa, di antaranya televisi yang masuk langsung ke ruang-ruang keluarga. Sayangnya, kebudayaan produk media massa ini tidak mengakar dalam kehidupan nyata masyarakat dan bahkan cenderung melupakan kehidupan sehari-hari. Kebudayaan tidak lebih sekadar komoditi yang diperdagangkan. Materialisme budaya meminggirkan kearifan-kearifan lokal dan menafikkan cita rasa dan konteks masyarakat yang beragam.

Arus kebudayaan industri-populer yang begitu derasnya tidak memberi kesempatan pada masyarakat untuk melokalisasi, sebagaimana yang pernah berlangsung pada jaman dulu. Hal itu  sekaligus memperlemah kemampuan masyarakat untuk mengadaptasi ke dalam konteks lokal. Akibatnya, gerakan purifikasi yang justru muncul semakin menguat. Kita semakin susah membedakan Islamisasi dengan Arabisasi, Nasionalisasi dengan Jakartanisasi, dan Globalisasi yang diidentikkan dengan Amerikanisasi

Inilah yang membuat banyak kalangan, terutama para pemangku adat di daerah-daerah, merasa prihatin. Anak-anak muda yang sesungguhnya merupakan korban dari komersialisasi budaya melalui media massa itu justru dikambinghitamkan sebagai anak durhaka yang tidak mampu melestarikan budaya leluhur dan mempertahankan sesuatu yang dianggap berharga. Banyak orang cepat bereaksi secara emosional saat nilai-nilai budaya dilanggar atau harapan budaya diabaikan.

Kita sering terjebak pada pelestarian budaya. Budaya seolah-olah hanya masa lalu, artefak-artefak peninggalan sejarah. Padahal kita hidup di jaman yang terus berubah dan tidak mungkin kembali ke masa lalu. Meyakini bahwa apa yang ada di dalam budayanya adalah baik, sempurna, dan tidak bisa lagi diutak-atik hanya akan membawa seseorang pada romantisme masa lalu yang semu. 

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Bukan soal perubahan itu sendiri yang perlu dikhawatirkan, tetapi bagaimana kebudayaan terus berkembang lebih baik dan tidak lepas dari akarnya. Lokalitas memiliki arti penting di tengah asumsi homogenisasi budaya dalam globalisasi yang seolah-olah hanya bergerak searah dari pusat-pusat teknologi-industri ke daerah-daerah yang kurang maju.

Salah satu jalan untuk membangun kebudayaan Banjar di masa sekarang dan yang akan datang dapat ditempuh melalui restrukturisasi. Seniman, arsitek, agamawan, dan seluruh elemen masyarakat Banjar membangun strukturnya masing-masing dengan tetap berpijak pada lingkungan dan cita rasa lokal Banjar. 

Lembaga budaya masa lalu seperti Kerajaan Banjar sudah sejak lama tidak ada. Perlu ditinjau kembali apakah masih relevan meletakkan dasar budaya aristokrasi di dalam masyarakat Banjar yang telah masuk dalam peradaban modern-demokratis. Walaupun Kesultanan Banjar saat ini nampak dihidupkan kembali tetapi akan sangat sulit melakukan restorasi ataupun revitalisasi budaya Banjar masa lalu di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, yang infrastrukturnya sudah terbangun lebih baik. Harapan kita bersama, Kesultanan Banjar beserta kelompok dan ormas yang masih giat menyelenggarakan forum-forum budaya itu dapat menjadi sebuah gerakan budaya bersama ke arah yang lebih baik, yang terbebas dari gerakan politik praktis maupun sekadar ajang romantisme masa lalu.

Tulisan ini dimuat koran Banjarmasin Post tanggal 14 November 2011