Rabu, 04 Januari 2012

Kebudayaan Lokal di Tengah Kebudayaan Populer-Sekuler

Ki Sulisno 

Sejumlah kelompok dan ormas di Banjarmasin saat ini masih giat memerjuangkan kebudayaan Banjar, baik melalui forum diskusi atau konggres, atau opini di media massa. Saya meyakini forum-forum itu sangat berguna, terutama bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, minimal membuka kesadaran bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, sempurna dan final. 

Mampukah kegiatan semacam itu menyelamatkan dan membawa kebudayaan Banjar secara keseluruhan menjadi lebih baik?

Konstruksi bangunan kebudayaan dibentuk oleh komunitas besar yang setiap orang di dalamnya memiliki andil sekaligus terlibat. Apakah kelompok dan forum yang mengatasnamakan kebudayaan Banjar itu sudah mewakili seluruh elemen masyarakat Banjar? Sebatas pengamatan saya, forum-forum kebudayaan biasanya lebih diminati para seniman dan sastrawan, padahal kebudayaan bukan hanya kesenian dan sastra.  

Kebudayaan melingkupi seluruh aspek kehidupan dan terefleksikan lebih banyak melalui aktivitas sehari-hari masyarakat daripada di atas kertas. Meminjam definisinya para ilmuwan, kebudayaan mencakup tingkah laku, pola-pola keyakinan dan semua produk dari kelompok manusia tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Produk itu merupakan hasil dari interaksi antara kelompok manusia dan lingkungan dalam waktu yang panjang. Budaya terdiri dari gambaran mengenai bagaimana segala sesuatu seharusnya terjadi, nilai-nilai, asumsi-asumsi mengenai hidup yang memberikan tuntunan dalam tingkah laku manusia. 

Ada otoritas-otoritas yang membentuk dan mengendalikan jalannya kebudayaan. Di Banjar, pemegang otoritas itu di antaranya yaitu para ulama, tokoh masyarakat, media massa, teknokrat dan para seniman-sastrawan senior. Mereka adalah para elit yang memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat akar rumput (grass root). Dari merekalah jiwa kebudayaan mengalir sekaligus mendapatkan legitimasi. 

Sayangnya, para pemangku otoritas ini terkesan tercerai-berai, masing-masing asyik pada dunianya sendiri, tidak saling menengok, apalagi bekerja sama membangun kebudayaan Banjar.  Seni, agama, politik, teknologi, lingkungan diletakkan dalam bidang-bidang yang otonom, berdiri sendiri, seolah-olah tidak memiliki hubungan satu sama lain dan bahkan perlahan-lahan akarnya dicerabut dari kehidupan masyarakat yang begitu kompleks dan beraneka warna.

Dewasa ini semua kebudayaan daerah menghadapi persoalan yang hampir sama, yaitu terpinggirkan oleh kebudayaan nasional dan global. Kebudayaan nasional terdiri atas kebudayaan ‘resmi’ yang diciptakan oleh lembaga pemerintah di Jakarta beserta agen-agennya di daerah, dan kebudayaan nasional ‘tidak resmi’ yang dikendalikan industri media massa yang juga berpusat di Jakarta. Di sisi yang lain, kebudayaan global juga memiliki dua arus, yaitu budaya populer-sekuler anak kandung politik-industri Amerika, dan kebudayaan yang menyertai agama-agama global (terutama Islam dan Nasrani).  Masing-masing arus kebudayaan memiliki karakter dan misi berbeda.

Kebudayaan industri-populer, baik nasional maupun global, menjadi arus besar yang mengalir melalui media massa, di antaranya televisi yang masuk langsung ke ruang-ruang keluarga. Sayangnya, kebudayaan produk media massa ini tidak mengakar dalam kehidupan nyata masyarakat dan bahkan cenderung melupakan kehidupan sehari-hari. Kebudayaan tidak lebih sekadar komoditi yang diperdagangkan. Materialisme budaya meminggirkan kearifan-kearifan lokal dan menafikkan cita rasa dan konteks masyarakat yang beragam.

Arus kebudayaan industri-populer yang begitu derasnya tidak memberi kesempatan pada masyarakat untuk melokalisasi, sebagaimana yang pernah berlangsung pada jaman dulu. Hal itu  sekaligus memperlemah kemampuan masyarakat untuk mengadaptasi ke dalam konteks lokal. Akibatnya, gerakan purifikasi yang justru muncul semakin menguat. Kita semakin susah membedakan Islamisasi dengan Arabisasi, Nasionalisasi dengan Jakartanisasi, dan Globalisasi yang diidentikkan dengan Amerikanisasi

Inilah yang membuat banyak kalangan, terutama para pemangku adat di daerah-daerah, merasa prihatin. Anak-anak muda yang sesungguhnya merupakan korban dari komersialisasi budaya melalui media massa itu justru dikambinghitamkan sebagai anak durhaka yang tidak mampu melestarikan budaya leluhur dan mempertahankan sesuatu yang dianggap berharga. Banyak orang cepat bereaksi secara emosional saat nilai-nilai budaya dilanggar atau harapan budaya diabaikan.

Kita sering terjebak pada pelestarian budaya. Budaya seolah-olah hanya masa lalu, artefak-artefak peninggalan sejarah. Padahal kita hidup di jaman yang terus berubah dan tidak mungkin kembali ke masa lalu. Meyakini bahwa apa yang ada di dalam budayanya adalah baik, sempurna, dan tidak bisa lagi diutak-atik hanya akan membawa seseorang pada romantisme masa lalu yang semu. 

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Bukan soal perubahan itu sendiri yang perlu dikhawatirkan, tetapi bagaimana kebudayaan terus berkembang lebih baik dan tidak lepas dari akarnya. Lokalitas memiliki arti penting di tengah asumsi homogenisasi budaya dalam globalisasi yang seolah-olah hanya bergerak searah dari pusat-pusat teknologi-industri ke daerah-daerah yang kurang maju.

Salah satu jalan untuk membangun kebudayaan Banjar di masa sekarang dan yang akan datang dapat ditempuh melalui restrukturisasi. Seniman, arsitek, agamawan, dan seluruh elemen masyarakat Banjar membangun strukturnya masing-masing dengan tetap berpijak pada lingkungan dan cita rasa lokal Banjar. 

Lembaga budaya masa lalu seperti Kerajaan Banjar sudah sejak lama tidak ada. Perlu ditinjau kembali apakah masih relevan meletakkan dasar budaya aristokrasi di dalam masyarakat Banjar yang telah masuk dalam peradaban modern-demokratis. Walaupun Kesultanan Banjar saat ini nampak dihidupkan kembali tetapi akan sangat sulit melakukan restorasi ataupun revitalisasi budaya Banjar masa lalu di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, yang infrastrukturnya sudah terbangun lebih baik. Harapan kita bersama, Kesultanan Banjar beserta kelompok dan ormas yang masih giat menyelenggarakan forum-forum budaya itu dapat menjadi sebuah gerakan budaya bersama ke arah yang lebih baik, yang terbebas dari gerakan politik praktis maupun sekadar ajang romantisme masa lalu.

Tulisan ini dimuat koran Banjarmasin Post tanggal 14 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar