Selasa, 10 Januari 2012

Lokalitas di Tengah Globalisasi

Oleh Ki Sulisno, S.Sn., M.A.

Banyak orang khawatir dengan masuknya produk-produk Cina di pasaran. Petani, pembuat tempe, penanam kedelai, penjahit baju, pengrajin sandal, pembatik, peternak gelisah. Pembeli yang uangnya pas-pasan jelas akan lebih memilih barang yang lebih murah. Bagaimana mungkin barang yang diimpor, dengan beaya perjalanan dari tempat yang jauh di luar negeri dan saat masuk wilayah negara dikenai beaya pajak, bisa dijual lebih murah dari produk lokal?

Cina memang hebat. Mereka bisa membuat hampir semua produk di pasar. Meniru memang lebih mudah daripada menciptakan. Meski barang tiruan umumnya tidak lebih baik dari barang aslinya, tetapi tetap saja mampu menggiurkan sebagian orang melalui kompensasi harga yang lebih murah. Dengan mengandalkan keahlian berdagang orang-orang Cina menjelajah dunia. Mereka ada di mana-mana. Mereka tetap menjadi "Cina" meskipun ada di Amerika, Indonesia, Arab Saudi, dan wilayah manapun yang memungkinkan bisa mendapatkan uang. Mereka berada di pusat-pusat perkotaan. Mereka mengendalikan laju ekonomi.

Muslim dari seluruh dunia yang pulang dari naik haji membawa oleh-oleh: sajadah, kopyah, baju koko, tasbih. Kita memakai benda-benda itu dengan bangga dan berharap mudah-mudahan ada berkah yang menyertai, karena berasal dari tanah suci Mekah. Bukankah masyarakat kita memang mudah sekali mengkultuskan sesuatu? Benda-benda sering dipandang bukan pada materialnya, tempat diyakini bukan sekadar geografi, bahkan tahi kebo pun bisa dianggap memiliki kesaktian hanya karena berasal dari keraton. Tentu saja sajadah yang dibeli di tanah suci dianggap lebih istimewa daripada yang berasal dari Tanah Abang, meski sama-sama ada tulisan: Made in China. 


Pembuat sajadah itu sendiri belum tentu menganut Islam. Bagi pedagang, barang semata-mata sebagai sumber keuntungan. Terlepas bagi orang lain sebuah produk ditentukan nilainya dari fungsi praktis atau kemudian benda-benda ditempeli dengan pencitraan, bahkan ideology, itu bukan persoalan yang merisaukan pedagang. Keuntungan ekonomilah yang lebih penting, karena ekonomi jelas lebih riil. Orang perlu makan. Orang perlu duwit. (Apalagi jika hidup di Indonesia yang segala sesuatunya bisa dibeli: keadilan bisa dibeli, nama baik bisa dibeli, citra sebagai orang yang religius mudah ditempelkan lewat pakaian. Pokoknya apapun bisa ditukar dengan uang.)

Ekonomi melahirkan globalisasi. Dasar manusia serakah. Selalu saja tidak pernah puas. Selalu ingin menumpuk kekayaan. Selalu ingin menambah modal. Hukum alam berlaku: siapa memiliki modal ekonomi besar, maka ia akan mampu menguasai dunia. Sumber-sumber pundi ekonomi dicari, dibuat dan disebarkan ke seluruh tempat yang memungkinkan bisa dijangkau. Perusahaan-perusahaan di Jakarta menyebarkan jaring ke seluruh pelosok negeri. Pebisnis di Amerika menebar jala ke seluruh penjuru dunia.

Kapitalisme ada di mana-mana tetapi pemilik modal besar hanya segelintir orang saja. Segelintir orang inilah yang mendirikan pabrik di mana-mana, supermarket di mana-mana, pasar di mana-mana dan menguasai media massa sebagai pengendali. Dunia dikuasai oleh beberapa orang saja.

Produk-produk pertanian, kesenian, adat-istiadat, agama dan apa pun dikemas lalu dijual. Alat-alat komunikasi, alat untuk memasak, merias wajah, hingga alat untuk “bercinta” diciptakan. Barangnya diciptakan dulu baru kemudian kebutuhan dan keinginan didorong melalui iklan. Barang-barang kemasan produk pabrik dibuat dan disebarluaskan hingga pelosok-pelosok kampung. Maka menyebarlah produk-produk konsumtif yang diseragamkan itu. Jadilah dunia yang seragam. Orang dari latarbelakang sosial-budaya yang berbeda-beda memakai pakaian yang nyaris seragam, menggunakan alat-alat yang seragam,  bertingkah laku nyaris seragam, hingga berpikir dengan mindset yang sama.

Budaya pop pun dilahirkan oleh globalisasi. Makanan cepat saji, music yang easylistening, jalan-jalan ke mall menjadi gaya hidup. Film Hollywood, Jeans, KFC menjadi sesuatu yang begitu akrab.

Saat globalisasi, dengan teknologi pendukungnya, sudah masuk mewabah, banyak orang pesimis terhadap nasib kebudayaan-kebudayaan lokal. Kesenian-kesenian tradisi di negara berkembang dilindas kesenian-kesenian baru produk industri, yang merupakan anak kandung globalisasi. Dan sekarang terbukti, berapa banyak orang mengenal lagu Ketawang Puspawarna dengan diiringi gamelan Jawa dan berapa banyak orang mengenal music pop? Siapa yang tahu bahwa suara gamelan Jawa yang memainkan lagu Ketawang Puspawarna merupakan satu di antara delapan musik “kelas dunia” yang dipilih oleh lembaga luar angkasa Amerika Serikat, NASA, dalam “misi kebudayaan” tahun 1970-an? Delapan lagu dari berbagai negara tersebut dikirim ke beberapa planet luar angkasa untuk memanggil dan menunjukkan karya agung makhluk dunia kepada makhluk luar angkasa (seandainya ada). Lagu-lagu tersebut akan terus menerus berbunyi hingga ratusan tahun. Selain Ketawang Puspawarna, karya sastra La Galigo dari Sulawesi, wayang, randai dan tari kecak adalah sedikit contoh dari karya budaya lokal nusantara yang sudah terkenal di tingkat dunia.


Di tengah arus besar yang cenderung menjadikan segala sesuatunya cenderung seragam itu, saat ini nampaknya sebagian orang sesungguhnya sudah mulai jenuh dengan budaya pop. Banyak orang yang menganggap kebudayaan pop cenderung membawa ke sebuah pembodohan massal. Joost Smiers, dalam buku Arts Under Pressure, menyebutkan bahwa budaya pop tidak mengkayakan tetapi justru memiskinkan. Ia menyarankan perlunya memperjuangkan keanekaragaman budaya di era globalisasi.

Peluang terbuka bagi para seniman-seniman tradisi, terutama yang berada di wilayah-wilayah pusat tradisi seperti Solo, Yogyakarta dan Bali. Di wilayah-wilayah ini terdapat sejumlah seniman yang sudah terbiasa pentas di luar negeri. Tentu hal itu tidak akan terjadi jika mereka memainkan musik pop.

Orang yang sudah jenuh dengan budaya pop semakin besar jumlahnya, termasuk orang-orang di pusat-pusat globalisasi itu sendiri. Dalam kecenderungan keseragaman budaya global, orang terus mencari sesuatu yang berbeda, unik, tidak ada di tempat lain. Kebudayaan-kebudayaan lokal menjadi salah satu harapan. Orang-orang dari negara-negara maju datang ke pulau-pulau yang dianggap memiliki nilai lokalitas yang kuat. Kebetulan bangsa Indonesia memiliki kebudayaan lokal dan tradisi yang kaya. Mereka pergi ke Solo, Yogya, Bali, Lombok, Papua untuk melihat dan belajar pada budaya setempat. Di kampus ISI Solo, ISI Yogyakarta dan ISI Denpasar setiap tahun selalu berdatangan mahasiswa asing yang belajar kesenian-kesenian tradisi di Indonesia, terutama seni tradisi Jawa dan Bali. Setelah lulus, mereka pulang ke negaranya dan membawa gamelan dan wayang ke negaranya. Di Inggris ada 50-an perangkat gamelan jawa lengkap. Di Amerika jumlahnya lebih banyak. Gamelan ada di kampus-kampus. Orang-orang asing memainkan wayang, tari saman, teater randai di gedung pertunjukan yang megah. Mungkin suatu saat kita akan belajar memainkan wayang ke mereka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar