Oleh Ki Sulisno, S.Sn., M.A.
Barikin. Nama itu mudah dikenali. Kalau kita melewati jalan utama dari Banjarmasin menuju Kalimantan Timur, ada satu tempat yang di kanan-kiri jalan terdapat banyak penjual sapu-sapu ijuk. Itulah Barikin. Bagi para peminat seni tradisi Banjar, Barikin adalah gudangnya. Desa itu sering disebut desa budaya karena bermacam-macam kesenian Banjar: Wayang Kulit Banjar, Wayang Gung, dan bermacam-macam tari tradisi hidup di situ. Sayangnya, keadaan itu kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Seorang teman yang bekerja di bidang kepariwisataan bercerita kepada saya, saat lembaga pemerintah terkait hendak menyusun daftar tempat wisata di Kalimantan Selatan beserta agenda-agendanya, teman saya mengusulkan nama Barikin dimasukkan dalam daftar tempat yang layak dikunjungi. Usulan teman saya pun ditolak. Nama Barikin tidak dimasukkan dalam buku resmi kepariwisataan di Kalimantan Selatan.
Setahun lalu Barikin membuat berita hangat selama berminggu-minggu di Koran-koran lokal di Kalimantan Selatan. Berawal dari acara perayaan ulang tahun Kabupaten Hulu Sungai Tengah, di mana Barikin merupakan wilayah di dalamnya, lembaga pemerintah terkait tidak melibatkan seniman Barikin dalam perayaan tersebut. Seniman Barikin lalu memprotes pemerintah. Beberapa seniman Barikin dan seniman dari daerah lain yang bersimpati membuat tulisan di Koran. Berita dan tulisan tentang perseteruan seniman Barikin dengan pemerintah setempat pun berlangsung berminggu-minggu. Gubernur Kalimantan Selatan, Rudy Arifin, ikut turun tangan meminta pihak-pihak yang berseteru menyelesaikannya secara damai.
Keterlibatan gubernur Rudy Arifin menunjukkan meluasnya masalah tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud untuk ikut masuk dalam area perseteruan atau sok menjadi pahlawan yang mendamaikan dan menyelesaikan persoalan atau membangkitkan kembali persoalan yang sudah lama terjadi. Tetapi karena berita dan tulisan tentang masalah seniman Barikin dengan pemerintah setempat telah menyebar luas melalui media massa, maka peristiwa tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi daerah lain, baik seniman maupun pemerintah daerah.
Masalah seperti itu tidak hanya terjadi di Barikin. Entah diakui atau tidak, daerah-daerah lain pun pernah mengalami hal yang kurang lebih sama. Mungkin bedanya, jika di tempat lain umumnya orang hanya garunuman atau memendam perasaan, sementara di Barikin para senimannya melakukan demonstrasi, memboikot, dan para intelektual organiknya menulis di koran sehingga masalah semakin berkembang.
Ini menunjukkan tidak ada atau gagalnya komunikasi antara pemerintah setempat dengan seniman sebelum terjadinya peristiwa itu. Komunikasi diperlukan untuk menghindari kecurigaan, kesalahpahaman, maupun untuk memusyawarahkan berbagai kepentingan dalam acara tahunan yang digelar oleh pihak pemerintah daerah tersebut. Asumsinya, setiap keputusan, kebijakan dan tindakan tentu selalu dilandasi oleh niat yang dianggap baik oleh pelakunya. Pemerintah punya alasan, seniman juga punya alasan. Pemerintah memiliki kepentingan, seniman juga memiliki kepentingan. Diperlukan klarifikasi, sokur akan lebih baik jika ada penyelesaian atau jalan tengah, yang disepakati, atau minimal diketahui semua pihak supaya tidak berkembang menjadi konflik.
Pihak pemerintah perlu menjelaskan mengapa dalam perayaan hari jadi daerah melibatkan pihak tertentu dan tidak melibatkan pihak yang lain? Apa dasar pemilihannya; berdasar standar penampilan atau sekadar untuk pemerataan supaya seniman yang tampil tidak hanya itu-itu saja? Ataukah ada alasan lain?
Dalam event-event pemerintah, dengan pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan citra pariwisata, pihak penyelenggara biasanya menentukan standar seniman penampil yang cenderung bersifat fisikly, misalnya, kalau melibatkan tarian maka penarinya diusahakan yang posturnya tinggi, berkulit putih, pakaian mewah dan glamor. Pemerintah punya dukungan dana untuk orientasi ini.
Tetapi standar-standar berdasarkan selera pemerintah tersebut juga bisa dipertanyakan oleh pihak seniman: apakah keindahan hanya ada di postur tubuh dan gemerlapnya pakaian atau justru lebih ditentukan oleh inner acting dan inner dancing, keindahan dari dalam jiwa senimannya? Para seniman daerah juga dapat mempersoalkan kehadiran artis musik pop atau dangdut dari Jakarta yang masih sering kita saksikan dalam perayaan hari jadi di berbagai daerah. Yang dipersoalkan tentu bukan asal geografisnya tetapi lebih kepada jenis keseniannya. Dalam event-event kedaerahan tentu kesenian tradisi dari daerah setempat perlu mendapat prioritas untuk ditampilkan. Para seniman daerah merasa memiliki hak untuk mempertanyakan berbagai kebijakan yang menyangkut daerahnya. Mereka menjadi bagian dari sebuah wilayah geografis dan budaya yang secara formal dikelola oleh pemerintah daerah.
Dan wilayah administratif formal satu daerah juga tidak harus berada dalam satu kotak wilayah kebudayaan yang berbeda atau terpisah dengan daerah lain. Salah satu event yang belum lama ini diselenggarakan di Martapura, yaitu pengukuhan raja Banjar, tidak hanya melibatkan seniman dari Kabupaten Banjar, tetapi juga dari Barikin dan Kota Banjarmasin. Batas administratif Kabupaten Banjar dengan wilayah kabupaten atau kota lain seolah lenyap dalam satu wilayah budaya Banjar.
Pertanyaan yang barangkali lebih penting untuk diajukan adalah: apakah sebuah tampilan kesenian dan pameran pembangunan yang menghiasi event-event kedaerahan itu sudah mewakili dan mencerminkan masyarakat yang sesungguhnya atau hanya wajah permukaan penuh rekayasa? Akan menjadi kekawatiran banyak pihak bila sebuah event berbeaya besar atas nama daerah hanya seremonial tanpa efek bagi masyarakat daerah setempat. Supaya tidak terjadi hal seperti itu tentu para tokoh masyarakat, tokoh adat, seniman, dan seluruh stakeholder perlu diajak bicara dalam setiap rencana kebudayaan yang dirancang oleh pemerintah.
Sekadar sebagai salah satu referensi atas masalah seniman Barikin dengan pihak pemerintah Hulu Sungai Tengah, ijinkan saya menunjukkan Festival Lima Gunung di Magelang, Jawa Tengah,. Festival rutin tahunan yang sudah berlangsung melewati satu dasawarsa, yang dimotori seorang seniman bernama Sutanto Mendut, pada awalnya merupakan tandingan dari Borobudur Internasional Festival (BIF) yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Jawa Tengah. Festival internasional yang diselenggarakan pemerintah dengan beaya besar dan didukung para seniman top lintas daerah dan lintas negara itu justru kalah besar (dalam ukuran jumlah peserta, jumlah penonton, gaung media massa dan efek langsungnya bagi masyarakat) dibandingkan dengan “festival swasta” yang diselenggarakan oleh masyarakat itu sendiri. Festival “kelas kampungan” yang melibatkan ribuan seniman masyarakat sekitar Candi Borobudur itu betul-betul menjadi festival rakyat yang membumi. Sumber dana, pelaku seni, sumber estetika seni maupun “penanggapnya” ditopang oleh swadaya masyarakat. Masyarakat seni terbangun tanpa harus meninggalkan profesi sebagai petani maupun profesi lainnya. Hanya dengan “panggung alam” di tanah-tanah lapang, para seniman dan penonton berbaur dengan sangat akrab. Perbedaan status sosial lenyap. Festival ini semakin lama justru semakin hidup. Mereka tidak takut krisis moneter dan ancaman bom yang selama ini menjadi momoknya industri pariwisata. Festival Lima Gunung justru hidup melalui kesederhanaan bentuk dan komunikasinya. Festival milik rakyat yang awalnya menjadi saingan festival milik pemerintah itu kemudian menjadi mitra dan kemudian kembali lagi menjadi festival rakyat yang seluruhnya ditopang oleh masyarakat. Festival Lima Gunung bahkan menolak mendapat bantuan dari pemerintah, sponsor maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Masyarakat sekitar Candi Borobudur pun semakin kaya budaya dan memiliki kemandirian.
Barikin memungkinkan untuk itu. Barikin sudah menjadi kampung seni yang dikenal luas. Partisipasi masyarakat sudah terbangun. Ekspresi keseniannya sudah memiliki karakter tersendiri. Tinggal kita menunggu daerah-daerah lain yang juga membangun komunitas-komunitas seni lalu bersama-sama membangun masyarakat berbudaya. Pemerintah diharapkan turut mendorong, menjadi fasilitator maupun mitra kerja. Jika tidak, masyarakat akan bertindak sendiri !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar