Oleh Ki Sulisno, S.Sn., M.A
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sejak tahun 2009 memberikan penghargaan terhadap sejumlah seniman tradisi di wilayah itu. Acara yang selalu digelar pada bulan Desember di Taman Budaya Kalimantan Selatan di Banjarmasin itu juga disertai pentas kesenian Banjar yang hampir punah. Sayangnya, acara itu semakin lama semakin kehilangan gaung. Dalam penyelenggaraan tahun 2011 kemarin, entah karena faktor hujan yang mengguyur Kota Seribu Sungai itu atau karena faktor lain, acara sepi pengunjung.
Untuk apa kesenian tradisi yang sudah tidak lagi diminati masyarakat ditampilkan lagi? Apakah sebuah penghargaan akan mampu menghidupkan kesenian tradisi itu sendiri ?
Masalah kesenian tradisi yang terancam punah merupakan masalah klise yang terjadi di hampir semua tempat. Modernitas dengan segala produk dan efek globalitasnya sering dianggap sebagai sumber masalah ini. Tetapi di Bali justru sebaliknya. Globalisasi, dengan efek keseragaman budaya yang sering dikhawatirkan itu, di sisi lain justru menjadikan perbedaan lokalitas semakin berharga. Lihat saja jutaan orang dari berbagai belahan dunia setiap tahun datang ke Bali untuk melihat budaya lokal yang khas di sana. Selain faktor utama dari hidupnya kesenian tradisi di Bali adalah menjadi bagian dari agama, industri pariwisata juga turut menopang kelestarian dan perkembangan kesenian tradisi, baik yang sakral maupun yang profan.
Jika masyarakat meninggalkan kesenian tradisi, dua kemungkinan yang bisa diajukan: pertama, karena tidak mengenal, kedua, karena kesenian yang bersangkutan tidak menarik.
Pengenalan kesenian tradisi memang perlu dilakukan terus-menerus di sekolah-sekolah maupun pentas-pentas di ruang publik dengan dukungan berbagai instansi terkait. Setelah mengenal, barulah pertanyaan berikutnya bisa dilontarkan: orang tertarik atau tidak dengan kesenian yang masih menjadi bagian dari identitas kedaerahannya tersebut?
Sebuah kesenian tradisi dapat dikatakan lestari jika ditopang oleh masyarakat pemiliknya dan menjadi bagian dari kehidupan warga; dipakai dalam kegiatan-kegiatan sunatan, pernikahan, dan kegiatan social lainnya. Bila ternyata acara-acara tersebut tidak melibatkan kesenian tradisi maka itu artinya kesenian tradisi sudah tercerabut dari akarnya di tengah masyarakat.
Kepunahan sebuah kesenian tradisi sering dikhawatirkan banyak pihak. Pertama, karena kesenian tradisi mencerminkan identitas kedaerahan. Identitas dipandang penting terutama dari sudut pandang ‘politis’ maupun ‘pasar’. Dinas Pariwisata tentu tidak akan mampu ‘menjual’ aset-aset kesenian tradisi di Kalimantan Selatan jika tidak ada yang khas. Kedua, kesenian tradisi biasanya bukan semata-mata kesenian untuk hiburan. Ada filosofi dan nilai-nilai di balik keindahan gerak, ekspresi, maupun alunan nada dalam kesenian tradisi. Dengan seni tradisi kita bisa belajar banyak tentang suatu masyarakat pada suatu masa: bahasanya, sejarahnya, cita rasa keindahannya, nilai yang diyakininya, dan sebagainya.
Persoalannya sekarang, bagaimana supaya arti penting seni tradisi itu tidak hilang tetapi pertunjukannya juga menarik? Inilah pe-er seluruh pemangku budaya di Kalimantan Selatan. Perlu dibangun infrastruktur dan berbagai kebijakan untuk itu. Pengenalan kepada generasi muda dapat dilakukan, di antaranya, dengan memberikan apresiasi di sekolah-sekolah. Setelah itu dapat saja diselenggarakan festival kesenian-kesenian Kalimantan Selatan untuk kalangan pelajar dan remaja. Festival yang selama ini pernah diselenggarakan tampaknya belum memiliki keunikan, gaung dan dampak yang cukup signifikan. Berbeda, misalnya, dengan Jember Fashion Carnival di kota Jember, Solo Batik Carnival di Solo, dan Festival Lima Gunung di Magelang, yang juga melibatkan peserta para pelajar tetapi memiliki gaung di tingkat internasional.
Kesenian-kesenian tradisi yang tidak lagi diminati perlu dikembangkan lagi atau diciptakan versi lain dalam wujud karya kreasi, baik kreasi yang dilakukan secara menyeluruh maupun diambil dari salah satu bagian saja. Kita bisa menoleh, misalnya, pada tarian Bambang-Cakil di Jawa yang diambil dari wayang orang, yang telah berevolusi sedemikian rupa sehingga semakin lama semakin menarik dan semakin hidup meskipun wayang orangnya sendiri sudah mati suri. Setiap kali tarian Bambang-Cakil dipentaskan maka pada saat itu pula orang akan teringat kesenian wayang orang. Dalam Mamanda, Japin Carita, Wayang Gung, Balamut, dan topeng Banjar barangkali terdapat bagian-bagian yang bisa digarap secara terpisah untuk menjadi karya-karya masterpiece.
Persoalan pertama yang sering menjadi pertimbangan dalam pengembangan kesenian tradisi adalah masalah pakem. Pakem adalah pola-pola yang menjadi acuan kerangka pertunjukan seni. Dalam pertunjukan teater, pakem di antaranya terwujud dalam garis besar cerita pertunjukan. Karena pakem hanya berupa pola maka semestinya tetap memberikan peluang untuk melakukan kreasi. Alur cerita dalam pertunjukan teater bisa saja dirubah-rubah supaya lebih menarik. Yang penting inti ceritanya tetap sama. Bagaimana bentuk-bentuk kesenian dapat terus dikembangkan dan diperbarui tanpa meninggalkan pakem-pakem yang sifatnya fundamental?
Masalahnya lagi, keengganan merubah pakem sering dikaitkan dengan masalah kesenian yang dianggap sakral. Kesenian menjadi sakral ketika menjadi bagian dari sebuah keyakinan. Sakralitas mestinya lebih menyangkut tujuan penyelenggaraan kesenian dan hal-hal yang sifatnya substansial, bukan teknis pertunjukan.
Keyakinan-keyakinan lama yang menjadi bagian dari kesenian tradisi itu juga terus-menerus berhadapan dengan keyakinan-keyakinan baru, terutama yang bersumber dari agama-agama Timur Tengah dan Barat, yang kadangkala hubungannya harmonis tetapi kadangkala juga timbul saling curiga. Masyarakat Kalimantan Selatan yang mayoritas muslim saat ini tampaknya juga kurang menerima kesenian-kesenian tradisi yang disertai dengan ritual-ritual yang masih memakai sesaji. Diperlukan kelenturan sikap seperti yang pernah dilakukan para wali saat menyebarkan agama Islam dengan memakai kesenian yang berasal dari penganut kesenian sebelumnya.
Perlu perjuangan panjang untuk mengembangkan kesenian tradisi hingga menjadi lebih menarik tetapi juga tidak kehilangan akar, identitas dan nilai-nilai masyarakatnya. Yang bisa melakukan itu tentu saja para seniman Kalimantan Selatan sendiri. Ide-ide perubahan dan pengembangkan biasanya sering muncul dari para seniman-seniman muda. Dan perubahan juga mengandung mengandung berbagai resiko. Oleh karena itu ketokohan orang-orang yang telah mendapat anugerah budaya diperlukan untuk mendampingi semangat anak-anak muda itu. Apakah para tokoh kesenian di Kalimantan Selatan siap mengawal perkembangan yang dilakukan anak-anak muda??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar